Mencari Pendekatan Vaksinasi Covid-19 untuk Masa Depan
Program vaksinasi global terus didorong. Namun, selanjutnya bagaimana? Muncul opsi pendekatan vaksin khusus bagi galur tertentu, ada pula pilihan pembuatan vaksin ”sapu jagat” untuk berbagai galur virus korona.
Oleh
LARASWATI ARIADNE ANWAR
·4 menit baca
Dua tahun pandemi Covid-19 berjalan, muncul berbagai pertanyaan mengenai masa depan vaksinasi. Seperti apa sebaiknya skema yang disiapkan untuk mencegah penularan penyakit ini? Muncul juga ajakan untuk lebih lanjut memikirkan cara menjalani hidup yang relatif normal dengan menghadapi risiko mutasi virus korona tahap lanjut.
Vaksinasi terbukti mampu meningkatkan kekebalan tubuh manusia. Tidak untuk menangkal penularan Covid-19, tetapi untuk mencegah keparahan infeksi serta mengurangi risiko keperluan rawat inap. Meskipun demikian, dunia dihadapkan pada kenyataan bahwa ketidakadilan akses vaksin masih menjadi masalah nomor satu.
Kesenjangan akses vaksin di Benua Afrika, misalnya, akhirnya mengakibatkan mutasi galur baru, Omicron. Bahkan, galur ini memiliki subvarian BA.2 yang oleh para pakar kesehatan ditemukan lebih cepat menular walaupun dari segi keparahan infeksi tengah diteliti lebih mendalam.
Sejumlah negara maju berupaya menghadapi perkembangan ini dengan cara melakukan program dosis penguat (booster). Bahkan, Israel sudah memberikan dua kali dosis penguat. Artinya, warga negara Israel telah disuntik vaksin Covid-19 sebanyak empat kali. Padahal, di Eropa dan Amerika Serikat saja dosis penguat diberikan satu kali.
Program penguat ini ditanggapi dengan berbagai kritik karena di negara-negara miskin target vaksinasi mereka masih di bawah 40 persen penduduk. Tanpa pemerataan vaksin, risiko mutasi galur Covid-19 terus ada. Selain itu, ada penelitian seperti yang dilakukan Universitas Yale di AS bahwa vaksin-vaksin Covid-19 yang bukan mRNA ternyata memiliki sangat sedikit—bahkan nyaris tidak ada—kekebalan melawan Omicron.
”Sejujurnya, tidak ada seorang pun yang bisa memperkirakan bentuk mutasi di masa depan. Risiko ini yang harus kita hadapi dengan memastikan perlindungan bagi semua orang,” kata Jennifer Nuzzo, Kepala Pusat Kesehatan untuk Keamanan Universitas John Hopkins, AS.
Ia menjelaskan, dengan perkembangan berbagai galur virus korona, ada komponen-komponen virus yang mungkin tidak terdeteksi oleh vaksin yang telah disuntikkan. Oleh karena itu, sistem kekebalan di tubuh manusia juga bergantung kepada sel T yang memiliki ingatan terhadap komponen virus yang pernah mereka tangani. Kombinasi dari vaksin dan sel T ini yang menurunkan tingkat keparahan infeksi ketika seseorang terkena Covid-19.
Muncul pula pertanyaan apabila vaksin model lama tidak bisa mendeteksi galur-galur terbaru, vaksin jenis apa yang patut diberikan kepada mereka yang belum disuntik sama sekali? Lebih lanjut, ketika semua orang sudah divaksin lengkap, apakah program pemberian dosis penguat masih diperlukan? Sekali lagi, para ilmuwan masih mencari jawaban atas permasalahan ini karena sejatinya menyuntikkan dosis penguat secara berkala juga dinilai bukan solusi yang bijak.
Membuat vaksin khusus
Dua pendekatan yang diambil oleh berbagai lembaga obat-obatan dan penelitian kesehatan ialah mengembangkan vaksin yang khusus mengatasi galur Covid-19 tertentu. Selain itu, ada pula yang memutuskan untuk mengembangkan vaksin ”sapu jagat” yang bisa menangani berbagai jenis galur virus korona.
Institut Kesehatan Nasional AS (NHI), misalnya, mengucurkan dana 43 juta dollar AS kepada sejumlah perusahaan farmasi dan lembaga penelitian untuk mengembangkan vaksin sapu jagat ini. Direncanakan, vaksin ini bisa menangani delapan hingga sembilan jenis mutasi galur virus korona. Akan tetapi, lembaga ini juga mengingatkan bahwa penelitian vaksin membutuhkan waktu. Jadi, masyarakat jangan buru-buru berharap bisa melihat produknya dalam waktu dekat.
Sementara Uni Eropa mengambil pendekatan mengembangkan vaksin Covid-19 yang spesifik menyasar setiap galur virus korona. ”Saat ini, kami sedang membuat vaksin khusus untuk Omicron. Direncanakan, juga akan dikembangkan vaksin yang bisa dimanipulasi untuk menyasar mutasi yang spesifik di masa depan,” kata Marco Cavaleri, Kepala Strategi Vaksin Badan Obat-obatan Eropa.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tetap berpegang teguh pada pendirian mereka bahwa kesetaraan akses vaksin hanya bisa diperoleh apabila setiap kawasan, bahkan setiap negara, bisa swasembada membuat vaksin sendiri. Oleh karena itu, penting adanya penangguhan hak paten vaksin. Hingga kini hal tersebut ditentang oleh korporasi pembuat vaksin.
WHO mendukung lembaga Medicines Patent Pool yang memberikan dana sebesar 45 juta dollar AS kepada Afrigen, sebuah perusahaan farmasi di Afrika Selatan. Perusahaan ini berhasil memproduksi vaksin Covid-19 mRNA.
”Kami menggunakan penelitian pengurutan genomik yang dilakukan oleh Universitas Stanford di AS. Penelitian ini juga yang dipakai sebagai landasan pembuatan vaksin mRNA Moderna,” kata Direktur Afrigen Petro Terblanche.
Vaksin ini baru hendak diujicobakan kepada binatang. Menurut rencana, uji klinis kepada manusia dilakukan pada bulan November. Harapannya, ini bisa menjadi solusi mengatasi ketergantungan negara-negara di Benua Afrika terhadap vaksin sumbangan dari negara-negara maju. (AP/AFP/Reuters)