Kanselir Jerman Olaf Scholz dan pemerintahannya dalam situasi tidak menguntungkan setelah pejabat tinggi militernya mengeluarkan pernyataan yang mendukung Rusia. Ambiguitas Jerman mengancam persatuan NATO.
Oleh
MAHDI MUHAMMAD
·6 menit baca
BERLIN, SENIN – Pemerintahan baru Jerman di bawah Kanselir Olaf Scholz berada dalam tekanan setelah sikapnya dinilai tidak tegas dalam isu Ukraina. Sikap tidak tegas dan cenderung mendua itu semakin terlihat setelah pejabat tinggi militer Jerman, Kepala Staf Angkatan Laut Jerman Laksamana Kay-Achim Schoenbach mengeluarkan pernyataan yang cenderung memihak Rusia dan Presiden Vladimir Putin.
Dalam sebuah acara di India, Jumat (21/1), Shcoenbach menyatakan bahwa Ukraina tidak akan bisa mendapatkan kembali Semenanjung Krimea yang dicaplok Rusia pada 2014. Dia juga mengatakan bahwa Presiden Putin berhak mendapatkan penghormatan dari semua negara, termasuk negara-negara Eropa.
Pernyataan Schoenbach itu memperparah relasi antara Jerman dengan sekutu-sekutunya. Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba memanggil Duta Besar Jerman dan menuduh Berlin mendorong Putin untuk menyerang Ukraina.
Pernyataan Schoenbach yang direkam dalam sebuah video itu pun beredar luas. Sehari setelahnya, Schoenbach mengajukan pengunduran diri dari jabatannya sebagai Kepala Staf AL Jerman. Dia beralasan pengunduran dirinya adalah untuk mencegah kerusakan lebih lanjut terhadap Jerman dan militernya atas pernyataannya yang tidak dipertimbangkan secara matang.
Mencoba memperbaiki hubungan dengan Ukraina, Scholz, dalam sebuah wawancara dengan surat kabar Sueddeutsche, Minggu (23/1), memperingatkan Rusia soal dampak yang akan timbul jika Kremlin memutuskan menyerang Ukraina. Tetapi, di sisi lain, dia juga juga menyerukan tentang kebijaksanaan dalam pemberian sanksi (terhadap Rusia) dan konsekuensi yang akan mereka berikan kepada kita (Uni Eropa dan sekutu-sekutunya).
Krisis Ukraina menjadi ujian besar pertama pemerintahan Scholz yang baru seumur jagung. Pemerintahan koalisi SPD, yang berhaluan kiri-tengah, dengan Partai Hijau dan FDP yang pro-bisnis sempat menjanjikan sikap yang berbeda dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, di era mantan kanselir Angel Merkel.
Namun, tampaknya, di internal Pemerintah Jerman, masih ada ketidaksepakatan soal kebijakan yang harus diambil. Dalam catatannya, Handelsblatt, surat kabar yang fokus pada berita keuangan dan bisnis menyebutkan bahwa ada kecenderungan politisi Jerman untuk “memahami” Rusia.
Dalam kasus Ukraina, ketidaksepakatan Jerman atas kebijakan yang diambil Amerika Serikat dan sekutu-sekutu baratnya adalah soal penolakan Berlin untuk mengirim senjata ke Ukraina, terutama untuk menghadapi sikap agresif Rusia yang telah berada di perbatasan Ukraina-Rusia. Berbeda dari sikap Jerman, pemerintah AS, Inggris dan sejumlah negara Baltik telah sepakat mengirimkan persenjataan, termasuk rudal anti-tank dan anti-pesawat untuk memperkuat postur pertahanan Ukraina.
Secara tradisional, Jerman enggan terlibat dalam konflik militer karena trauma dengan masa lalu, terutama keterlibatannya dalam dua Perang Dunia. Pemerintahan Scholz juga mengklaim bahwa pengiriman senjata ke Ukraina hanya akan memperuncing situasi yang akan mengarah pada peperangan.
Menteri Luar Negeri Ukraina Dmytro Kuleba mengatakan, sikap ambigu Jerman tidak sesuai dengan situasi keamanan saat ini. Kuleba mendesak Berlin untuk berhenti merusak persatuan NATO dan sekutu-sekutunya.
Henning Otte, seorang anggota parlemen dari partai oposisi CDU yang berhaluan kanan-tengah, kepada surat kabar Bild mengatakan, jika Ukraina meminta senjata untuk menangkis kemungkinan serangan, pemerintah Jerman tidak boleh menolak permintaan ini.
Posisi Jerman di dalam permasalahan dengan Rusia sulit karena negara ini memiliki hubungan langsung dengan Kremlin, terkait jalur pipa gas alam Nord Stream 2. Keputusan untuk mengurangi ketergantungan pada sumber energi nuklir oleh Pemerintah Jerman, membuat negara ini menggantungkan pasokan gas alam dari Rusia sebagai sumber energi di masa transisi selama beberapa tahun ke depan.
