Indonesia Bisa Sodorkan Narasi Alternatif di G-20
Indonesia melalui Presidensi G-20 pada 2022 berpeluang ikut menentukan agenda global. Selama ini, agenda global ditentukan negara-negara adidaya. Namun dengan posisinya yang strategis, Indonesia bisa mewarnai.

Logo Presidensi G-20 Indonesia di kawasan Bundaran HI, Jakarta, Selasa (11/2/2022). Presidensi G-20 Indonesia yang mengusung tema ”Recover Together, Recover Stronger” menjadi momentum bagi Indonesia untuk memberikan kontribusi lebih besar di panggung internasional. Konferensi Tingkat Tinggi yang dihadiri kepala negara anggota G-20 itu digelar di Bali pada 30-31 Oktober 2022.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sebagai Ketua G-20 pada 2022 bisa menyodorkan narasi alternatif untuk ikut merekayasa arah perubahan dunia yang lebih damai, berkelanjutan, dan berkeadilan. Dalam jangka pendek, sumbangsih Indonesia diharapkan membantu pemulihan global dari pandemi Covid-19.
”Sebetulnya kita berharap Indonesia melalui G-20 bisa menentukan arah dunia ke depan. Biasanya yang menentukan arah dunia ke depan adalah G-7. Sekarang dengan kepemimpinannya, Indonesia yang akan menentukan arah ke depan. Itu tantangannya,” kata Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam wawancara khusus dengan harian Kompas dan Jakarta Post di Jakarta, Jumat (14/1/2022).
Baca juga: Kepemimpinan G-20
Dalam sejarahnya, menurut Airlangga, G-20 mampu berkontribusi mengatasi masalah dunia saat krisis ekonomi 1998 dan 2008. Namun untuk persoalan mutakhir yang disebabkan pandemi Covid-19, G-20 belum memberikan sumbangsih optimal. Melalui kepemimpinan di G-20, Indonesia diharapkan bisa mendorong dunia dari pandemi ke endemi di tahun ini.
”Elon Musk mengatakan, kita tidak membuat forecast masa depan, tapi kita merekayasa masa depan. Tentu kita berharap kita bisa menyetel forecast. Dan kita berharap kepemimpinan Indonesia di G-20 ini bisa ditindaklanjuti dengan kepemimpinan Indonesia di ASEAN pada 2023. Sebagai kawasan yang besar, ASEAN diharapkan bisa ikut menentukan. Apalagi ASEAN baru saja menerapkan RCEP,” kata Airlangga.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto dalam keterangannya di Hotel Splendide Royal, Roma, Italia, Sabtu, 30 Oktober 2021 waktu setempat, seusai mendampingi Presiden Joko Widodo dalam KTT G-20 di La Nuvola.
Tahun 2022-2023, Airlangga melanjutkan, sebetulnya adalah masa kepemimpinan Indonesia di tingkal global. Biasanya Indonesia lebih mengonsolidasikan urusan domestik. Namun, dengan menjadi Presiden G-20 pada 2022, Indonesia mau tidak mau menjadi pusat perhatian dalam percaturan ekonomi dan politik internasional.
”Dan peran inilah yang harus dimainkan Indonesia. Dan panggungnya muncul sendiri dengan G-20. Dan panggung ini tidak berhenti (pada G-20) karena pada saat kepemimpinan ASEAN pada 2023, berbagai negara pun berkepentingan. Ini adalah pertaruhan kita. Karena Indonesia ingin lepas dari middle income trap dan mau jadi negara maju. Di sinilah Indonesia incorporated. Jadi seluruh kemampuan yang ada di Indonesia harus kita keluarkan di sini. Momentum ini siklusnya 20 tahunan. Indonesia akan memimpin lagi di 2042,” kata Airlangga.
Baca juga: G-20 Aroma ”Dangdut”
Dalam konteks pemulihan dunia dari krisis multidimensi akibat pandemi Covid-19, Presidensi G-20 Indonesia mengusung tema, ”Recover Together, Recover Stronger”. Sebanyak tiga topik utama menjadi rujukan agenda, yakni memperkuat arsitektur kesehatan global, memajukan transformasi digital yang inklusif, serta transisi energi.
Tiga topik utama tersebut akan dijabarkan lebih detail ke sejumlah topik dalam dua arus besar pembahasan, yakni keuangan dan sektor riil. Sebanyak 150 kegiatan akan digelar sepanjang 2022 dengan puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Bali pada Oktober. Peserta diperkirakan 20.988 orang dari semua negara G-20 dan negara undangan.

