Memilih Waktu yang Tepat untuk Berdamai dengan Covid-19
Lelah dengan segala pembatasan dan hidup serba tak pasti selama dua tahun, sejumlah negara di Eropa menyerah dan memilih hidup berdampingan dengan Covid-19. Segala kebijakan pembatasan dicabut.
Dua tahun sudah seluruh dunia jungkir balik melawan Covid-19. Belum selesai urusan varian Delta, muncul varian Omicron. Entah varian apa lagi yang akan menyusul. Vaksinasi digenjot demi mencapai kekebalan kelompok agar mempan melawan varian apa pun. Vaksinasi sudah, kebijakan pembatasan pun sudah ketat. Akan tetapi, Covid-19 seakan tak mau pergi.
Lelah dengan segala pembatasan, protokol kesehatan, dan situasi serba tak pasti, sejumlah negara, terutama di Eropa, menyerah dan memilih hidup berdampingan saja dengan Covid-19. Sejumlah negara di Eropa itu, antara lain, Denmark, Norwegia, Austria, Inggris, Perancis, Irlandia, Swedia, dan Swiss. Di Asia Tenggara, Singapura memilih strategi itu. Bagi mereka, enough is enough.
Baca juga : Wajibkan Masker, Pelacakan
Di negara-negara Eropa tersebut, hidup berdampingan dengan Covid-19 diartikan dengan melonggarkan atau bahkan mencabut kebijakan pembatasan dan protokol kesehatan, seperti kewajiban mengenakan masker dan menunjukkan kartu atau bukti vaksin. Pendekatan dalam menangani Covid-19 lalu berubah menjadi seperti menangani flu biasa.
Padahal, kasus baru Covid-19 di Eropa pada pekan lalu mencapai 12 juta kasus. Meski kasus baru bertambah, jumlah kasus parah yang membutuhkan perawatan di rumah sakit tak sebanyak ketika varian Delta mengamuk. Dengan pemikiran Omicron tak segalak Delta, kebijakan pembatasan dicabut.
Denmark menjadi negara pertama di Uni Eropa (UE) yang mencabut semua kebijakan pembatasannya, termasuk tak lagi mewajibkan pemakaian masker dan bukti vaksin. Pembatasan hanya diberlakukan pada pelancong yang belum divaksin dari negara non-Schengen. Padahal, kasus baru Covid-19 di Denmark masih berkisar 40.000-50.000 kasus setiap hari atau sekitar 1 persen dari total 5,8 juta jiwa penduduknya.
”Kabar terbaiknya, kita tak perlu pakai masker lagi. Sekarang kita punya pilihan, mau melindungi diri atau merasa bebas,” kata Natalia Chechetkina, warga Copenhagen, Denmark.
Cakupan vaksinasi
Denmark meyakini, Covid-19 sudah mencapai puncaknya dan lebih dari 60 persen penduduk sudah divaksin ketiga. Angka cakupan vaksinasi ini lebih besar ketimbang negara-negara UE lainnya yang rata-rata baru 45 persen. Ditambah dengan mereka yang pernah positif Covid-19, kira-kira 80 persen warga Denmark sudah memiliki kekebalan terhadap Covid-19.
Tanpa kebijakan pembatasan, tanggung jawab bergeser pada setiap individu. Jika merasakan gejala dan positif Covid-19, warga diimbau dengan kesadaran sendiri melakukan isolasi mandiri di rumah selama 4-5 hari.
Strategi serupa diambil Inggris. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson menyatakan, sudah saatnya Inggris belajar hidup berdampingan dengan Covid-19 setelah tiga kali memberlakukan kebijakan penguncian wilayah (lockdown) secara nasional. Sebagai catatan, meski kebijakan sudah ketat, jumlah kematian di negara itu mencapai 159.000 orang.
