Raksasa-raksasa Farmasi Masih Egois, Belum Membantu Negara-negara Miskin
Kritik terhadap keegoisan para raksasa farmasi terkait pengadaan vaksin untuk negara miskin terus digencarkan, tetapi mereka bergeming.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
LONDON, SENIN - Dua tahun pandemi Covid-19 berlangsung dan di tengah gempuran badai galur Omicron, raksasa-raksasa farmasi global ternyata belum memenuhi janji mereka untuk mewujudkan kesetaraan akses vaksin Covid-19 bagi penduduk dunia. Laporan lembaga hak asasi manusia Amnesty International yang bekerja sama dengan lembaga analisi sains Airfinity mengungkapkan, korporasi-korporasi tersebut masih mengedepankan laba ekonomi dibandingkan menanggulangi Covid-19.
“Ada 10 miliar dosis vaksin Covid-19 yang diproduksi secara kolektif pada tahun 2021. Cukup untuk menyuntik 40 persen penduduk Bumi seperti target WHO (Organisasi Kesehatan Dunia), termasuk setara dengan 1,2 miliar jiwa di negara miskin. Akan tetapi, hampir semua dosis ini diborong oleh negara-negara kaya,” kata Direktur Riset, Advokasi, dan Kebijakan Amnesty International Rajat Khosla dalam laporan yang diterbitkan hari Senin (14/2/2022) di London, Inggris.
Perusahaan-perusahaan farmasi yang mereka pantau adalah Pfizer-BioNTech, Moderna, Johnson and Johnson, AstraZeneca, Sinovac, dan Sinopharm. Tidak satu pun dari raksasa ini yang menyumbang lebih dari 2 persen produksi vaksin Covid-19 mereka kepada negara-negara miskin, kecuali Johnson and Johnson. Perusahaan ini memberikan 20 persen dari produksi mereka di tahun 2021 kepada negara-negara miskin.
“Perusahaan masih pelit dan tidak mau menangguhkan paten teknologi vaksin serta menetapkan harga yang mahal. Ini membuat vaksin hanya bisa dibeli oleh negara-negara berduit,” tutur Khosla.
Pfizer-BioNtech dan Moderna meraup laba sebesar 54 miliar dollar Amerika Serikat Tahun lalu. Pfizer membuat 2,4 miliar dosis vaksin dan hanya 1 persen yang dikirim ke negara miskin serta 14 persen ke negara berpendapatan menengah-bawah. Demikian pula dengan Moderna yang memproduksi 673 juta dosis. Hanya 2 persen sampai ke negara-negara miskin dan 23,5 persen untuk negara-negara berpenghasilan menengah.
Dua perusahaan China, Sinovac dan Sinopharm, dikritik laporan ini karena mengutamakan kebutuhan vaksin dalam negeri. Padahal, masing-masing perusahaan ini memproduksi 2 miliar dosis vaksin Covid-19. Sinovac hanya menyumbang 0,4 persen produknya ke negara miskin dan Sinopharm 1,5 persen. Pemberian ke negara berpendapatan menengah-bawah pun antara 20-24 persen oleh keduanya.
Permasalahan kesenjangan akses vaksin ini sejak akhir tahun 2020 sudah digaungkan oleh WHO. Direktur WHO Tedros Adhanom Gebreyesus dari awal mengkritik negara-negara maju menumpuk vaksin. Bahkan, ketika di negara tersebut banyak penduduk menolak divaksin, stok tetap dipertahankan dan bukan segera dikirim ke wilayah yang membutuhkan.
Ironisnya, hal ini diangkat oleh Komisi Eropa. Padahal, Uni Eropa adalah salah satu kawasan yang menumpuk vaksin. Komisi Kesehatan Uni Eropa Stella Kyrikiades mengatakan, hanya menyumbang dosis berlebih tidak menyelesaikan permasalahan. Data WHO mengungkapkan, sebanyak 70 persen vaksin sumbangan negara-negara kaya sudah mendekati tenggat kedaluwarsa. Malawi dan Nigeria misalnya, terpaksa menghancurkan 2 juta dosis karena akan kedaluwarsa kurang dari sebulan.
“Kita harus mengubah persepsi dari sekadar memberi vaksin menjadi memastikan penduduk divaksin. Uni Eropa akan memberi 1,1 miliar dollar untuk mengatasi permasalahan kesenjangan akses vaksin di Benua Afrika,” kata Kyrikiades.
Sejak tahun lalu, WHO sudah membuat program Percepatan Akses Alat Covid-19 (ACT-Accelerator). Prakarsa ini disusun setelah melihat kondisi lapangan di negara-negara miskin. Sebagai gambaran, baru 4 persen dari seluruh penduduk negara miskin yang sudah divaksin lengkap dan 11 persen yang disuntik satu dosis. Adapun negara-negara berkembang sudah mencapai kelengkapan vaksinasi 54 persen dan negara-negara maju 80 persen.
Penyebab susahnya mengejar target di negara miskin tidak hanya karena kekurangan vaksin, tetapi juga kekurangan tenaga kesehatan, alat kesehatan, dan logistik. WHO menghitung, butuh biaya 16 miliar dollar AS untuk mengatasi permasalahan itu. Per September 2021, dana yang terhimpun di ACT-Accelerator ini baru mencapai 814 juta dollar AS. Kanada, Arab Saudi, Norwegia, Swedia, Jerman, dan Kuwait merupakan negara-negara maju yang menyumbang di atas kuota yang ditentukan.
Selain itu, WHO juga mengumpulkan dana terpisah khusus untuk menangani logistik pengangkutan dan penyimpanan vaksin d negara-negara miskin. Dari target 23,4 miliar dollar AS, tinggal sisa kekurangan 6,5 miliar dollar AS.
Salah satu pemimpin dewan ACT-Accelerator, Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa mengingatkan pentingnya memastikan 70 persen penduduk Bumi divaksin lengkap per medio 2022. Kelompok yang tidak divaksin berisiko mengembangkan mutasi galur baru seperti galur Delta dan Omicron yang muncul di Afsel.
“Jalan keluarnya bukan melakukan pemblokiran kedatangan orang, tetapi memastikan semua orang memperoleh haknya untuk divaksin,” ujar Ramaphosa. (AP)