Meski berbagai negara terus mencatatkan lonjakan kasus Covid-19, pemulihan terus berlanjut. Pembatasan gerak terus dikurangi di berbagai negara. Tren penurunan harga saham besar-besaran sudah terjadi sejak November 2021.
Oleh
KRIS MADA
·3 menit baca
NEW YORK, SABTU - Saham emiten-emiten yang melejit selama pandemi Covid-19 terus rontok. Kombinasi pemulihan yang terus berlanjut dan antisipasi kebijakan bank sentral Amerika Serikat menjadi sebagai faktor pemicu kejatuhan harga saham-saham itu.
Dalam perdagangan Jumat (21/1/2022), saham Netflix terpangkas 21,8 persen. Pesaingnya, Disney, terkoreksi 6,9 persen. Saham produsen perangkat siaran via internet, ROKU, juga merosot 9,1 persen.
Pemangkasan harga sahamnya membuat nilai Netflix terpangkas sedikitnya 50 miliar dollar AS. Koreksi terjadi setelah perusahaan penyedia layanan video via internet itu mengumumkan potensi pengurangan pelanggan baru. Sepanjang triwulan pertama 2022, Netflix menaksir hanya akan menambah 2,5 juta pelanggan baru. Padahal, di periode yang sama tahun lalu, Netflix menambah 4 juta pelanggan baru.
Tidak hanya di layanan hiburan, emiten olahraga juga terus berguguran. Sejak anjlok parah pada April 2021, dari 89 dollar AS menjadi 47 dollar AS, saham Peloton tidak kunjung pulih. Pada perdagangan 21 Januari 2022, saham produsen peralatan olah raga itu diperdagangkan pada nilai 27 dollar AS. Penyesuaian produksi menjadi salah satu penyebab pemangkasan itu.
Koreksi juga tercatat pada saham Zoom. Pada perdagangan Jumat, emiten penyedia layanan telekonferensi video itu terpangkas 5,23 persen. Saham Zoom terus tergerus sejak Maret 2021.
Faktor Penyebab
Meski berbeda produk, emiten-emiten itu sama-sama tercatat sebagai peraih terbesar selama pandemi. Pembatasan gerak dan kerja dari rumah membuat permintaan layanan telekonferensi, peralatan olahraga, hingga layanan hiburan melonjak.
Kini, meski berbagai negara terus mencatatkan lonjakan kasus Covid-19, pemulihan terus berlanjut. Pembatasan gerak terus dikurangi di berbagai negara. Presiden Amerika Serikat Joe Biden dan banyak kepala pemerintahan lain terus mengindikasikan tidak akan kembali membatasi gerak di tengah lonjakan kasus. “Perusahaan teknologi berjaya selama pandemi. Masuk akal kalau sekarang ada pembalikkan,” kata Direktur Pelaksana Bel Air Investment Advisor, Kevin Philip, kepada Financial Times.
Financial Times dan Yahoo Finance mencatat, tren penurunan harga saham besar-besar sudah terjadi sejak November 2021. Sementara Bloomberg dan Reuters menyebut, penurunan sebenarnya sudah mulai terpantau sejak triwulan II 2021. Seiring laju vaksinasi dan penemuan aneka obat untuk perawatan Covid-19, harapan pemulihan ekonomi terus berkembang dan aneka kegiatan di luar rumah kembali diizinkan.
Konsekuensinya, permintaan aneka kebutuhan kegiatan di rumah terus berkurang. Hal itu berarti pengurangan potensi konsumen emiten seperti Netflix, Peloton, atau Zoom. Padahal, emiten-emiten itu masih harus terus menambah investasi untuk meningkatkan kualitas produknya. Peningkatan belanja di tengah peluang penurunan pendapatan membuat investor tidak yakin dengan potensi laba yang mungkin ditawarkan emiten. Akibatnya, investor melepaskan saham sehingga harganya merosot.
Khusus di AS, ada faktor kebijakan Federal Reserve atau bank sentral. Sejak triwulan III 2021, Fed sudah mengindikasikan pengurangan kebijakan penunjang selama pandemi. Pada akhir Januari 2022, Dewan Gubernur Fed akan membahas peluang kenaikan suku bunga acuan (SBA).
Setiap kali SBA Fed bertambah, investor akan mengalihkan dananya dari saham ke surat utang pemerintah dan deposito. Sebab, kenaikan SBA berarti peningkatan imbal hasil. Selain itu, risiko investasi di obligasi dan deposito lebih rendah.
“Pasar melihat kebijakan yang lebih agresif dari yang diantisipasi. Kenaikan SBA sudah dimulai untuk mendorong pertumbuhan dan berdampak pada saham-saham teknologi,” kata Kepala Kebijakan Investasi UBS Global Wealth Management, Mark Haefele.
Sementara analis Oanda, Jeffrey Halley, dan Citi Group, Matt King, mengingatkan faktor lain. Bagi Halley dan King, investor mulai menyadari bahwa saham-saham yang merosot itu dimiliki terlalu banyak orang. “Demi investasi yang bagus, sebaiknya tidak terlalu lama memegang emiten yang terlalu sesak (dipegang banyak investor),” kata King. (AFP/REUTERS)