Belajar hidup bersama Covid-19 berarti, pelancong yang sudah divaksin boleh masuk Inggris tanpa perlu tes Covid-19 lagi. Tetapi, mereka yang belum divaksin masih harus menjalani tes Covid-19 dulu saat keberangkatan dan ketibaan. Bagi Inggris, yang penting program vaksin penguat (booster) sudah digenjot (84,6 persen penduduk sudah divaksin), stok obat Covid-19 terjamin, dan varian Omicron tak segalak Delta sehingga kematian bisa dicegah.
Selain masker dan bukti vaksin yang tak wajib lagi, imbauan untuk bekerja dari rumah juga dicabut. Inggris memperlakukan Covid-19 seperti flu biasa. Negara itu menganggap pandemi Covid-19 sudah menjadi endemi. ”Itu keputusan politis tanpa dasar ilmiah. Pemerintah hanya mau mengklaim jadi negara pertama yang berhasil menundukkan Omicron,” kata Tim Spector, pakar epidemiologi di King’s College London, mengkritisi kebijakan Johnson.
Baca juga : Saatnya Memakai Masker
Strategi Denmark dan Inggris juga dilakukan Swedia sama persis. Naik moda transportasi umum tak perlu lagi mengenakan masker. Orang tak perlu lagi menunjukkan bukti vaksinasi saat mau masuk ke gedung mana pun.
Sejak awal, Swedia memang memilih tidak memberlakukan pembatasan atau lockdown. Padahal, jumlah kematian mencapai 16.000 orang, lebih banyak ketimbang di Norwegia, Finlandia, dan Denmark. Rumah sakit juga masih dipenuhi 2.200 pasien. Situasinya sama seperti saat gelombang ketiga tahun lalu.
Akan tetapi, strategi ”hidup bersama virus” terpaksa dipilih karena biaya tes Covid-19 masih dianggap terlalu mahal. Swedia mengeluarkan biaya hingga 55 juta dollar AS atau sekitar Rp 789 miliar setiap pekan untuk tes Covid-19 saja. Karena sudah lebih dari 90 persen dari total 8,6 juta jiwa penduduk Swedia yang sudah divaksin atau sembuh dari Covid-19, langkah berani itu pun diambil.
Di Norwegia, meski 91 persen penduduknya sudah divaksin, masker tetap wajib dikenakan di angkutan umum dan pertokoan atau di lokasi yang sulit menjaga jarak fisik dengan orang lain.
Belum berakhir
Melihat banyak negara memilih hidup bersama virus, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) khawatir, langkah itu terlalu dini. Padahal, pandemi belum berakhir dan belum jadi endemi. Covid-19 masih akan terus berevolusi dan bermutasi sehingga varian-varian baru pasti akan bermunculan dan menyebar ke seluruh dunia.
Namun, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengakui, dunia bisa saja lepas dari fase darurat pandemi jika target vaksinasi 70 persen populasi di setiap negara tercapai tahun ini.
WHO mengimbau agar kebijakan pembatasan tidak dicabut sekaligus, tetapi bertahap satu demi satu karena Covid-19 dinamis. ”Kami tidak meminta negara kembali memberlakukan lockdown, tetapi meminta agar rakyat dilindungi dengan segala cara, jangan hanya mengandalkan vaksin. Masih terlalu dini jika ada negara yang menyerah atau menyatakan menang melawan korona,” kata Tedros.
Baca juga : Mencermati Kebijakan Pelonggaran Karantina di Eropa
Ketua Kedaruratan WHO Mike Ryan juga meminta setiap negara membuat rencana atau strategi keluar dari pandemi masing-masing dan tidak asal ikut-ikutan negara lain mencabut pembatasan. Pasalnya, setiap negara pasti menghadapi situasi yang berbeda. Negara yang hendak membuka diri kembali sebaiknya harus memastikan bakal mampu kembali memberlakukan kebijakan pembatasan dengan cepat jika kondisi memburuk.
Kekhawatiran WHO beralasan. Subvarian Omicron, yang ditengarai mampu menyebar lebih cepat ketimbang Omicron, sudah dideteksi beredar di 57 negara.