Mantan Menteri Luar Negeri, Marty Natalegawa, membahas manfaat dan peluang ASEAN dalam peluncuran buku Does ASEAN Matter, Kamis (30/8/2018), di CSIS Jakarta. Buku itu ditulis Marty untuk merefleksikan pandangannya terhadap masa lalu dan masa depan ASEAN. Penasihat senior CSIS, Jusuf Wanandi, menjadi pembahas buku itu.
Menteri Luar Negeri Indonesia periode 2009-2014, Marty Natalegawa, berpendapat,posisi sebagai Ketua G-20 pada 2022 dan ASEAN pada 2023 memberikan kesempatan yang sangat berharga bagi Indonesia untuk mengambil tanggung jawab sekaligus peluang. Namun ia mengingatkan bahwa menjadi ketua tidak otomatis menjadi pemimpin.
”Perlu dibedakan bahwa keketuaan atau chairmanship dan kepemimpinan atau leadership tidak serta menjadi kesatuan. Suatu negara bisa menjadi chairman tapi yang ditampilkan hanya keketuaan dari segi prosedural saja. Artinya ia menjadi tuan rumah yang baik dan efisien sehingga acara berlangsung lancar dan nyaman serta melanjutkan agenda yang sudah ada ditetapkan sebelumnya,” kata Marty.
Namun pertanyaannya kemudian, Marty melanjutkan, apakah di samping kemampuan prosedural tersebut negara juga menunjukkan kepemimpinannya? Maksudnya, negara memengaruhi atau bahkan menentukan kerangka kebijakan yang berkaitan dengan tantangan di masa depan yang pengaruhnya melampaui periode presidensinya.
Baca juga : G-20 dan Momentum Transformasi
Selama ini, menurut Marty, Indonesia dalam konteks ASEAN selalu menunjukkan bukan saja kemampuan sebagai ketua, melainkan juga kepemimpinan. Hampir seluruh momen penting dalam pertumbuhan ASEAN dicapai pada masa keketuaan Indonesia. Misalnya RCEP yang baru saja diterapkan. Gagasan awalnya dicetuskan Indonesia pada 1992. Rekam jejak inilah yang seyogianya dilanjutkan pada G-20.
”Ini perlu forward looking, tidak saja mengikuti yang telah ditetapkan dan menjalankan rutinitas. Ini tantangan dan peluang Indonesia untuk menunjukkan, bukan saja kemampuannya menjadi ketua, melainkan juga menunjukkan kepemimpinannya memengaruhi kebijakan,” katanya.
Dunia misalnya menghadapi risiko perpecahan dengan makin ketatnya persaingan di antara sejumlah negara besar. Misalnya adalah AS dan China, AS dan Rusia, serta China dan India. Melalui rekam jejak sebagai ”pembangun jembatan”, Marty menilai Indonesia bisa berperan aktif dalam situasi yang tidak menguntungkan dunia tersebut. Setidaknya targetnya agar jangan sampai persaingan bereskalasi sehingga menimbulkan dampak yang tidak diharapkan.

Peluncuran situs resmi G20.org turut menandai pembukaan Presidensi G-20 Indonesia di Taman Lapangan Banteng, Jakarta, Rabu (1/12/2021). Turut hadir dalam pembukaan antara lain Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo, dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan.
”Kalau yang sifatnya rutin dan sudah ditetapkan pada pertemuan sebelumnya, tentu dengan sendirinya kewajiban kita untuk menahkodai prosesnya. Apakah itu limit ambisi dan aspirasi kita. Ataukah Indonesia harus berpikir dunia pada 2042 nanti seperti apa. Apa dinamika yang akan terjadi? Bagaimana kita bisa memengaruhi agar G-20 bisa mencermikan hal-hal yang menjadi kepentingan dan kepedulian nasional. Seyogianya Indonesia tidak saja melihat hal-hal yang sifatnya rutin tapi juga memproyeksikan pengaruhnya agar G-20 menjadi bagian dari resolusi dan memiliki konstruksi terhadap berbagai masalah global saat ini sekaligus persoalan selama 20 tahun mendatang,” kata Marty.
Marty mendorong agar Indonesia berani tampil. Saat ini, variabel pengaruh negara dalam kancah internasional sudah berubah. Dulu, pengaruh ditentukan dari agregasi variabel skala ekonomi, jumlah penduduk, kekuatan militer, dan sebagainya. Saat ini, pengaruh sangat bergantung isu. Maksudnya, untuk isu tertentu, konstelasi negara tertentu berpengaruh besar. Untuk isu lain, negara lain yang lebih berpengaruh.
Baca juga: Signifikansi Presidensi G-20 Indonesia 2022
”Kita harus pandai-pandai bisa mencermati ’mata uang’ power atau pengaruh. Indonesia di G-20, memang selama ini memainkan peranan sebagai bridge builder. Indonesia mewakili negara-negara berkembang dan ASEAN. Indonesia semacam manifestasi negara-negara yang memiliki beberapa ciri, tidak saja anggota G-20, tetapi juga negara yang peduli pada inklusivitas, UMKM, pembangunan yang berkelanjutan, dan sebagainya. Indonesia memiliki pengaruh, yang saya ketahui di masa lalu, bisa menjembatani perbedaan yang sangat tajam di antara negara-negara,” kata Marty.
Presidensi Indonesia G-20 ini, Marty menambahkan, kelihatannya berorientasi keluar. Namun mustahil bisa efektif mencapai target jika tidak ada integrated national outlook. Oleh karena itu, harus ada kesamaan pandangan dan koordinasi langkah di berbagai forum, mulai dari pemerintah hingga aktor-aktor nonpemerintah.

