Kebijakan Moneter Global Menjadi Perhatian Pasar Pekan ini
Data ekonomi China mengonfirmasi efek tekanan dari kebijakan pembatasan kegiatan warga selama pandemi Covid-19 terhadap belanja konsumen. Kondisi itu mendorong bank sentral China kembali melonggarkan kebijakan moneter.
Oleh
ROBERTUS BENNY DWI KOESTANTO
·4 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pasar saham Asia bergerak variatif pada awal perdagangan pekan ini, Senin (17/1/2022), setelah data ekonomi China mengonfirmasi efek tekanan dari kebijakan pembatasan kegiatan warga selama pandemi Covid-19 terhadap belanja konsumen. Kondisi itu mendorong Beijing kembali melonggarkan kebijakan moneter. Perhatian pelaku pasar pekan ini juga akan tertuju pada kebijakan terkait suku bunga yang tengah dipertimbangkan oleh otoritas keuangan di Jepang.
Data terbaru ekonomi China menunjukkan angka penjualan ritel hanya naik 1,7 persen secara tahunan pada Desember lalu. Angka itu meleset dari perkiraan para ekonom, yakni proyeksi naik 3,7 persen. Kondisi itu dinilai cukup mengkhawatirkan bagi China sebagai negara dengan perekonomian terbesar kedua di dunia.
Meski demikian, secara keseluruhan sepanjang tahun lalu ekonomi China tumbuh 8,1 persen. Angka hasil industri berjalan lebih baik dan ekonomi secara keseluruhan tumbuh sedikit di atas perkiraan, yaitu sebesar 4,0 persen pada triwulan IV-2021. Bank sentral China secara mengejutkan memotong suku bunga pinjaman utama sebesar 10 basis poin.
”Pemotongan (suku bunga) lebih besar dari yang diharapkan menunjukkan bahwa pihak berwenang menjadi lebih sibuk dengan pelemahan ekonomi,” kata Carlos Casanova, ekonom senior Asia di Union Bancaire Privee yang berbasis di Hong Kong. ”Yang terakhir (risiko Omicron) hanya akan mulai sepenuhnya terlihat dalam data gabungan Januari-Februari karena penguncian paling parah dimulai pada akhir Desember.”
Pelonggaran moneter China itu tampaknya membantu saham-saham unggulan di pasar saham China naik tipis 0,4 persen setelah data itu keluar. Adapun Indeks MSCI dari saham-saham di kawasan Asia Pasifik di luar Jepang turun 0,2 persen. Sementara Indeks Nikkei Jepang melambung 0,8 persen mengawali perdagangan pekan ini setelah turun 1,2 persen pada pekan lalu.
Pasar modal Amerika Serikat libur di awal pekan ini. Indeks-indeks berjangka terpantau turun di saat harga minyak melonjak ke level tertinggi dalam tiga tahun. Indeks Nasdaq berjangka melemah 0,4 persen dan Indeks S&P 500 berjangka kehilangan 0,2 persen. Adapun Indeks EUROSTOXX 50 berjangka naik tipis 0,3 persen dan Indeks FTSE berjangka relatif datar.
Saham-saham teknologi dilaporkan terus tertekan. Sektor teknologi informasi di Indeks S&P 500, yang menyumbang hampir 29 persen dari indeks, misalnya, merosot 5,5 persen pada tahun ini. Dengan valuasi yang masih tinggi, pendapatan perusahaan-perusahaan di sektor itu harus kuat untuk menghentikan tekanan turun lebih lanjut. Secara keseluruhan, pendapatan S&P 500 diperkirakan naik 23,1 persen musim ini, menurut Refinitiv IBES, sementara sektor teknologi terlihat naik 15,6 persen. Perusahaan yang pekan ini melaporkan kinerja mereka antara lain adalah Goldman Sachs, BofA, Morgan Stanley dan Netflix.
Dari Tokyo, sebuah pertemuan kebijakan Bank of Japan (BOJ) minggu ini akan memperhatikan pembicaraan terkait wacana revisi prospek pertumbuhan dan inflasi negara itu. Informasi dari sejumlah sumber mengungkapkan, pembuat kebijakan di Negeri Sakura tengah memperdebatkan seberapa cepat mereka bisa mulai menaikkan suku bunga. Sejumlah analis menilai hal itu tidak akan dilakukan dalam jangka dekat, tetapi bukan tidak mungkin program stimulus akan mulai dievaluasi secara bertahap.
Ini adalah salah satu alasan yen menguat terhadap dollar AS pada pekan lalu. Namun, awal pekan ini terlihat sebaliknya, posisi dollar AS terpantau menguat terhadap yen. Adapun mata uang Euro sedikit turun terhadap dollar AS di level 1,14 per dollar AS, sedangkan kenaikan imbal hasil surat utang membantu indeks dollar AS naik ke level 95,258 dan menjauh dari posisi terendahnya dalam kurun 10 pekan di level 94,626 yang dicapai pada Jumat pekan lalu.
”Kami terus memperkirakan bahwa greenback (mata uang dollar AS) akan menguat lagi dalam waktu dekat karena kami perkirakan tekanan harga siklus yang kuat di AS berarti The Fed akan melakukan pengetatan lebih lama daripada yang saat ini telah diposisikan oleh investor,” kata Joseph Marlow, seorang ekonom di Capital Economics. Marlow memperkirakan tingkat suku bunga The Fed akan mencapai level 2,5 persen tahun ini di saat sejumlah analis lain di pasar telah menetapkan level tertinggi suku bunga acuan itu di sekitar level 1,75-2,0 persen.
Harga minyak melanjutkan kenaikannya dalam empat pekan terakhir. Harga minyak Brent naik 48 sen ke level 86,54 per barel. Harga minyak diperkirakan bisa menembus level tertingginya pada 2014 di level 86,74 dollar AS per barel. Sementara itu, di komoditas, risiko suku bunga yang lebih tinggi membuat tertahan pada level 1.816 per troions. (AFP/REUTERS)