Data Inflasi AS dan China Tentukan Arah Pemulihan Ekonomi Global
The Fed dihadapkan dengan masalah untuk menyesuaikan kebijakan moneter dalam mengendalikan harga. Sementara pada saat yang sama mereka harus menghindari gangguan yang muncul dalam proses pemulihan ekonomi.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pada awal pekan, Senin (10/1/2022), pasar saham di kawasan Asia fluktuatif. Pada awal perdagangan pekan itu, fluktuasi pasar saham disebabkan respons bursa saham Wall Street yang ditutup turun pekan lalu. Penurunan itu seiring dirilisnya data terbaru ketenagakerjaan di Amerika Serikat. Data itu di bawah ekspektasi pasar.
Melihat perkembangan terbaru, data inflasi AS dan China yang akan dirilis pekan ini dinantikan untuk melihat prospek pertumbuhan ekonomi global tahun ini. Data lain yang juga terus dipantau terkait dengan pandemi Covid-19.
Terkait AS, tim riset Mirae Asset Sekuritas Indonesia mencatat, indeks ekuitas AS berakhir lebih rendah pada Jumat (7/1/2022) pekan lalu. Hal itu disebabkan implikasi penilaian investor atas laporan pekerjaan terbaru pada kebijakan moneter AS. Di sisi data, Departemen Tenaga Kerja AS menunjukkan 199,000 non-farm payrolls ditambahkan ke ekonomi AS pada Desember. Jumlah itu meleset dari perkiraan konsensus, yakni diperkirakan bertambah 450,000.
Sementara itu, kredit konsumen melonjak ke tingkat rekor senilai 40 miliar dollar AS pada November tahun lalu. Itu artinya terjadi kenaikan hampir dua kali lipat dari perkiraan konsensus.
Para pejabat bank sentral AS, The Federal Reserved (The Fed), saat ini tengah dihadapkan dengan masalah untuk menyesuaikan kebijakan moneter dalam mengendalikan harga. Sementara pada saat yang sama The Fed harus menghindari gangguan yang muncul dalam proses pemulihan ekonomi AS. Otoritas juga harus dapat mengatasi munculnya kepanikan di pasar karena rezim uang tunai murah yang telah memicu reli hampir dua tahun akan segera dihapus.
Basis global
Para pelaku pasar pun akan mencermati data inflasi terbaru di AS an China yang akan dirilis pekan ini. Data dua negara dengan perekonomian terbesar secara global itu akan digunakan untuk memproyeksikan prospek ekonomi global tahun ini. Sebelumnya tingkat inflasi AS berada di level tertingginya dalam kurun empat dekade terakhir. Data terbaru inflasi di AS dan China akan dikombinasikan dengan meroketnya biaya energi dan gangguan pasokan yang memperparah masalah di sekitar pandemik Covid-19, terutama yang tengah disebabkan oleh penyebaran galur Omicron.
The Fed telah mulai mengurangi program pembelian surat utang besar-besaran yang dipilih pada awal pandemi Covid-19.
The Fed telah mulai mengurangi program pembelian surat utang besar-besaran yang dipilih pada awal pandemi Covid-19. Pada saat yang sama otoritas bank sentral itu juga telah mengisyaratkan akan mulai menaikkan suku bunga dari rekor terendah mereka mulai Maret mendatang. Para pengamat memperkirakan The Fed akan menaikkan tingkat suku bunga acuannya sebanyak tiga kali pada tahun ini.
Ada juga indikasi The Fed sedang mempertimbangkan untuk mengurangi kepemilikan surat utang secara besar-besaran, memberikan tekanan lebih lanjut pada biaya pinjaman. Hasil pada US Treasuries 10-tahun, indikator utama suku bunga di masa depan naik pada minggu lalu pada laju tercepat dalam hampir satu tahun.
”The Fed AS perlu melangkah dengan hati-hati dalam menghapus akomodasi kebijakan; hal itu tidak boleh terjadi terlalu cepat karena berisiko mengganggu pertumbuhan ekonomi dan dapat menyebabkan ’taper tantrum’ lainnya,” kata Diana Mousina, dari AMP Capital.
Taper Tantrum adalah kebijakan mengurangi nilai pembelian aset atau quantitative easing (QE) oleh The Fed. Taper Tantrum mengacu pada kepanikan reaksioner kolektif 2013 yang memicu lonjakan hasil US Treasury. Ketika hal itu terjadi, aliran modal akan keluar dari negara-negara berkembang dan kembali ke AS sehingga dapat memicu gejolak pasar keuangan.
Mousina melihat inflasi akan menyebabkan pergolakan lebih lanjut di pasar keuangan global tahun ini. Pada saat yang sama atau beriringan, pemilu sela AS pada bulan November dan masalah geopolitik juga akan berperan. Mengacu pada perdagangan pekan lalu, ketiga indeks utama Wall Street berakhir turun, di mana Indeks Nasdaq lagi-lagi yang paling terpukul karena perusahaan teknologi lebih rentan terhadap tingkat yang lebih tinggi karena ketergantungan pada utang untuk mendorong pertumbuhan.
Di Asia awal pekan ini, pergerakan indeks-indeks saham utama fluktuatif dan cenderung tertekan. Hal itu terjadi di saat indeks saham Tokyo tutup karena libur. Indeks saham Hong Kong memperpanjang kenaikan beruntun baru-baru ini ke hari ketiga, dan indeks saham Shanghai juga naik. Di China, regulator sekuritas negara itu pekan lalu menjanjikan langkah-langkah untuk menghindari volatilitas dan ”dengan tegas” mencegah fluktuasi besar. Indeks saham di China mengalami awal yang sulit tahun ini karena wabah Omicron yang memaksa pemerintah daerah memberlakukan tindakan pembatasan hingga pembatasan ketat. (AFP/REUTERS)