Yose Rizal Damuri
Direktur Eksekutif Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri menyatakan, kepemimpinan Indonesia di G-20 mau tidak mau harus lebih banyak mengusung agenda global. Namun ini bukan berarti lepas sama sekali dari kepentingan nasional. Sebab, narasi di tingkat global akan menentukan agenda-agenda di tingkat regional dan domestik.
”Kita boleh punya segala macam agenda domestik untuk menjadi negara maju misalnya. Tapi kalau kondisi global tidak mendukung atau membebani, maka agenda-agenda domestik juga akan menghadapi persoalan. Kalaupun bisa dicapai, itu akan berat. Oleh karena itu, tata kelola global harus dibentuk sedemikian rupa yang mendukung perkembangan domestik,” kata Rizal.
Baca juga: Presidensi G-20 Indonesia Bakal Hadapi Sejumlah Tantangan
Sehubungan dengan itu, Indonesia yang dianggap mewakili kepentingan negara-negara berkembang dan miskin harus memberikan solusi alternatif. ”Tidak bisa hanya sekadar beda pandangan saja tanpa menawarkan solusi lain,” katanya.
Di tengah arus perubahan besar dunia, Rizal mendorong agar Pemerintah Indonesia proaktif dalam kepemimpinan di G-20. Memengaruhi narasi kebijakan global di masa depan akan ikut menentukan pembangunan di Indonesia.

Teuku Rezasyah, pengajar Ilmu Hubungan Internasional pada Universitas Padjadjaran, Bandung, ketika ditemui di Gedung Kementerian Luar Negeri, Jakarta, Rabu (9/1/2019).
Dosen Program Studi Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran, Teuku Rezasyah, menyatakan, Indonesia berpeluang memengaruhi agenda global. Agar aspirasinya lebih kuat, Indonesia sebagai negara berkembang butuh menggandeng negara-negara kekuatan menengah, seperti India, Brasil, dan Kanada.
Tantangannya, negara-negara tersebut masih belum satu gagasan karena sejumlah persoalan. Misalnya adalah sekat-sekat warisan persoalan Perang Dingin. Ada pula masalah Covid-19 yang masih melanda masing-masing negara sebagai persoalan mutakhir.
Baca juga: G-20 dan Kontrak Sosial Baru
Pada periode 1950-an, menurut Rezasyah, dunia memiliki banyak pemimpin karismatik kawasan dan global sehingga mampu membawa dunia pada kepentingan bersama. Saat ini, situasi itu tidak terjadi lagi. Ini menjadi tantangan ketika visi dunia masih kabur dan setiap negara terkendala persoalan domestiknya sendiri-sendiri.
”Kita tidak perlu terlalu ambisius mengelola G-20. Tapi paling tidak, tiga topik utama yang menjadi dasar membuat kerangka kerja itu sudah bagus. Kita sudah semakin dekat dengan KTT G-20 di Bali. Yang dibutuhkan adalah kerangka kerja dan kerangka waktu bulanan yang jelas. Penting untuk memonitor capaian bulanannya dan sesukses apa Indonesia nanti menyintesakan pencapaian-pencapaian di G-20 dengan dunia melalui isu-isu strategis yang disepakati bersama. Ini perlu kepemimpinan nasional yang solid sehingga bisa meyakinkan dunia,” kata Rezasyah.