Pasar Modal Global Menuju Normal Tahun 2022, Indonesia Berpotensi Akseleratif
Indonesia berpotensi mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi menuju fase ekspansi di tahun 2022. Ini seiring dengan potensi yang juga dimiliki negara-negara Asia Tenggara lain, terutama Malaysia, Filipina, dan Thailand.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pasar keuangan global mengalami tiga fase penting dalam rentang waktu tahun 2020 hingga 2022 mendatang. Pertama, fase pandemi pada tahun 2020; kedua, fase pemulihan pada tahun 2021 yang akan segera berakhir; dan ketiga, diproyeksikan berlanjut dengan fase kembali normal di tahun depan. Pada tahun 2022 itu, pasar modal Indonesia berpotensi mengalami fase akseleratif. Perkembangan pandemi Covid-19 yang tengah diwarnai merebaknya galur Omicron akan menentukan arah angin.
Pandemi Covid-19 pada tahun 2020 menyebabkan kontraksi pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global sebesar 3,5 persen. Setelah tertekan secara ekstrem, PDB global kemudian pulih dan diperkirakan tumbuh sebesar 5,9 persen pada tahun 2021.
”Kami memperkirakan ke depannya pertumbuhan ekonomi global akan mulai bergerak ke arah normal. Ini artinya, pertumbuhan ekonomi global di tahun 2022 akan lebih rendah dari 2021, namun masih lebih tinggi dari rerata jangka panjangnya,” kata Katarina Setiawan, Chief Economist & Investment Strategist Manulife Investment Management, dalam riset akhir tahun perseroan.
Setelah menunjukkan pertumbuhan yang sangat tinggi pada tahun 2021, aktivitas perdagangan global tahun 2022 diperkirakan akan tumbuh di atas rerata jangka panjang, tetapi pertumbuhannya tidak setinggi pada 2021. Perdagangan global akan ditopang oleh kebutuhan produk dan jasa seiring dengan normalisasi aktivitas ekonomi. Normalisasi tidak hanya terjadi pada pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pada kebijakan moneter dan fiskal.
Di sisi kebijakan moneter, seiring era normalisasi ekonomi global, bank sentral dunia juga melakukan penyesuaian arah kebijakan. Suku bunga diperkirakan akan meningkat secara gradual sambil tetap memperhatikan kondisi terkait pandemi.
Komunikasi dan sinyal bank sentral akan sangat krusial pada tahun 2022, terutama di tengah ketidakpastian lonjakan inflasi. Sejauh ini, pasar telah mengantisipasi kenaikan imbal hasil US Treasury dan dua kali kenaikan Fed Rate tahun 2022.
Kebijakan fiskal tahun 2022, baik di kawasan negara maju maupun negara berkembang, tetap akan akomodatif dan lebih tinggi dari rerata jangka panjang, walaupun tidak sebesar tahun 2020- 2021.
Sementara itu, normalisasi di sisi kebijakan fiskal akan berupa pengurangan stimulus-stimulus pandemi secara gradual menuju ke level normal di era pertumbuhan ekonomi yang juga menuju normal. Kebijakan fiskal tahun 2022, baik di kawasan negara maju maupun negara berkembang, tetap akan akomodatif dan lebih tinggi dari rerata jangka panjang, walaupun tidak sebesar tahun 2020- 2021.
Pengetatan yang lebih besar diperkirakan akan terjadi di kawasan negara maju, di mana defisit fiskal bisa turun dari 8,8 persen ke 4,8 persen dari PDB. Sementara itu, di negara berkembang, defisit diperkirakan turun lebih sempit dari 6,6 persen ke 5,7 persen dari PDB.
Prospek di ASEAN
Asia sebagai produsen penting dunia diperkirakan bakal sangat berperan dalam pemulihan rantai pasokan global di 2022. Normalisasi pertumbuhan dan perbaikan rantai pasokan global akan berdampak positif pada sektor manufaktur dan pasar finansial Asia.
Pengetatan kebijakan The Fed menjadi tantangan yang harus diperhatikan. Namun, Asia masih memiliki ruang kebijakan moneter yang lebih longgar, didukung oleh inflasi yang lebih terjaga dan tingkat suku bunga riil yang tinggi sehingga memberi fleksibilitas bagi bank sentral di kawasan ini.
”Penanganan pandemi di beberapa negara ASEAN yang pada awalnya cenderung relatif lambat membuat pemulihan ekonomi di 2021 belum maksimal sehingga perbaikan diperkirakan masih akan terus berlanjut di 2022,” ujar Katarina.
Kawasan ASEAN diperkirakan akan menjadi salah satu kawasan yang dapat mencatat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi pada 2022 dibandingkan dengan 2021, berlawanan dengan kawasan lain yang mengalami normalisasi pertumbuhan ekonomi. ASEAN-5, yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand, diprediksi akan mengalami pertumbuhan PDB sebesar 5,8 persen pada 2022.
Perkiraan itu melampaui pertumbuhan PDB negara maju (4,5 persen), negara berkembang di Eropa (3,6 persen), dan Amerika Latin (3,0 persen). Tekanan inflasi yang masih rendah di ASEAN memberikan fleksibilitas bagi bank sentral untuk menjaga kebijakan moneter tetap akomodatif.
Indonesia alami akselerasi
Katarina mengatakan, Indonesia berpotensi mengalami akselerasi pertumbuhan ekonomi menuju fase ekspansi pada tahun 2022. Ini seiring dengan potensi yang juga dimiliki negara-negara ASEAN-4 lain, termasuk Malaysia, Filipina, dan Thailand. Momentum pembukaan kembali ekonomi diperkirakan meningkat ketika pandemi gelombang ketiga mereda dan cakupan vaksinasi mencapai sekitar 70 persen dari populasi pada triwulan pertama 2022.
Keunggulan Indonesia dibandingkan banyak negara di kawasan adalah demografi Indonesia yang didominasi warga usia muda membawa keuntungan, sekaligus mempercepat aktivitas ekonomi kembali normal, terutama apabila mitigasi pandemi terus berjalan efektif, antara lain melalui vaksinasi secara masif dan merata.
Analis Mirae Asset Sekuritas Indonesia, Emma A Fauni, dalam salah satu laporan risetnya mengatakan, tahun 2021 telah menjadi tahun yang menggembirakan bagi pasar penawaran saham perdana (IPO). Di saat jumlah perusahaan yang menawarkan saham perdana mereka tumbuh moderat, dari 51 perusahaan menjadi 53 perusahaan secara tahunan, pendapatan dari IPO mencapai Rp 60,5 triliun atau naik lebih dari 10 kali lipat dibandingkan setahun sebelumnya.
Jumlah tersebut sejauh ini merupakan total dana IPO tahunan terbesar selama 10 tahun terakhir. Tren ini sejalan dengan aktivitas IPO global yang mencapai rekor aktivitas IPO tahun ini, masing-masing meningkat sebesar 60 persen dari sisi volume dan pendapatan.