Cara Singapura
Sebelum Eropa, Singapura sebenarnya sudah berancang-ancang hidup bersama virus sejak tahun lalu. Caranya, dengan menggenjot vaksinasi. Bagi yang tidak divaksin, pergerakannya dibatasi, seperti tak boleh masuk restoran atau mal. ”Kesuksesan Singapura terletak pada akses vaksin yang mudah dan membatasi gerak mereka yang tidak atau belum divaksin,” kata Alex Cook, pakar penyakit menular dan statistik di Sekolah Kesehatan Masyarakat Saw Swee Hock National University of Singapore.
Rencana radikal hidup bersama virus itu dimulai dengan mencabut pembatasan dan tak lagi melacak kontak secara massal, menerima pelancong tanpa karantina, dan memperbolehkan acara yang mengumpulkan banyak orang. Bahkan, mereka tak akan lagi menghitung kasus harian Covid-19.
”Covid-19 tidak akan pernah pergi. Tetapi, kita bisa hidup normal dengan virus. Kita bisa mengubah pandemi menjadi penyakit yang terasa tak mengancam, seperti influenza; penyakit tangan, kaki, dan mulut; atau campak dan tetap bisa hidup seperti biasa,” tulis Menteri Perdagangan Singapura Gan Kim Yong, Menteri Keuangan Lawrence Wong, dan Menteri Kesehatan Ong Ye Kung dalam tulisan Opini di harian The Straits Times, pekan lalu.
Baca juga : Demi Dongkrak Perekonomian, Kebijakan Pembatasan Dilonggarkan
Kuncinya, genjot vaksinasi sambil mengawasi warga yang positif Covid-19. Tes Covid-19 dan pengawasan tetap perlu. Ketiga menteri Singapura itu mengusulkan perlunya tes Covid-19 khusus jika ada kegiatan besar atau setelah bepergian dari luar negeri. Ini lebih mudah ketimbang harus melacak kontak dan mengarantina mereka yang kontak dengan orang positif.
Selain itu, tes Covid-19 akan dibuat lebih cepat dan mudah. Tes PCR saat ini sudah dianggap terlalu lamban memberikan hasil. Tes Covid-19 ke depan bisa dilakukan dengan menggunakan alat tes oral yang hasilnya bisa keluar hanya dalam 1-2 menit.
Yang lebih penting lagi sebenarnya adalah mendorong kesadaran warga untuk mempraktikkan tanggung jawab sosial, seperti menjaga kesehatan diri dan tidak berkerumun atau melakukan isolasi mandiri ketika merasa tak sehat.
Fase epidemi
Semua upaya itu dilakukan sambil berharap Covid-19 akan menjadi epidemi. Harian The Financial Times, 18 Januari lalu, menyebutkan bahwa Covid-19 bisa menjadi epidemi, seperti flu dan malaria yang ada di daerah tropis dan subtropis saja. Laporan Malaria Dunia 2021 menyebutkan, malaria mengancam nyawa dan sekitar 600.000 orang tewas pada 2020. Meski demikian, kehidupan, toh, tetap berjalan normal.
Elizabeth Halloran yang memimpin Pusat Inferensi dan Dinamika Penyakit Menular di Seattle, Amerika Serikat, mengingatkan bahwa meski vaksin bisa membantu menangkal Covid-19, tetap saja evolusi virus tak bisa diprediksi. Menjadi epidemi pun bukan berarti kita sudah aman. Epidemi hanya berarti virusnya relatif stabil dan perkembangannya bisa diprediksi.
Harian The Washington Post, 20 Januari 2022, menyebutkan bahwa begitu penyakit menjadi epidemi, tingkat penularannya akan bergantung pada musim tertentu, seperti halnya flu. Namun, tetap saja kemunculan varian baru atau penurunan tingkat vaksinasi akan bisa membuat populasi rentan.
Perkembangan Covid-19 tidak bisa diprediksi. Sulit diketahui varian apa lagi yang akan muncul, bagaimana caranya, dan apa dampaknya. Situasi serba tak pasti kini menjadi bagian dari keseharian. Meski begitu, tidak kemudian berarti kita menyerah. (REUTERS/AFP/AP)