Siap Hidup Bersama Covid-19, Singapura dan Jepang Longgarkan Perbatasan
Jepang dan Singapura berniat melonggarkan perbatasan mereka di tengah badai Covid-19 varian Omicron. Meski melonggarkan, kedua negara itu tidak mengurangi kesiagaan dan pengawasan ketat.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·3 menit baca
SINGAPURA, KAMIS —Negara-negara maju di Asia memutuskan untuk melonggarkan perbatasan setelah selama dua tahun lebih menutup diri dari kedatangan orang asing guna mencegah penularan Covid-19. Pelonggaran dilakukan dengan cara menambah jumlah kuota kedatangan dan mengurangi masa karantina dari sepekan menjadi tiga hari, bergantung pada status vaksinasi pendatang.
Pemerintah Singapura, Kamis (17/2/2022), mengumumkan memberlakukan bebas karantina kepada orang-orang yang datang dari Uni Emirat Arab, Qatar, Arab Saudi, dan Hong Kong. Selain itu, Singapura juga memberlakukan gelembung perjalanan dengan 24 negara, antara lain Australia, Inggris, dan Amerika Serikat.
Menurut Channel News Asia, Otoritas Kelautan dan Pelabuhan Singapura juga memberlakukan sistem Jalur Perjalanan Tervaksin (VTL) dengan dua pulau di Indonesia, yakni Batam dan Bintan. Orang-orang yang datang ke Singapura melalui angkutan laut dari kedua pulau tersebut tidak perlu melakukan tes cepat berbasis antigen selama tujuh hari sebelum melakukan perjalanan. Masa karantina mereka juga dikurangi dari 14 hari menjadi tujuh hari.
Kuota kedatangan yang diberikan melalui VTL ini adalah 350 orang dari Bintan dan 350 orang dari Batam. Perjalanan dimulai pada 25 Februari. Adapun pendaftaran dibuka sejak 22 Februari. Ketika tiba di Singapura, mereka diminta melakukan tes usap di salah satu fasilitas kesehatan dalam kurun waktu 24 jam.
”Kita tidak bisa berlama-lama lagi menutup perbatasan. Harus ada cara bagi Singapura untuk mengembangkan sistem hidup di tengah pandemi Covid-19 tanpa mengorbankan kesiagaan ataupun kebutuhan ekonomi,” kata Menteri Perhubungan Singapura S Iswaran.
Sementara itu, di Jepang, Perdana Menteri Fumio Kishida akan mengumumkan kebijakan terkait pengenduran perbatasan pada pukul 19.00 waktu setempat atau pukul 17.00 waktu Jakarta. Keputusan Jepang menutup perbatasan mereka berdampak pada ekonomi dan kehidupan sehari-hari masyarakat.
Ada 150.000 mahasiswa asing yang tidak bisa kembali berkuliah di Jepang. Selain itu, banyak sekali tenaga perawat warga lansia yang tidak bisa datang ke ”Negeri Matahari Terbit”. Padahal, 30 persen penduduk Jepang berusia 65 tahun ke atas dan negara ini kekurangan tenaga kerja untuk merawat mereka.
Pemerintah Jepang menghadapi kritik dari pelaku ekonomi, perguruan tinggi, dan institusi perawat warga lansia akibat penutupan perbatasan. Oleh sebab itu, Jepang memutuskan untuk melakukan pengenduran perbatasan yang terkendali. Menurut rencana, kuota kedatangan dari luar negeri akan dinaikkan dari 3.500 orang per hari menjadi 5.000 orang per hari.
”Ini semua tetap dalam pengawasan yang ketat,” kata Kishida, seperti dikutip oleh Asia News Network. Ia telah melonggarkan perbatasan Jepang pada Desember 2021, tetapi dua pekan kemudian ditutup kembali karena ada lonjakan kasus Covid-19 galur Omicron.
Sejauh ini, Kishida memperoleh dukungan warga Jepang karena ia dianggap tegas dalam menangani pandemi, berbeda dengan pendahulunya, Yoshihide Suga. Menurut rencana, masa karantina para pendatang dari luar negeri juga disesuaikan dengan status vaksinasi mereka. Apabila individu itu sudah menerima vaksin Covid-19 lengkap plus dosis penguat (booster) dan berasal dari negara dengan pengendalian Covid-19 yang baik, karantina cukup empat hari.
Walaupun demikian, Kishida dikritik oleh para kepala daerah. Alasannya karena ia dinilai lamban dalam memberikan dosis penguat. Gubernur Tokyo Yurike Koike mengungkapkan bahwa sejatinya per Oktober 2021 dosis penguat sudah bisa disuntikkan, setidaknya kepada kelompok prioritas, seperti tenaga kesehatan dan warga lansia. Akan tetapi, pemerintahan Kishida menunggu hingga Desember 2021.
Dibandingkan dengan negara-negara maju ataupun kelompok tujuh negara terkaya dunia (G-7), Jepang sangat lambat dalam proses pemberian vaksin dan dosis penguat. Baru 11 persen penduduk Jepang yang diberi dosis penguat. Bandingkan dengan tetangganya, Korea Selatan, yang telah mencapai angka 50 persen.
Mantan Ketua Gugus Tugas Penanganan Covid-19 Jepang di pemerintahan PM Suga, Taro Kono, mengeluhkan birokrasi Jepang yang berbelit-belit. ”Susah sekali menggerakkan para pegawai negeri di pusat, apalagi di daerah, untuk menyiapkan dan melaksanakan vaksinasi,” ujarnya. (REUTERS)