Pemerintah yang dipimpin Merkel sebelumnya selalu bersikeras bahwa pipa itu adalah proyek komersial murni. Sikap ini menjengkelkan sebagian besar sekutu Eropanya yang khawatir pipa itu akan memberi Rusia terlalu banyak pengaruh atas energi Eropa.
Scholz, yang pada pemerintahan Merkel menjabat sebagai menteri keuangan, memiliki pandangan yang sama dengan pendahulunya itu. Sementara, Menlu Jerman Annalena Baerbock dikenal sebagai penentang keras Nord Stream 2. Namun, setelah berada di pemerintahan, sikap Baerbock cenderung sejalan dengan Scholz. Dia mendukung keinginan Jerman dan AS untuk tidak mengizinkan Moskwa menggunakan Nord Stream 2 sebagai senjata politik.
Analis keamanan Jana Puglierin dari lembaga kebijakan Dewan Eropa untuk Hubungan Luar Negeri mengatakan, pernyataan Scholz terakhir membawa kesamaan sikap sebagai bagian dari sekutu barat dan NATO. Dia juga menilai bahwa pernyataan Scholz adalah sebagai upaya meyakinkan mitranya, yang kini menilai Jerman sebagai mata rantai lemah di antara negara-negara sekutu.
AS Tidak Ragu pada Jerman
Meski banyak yang menilai Jerman mendua dalam persoalan Ukraina, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyatakan bahwa mereka tidak ragu terhadap salah satu sekutu tertuanya itu. Dia menyatakan keyakinannya bahwa Jerman akan mempertahankan sikap yang sama dengan sekutu-sekutu baratnya dalam persoalan Ukraina.
“Saya bisa mengatakan pada Anda bahwa Jerman berbagi keprihatinan yang sama dengan kami dan bertekad untuk menanggapi, merespon dengan cepat, efektif dalam cara yang satu (dengan sekutu barat). Saya tidak ragu tentang itu,” kata Blinken, ketika tampil di stasiun televisi NBC.
Dalam acara di stasiun televisi lainnya, CBS News, Blinken menyebutkan komitmen Jerman untuk bahu-membahu dengan Eropa dan Washington. "Saya sangat yakin akan ada tanggapan yagn satu untuk apapun yang dilakukan Rusia,” kata Blinken.
Pekan lalu, usai pertemuan dengan Pemerintah Ukraina di Kiev, Blinken terbang ke Berlin untuk bertemu Kanselir Scholz, mencoba menyatukan persepsi dan sikap sekutu-sekutunya dalam persoalan ini.
Mengungsi
Meski situasi masih cukup terkendali, Pemerintah AS tidak mau mengambil risiko terhadap keamanan staf Kedutaan Besar AS di Ukraina dan keluarganya. Mereka memerintahkan agar seluruh staf kedubes keluar dari Ukraina dengan alasan berlanjutnya ancaman aksi militer Rusia di negara itu.
Departemen Luar Negeri AS juga mengizinkan kepergian sukarela pegawai pemerintah AS dan mengatakan warga Amerika harus mempertimbangkan untuk segera pergi.
"Kami telah berkonsultasi dengan pemerintah Ukraina tentang langkah ini dan berkoordinasi dengan kedutaan negara-negara sekutu dan mitra di Kiev," kata Kedutaan Besar AS.
Kedutaan Besar AS di Kyiv memperingatkan dalam sebuah pernyataan bahwa "aksi militer oleh Rusia bisa datang kapan saja dan pemerintah Amerika Serikat tidak akan berada dalam posisi untuk mengevakuasi warga Amerika dalam keadaan darurat seperti itu, jadi warga AS yang saat ini berada di Ukraina harus merencanakan dengan tepat."
Departemen Luar Negeri juga mengatakan pihaknya mengesahkan "keberangkatan sukarela dari karyawan perekrutan langsung AS."
The New York Times melaporkan Minggu malam bahwa Presiden Joe Biden sedang mempertimbangkan untuk mengerahkan beberapa ribu tentara AS untuk sekutu NATO di Eropa Timur dan Baltik.
Pentagon menolak mengomentari laporan New York Times itu.
"Jika ada serangan lain dan jika mereka membutuhkan jaminan itu, jika mereka membutuhkan dukungan, kami akan melakukan itu dan kami akan memastikan bahwa kami siap untuk melakukan itu,” kata Juru Bicara Pentagon John Kirby, Jumat (21/1).
Departemen Luar Negeri AS, Minggu (23/1) malam mengeluarkan seruannya agar warga AS yang tinggal di Rusia tidak bepergian, dengan alasan ketegangan yang sedang berlangsung di sepanjang perbatasan dengan Ukraina. Deplu AS juga menambahkan, karena volatilitas situasi yang sedang berlangsung, warga AS sangat disarankan untuk tidak melakukan perjalanan darat dari Rusia ke Ukraina.
Pejabat Departemen Luar Negeri menolak untuk mengatakan berapa banyak orang Amerika yang saat ini diyakini berada di Ukraina.
Kedutaan Besar AS di Kiev tetap akan beroperasi. Kuasa Usaha Pemerintah AS di Ukraina, Kristina Kvien, tetap berada di sana hingga ada kebijakan lebih lanjut. (AP/AFP/Reuters)