G-20 dan Kontrak Sosial Baru
Perubahan teknologi, kompetisi tinggi dan perubahan gaya hidup, telah membuat dunia ketenagakerjaan jauh berubah ketimbang masa sebelumnya. Sekarang yang bisa bertahan hanya mereka yang terus berinovasi dan beradaptasi.

Heryunanto
Indonesia akan memimpin G-20 di saat dunia memasuki tahap pemulihan krisis pandemi global. Dengan tema ”Recover Together, Recover Stronger”, G-20 kelihatannya optimistis pandemi Covid-19 akan berakhir. Agenda ke depan adalah perbincangan pemulihan.
Keberadaan Indonesia sebagai ketua G-20 memang karena aturan rotasi tahunan, untuk memastikan tidak ada negara yang mendominasi agenda, tetapi sebagai anak bangsa kita bersyukur negara kita memiliki kesempatan berkontribusi memulihkan dunia yang lagi krisis.
G-20 pada awalnya dibentuk (1999) hanya untuk menangani krisis keuangan global, tetapi perlahan berubah menjadi grup negara yang mengurusi tata kelola global, seperti isu pajak, energi, migrasi, keuangan, lingkungan, dan pasar kerja. Deklarasi G-20 di Roma akhir Oktober lalu menetapkan 27 isu prioritas untuk 2022. Isu prioritas tersebut hampir mengakomodasi semua masalah aktual yang dibicarakan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain memperluas garapan isu, G-20 juga memperluas aliansinya dengan organisasi internasional ternama lainnya, seperti OECD dan ILO, dan beberapa organisasi ’engagement groups’ yang mewakili berbagai pemangku kepentingan, mulai dari kelompok bisnis, organisasi masyarakat sipil, serikat buruh, parlemen, hingga kelompok pemikir. Ini adalah usaha G-20 untuk lebih inklusif kepada semua kelompok dan sekaligus menaikkan legitimasinya yang masih kerap dipertanyakan beberapa ahli.
Isu prioritas tersebut hampir mengakomodasi semua masalah aktual yang dibicarakan di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Bagaimana G-20 sebagai sebuah institusi nonformal memiliki legitimasi mengatur tata kelola global? Bukankah itu urusan badan PBB? Banyaknya isu prioritas G-20 di satu sisi bermanfaat untuk menunjukkan kepada dunia bahwa G-20 tak hanya mengurusi kepentingan G-20 semata, tetapi juga mengurusi masalah negara miskin, seperti tertuang di isu prioritas nomor 10 (dukungan untuk negara-negara rentan). Namun, isu prioritas yang terlalu banyak dalam masa satu tahun akan menyulitkan mengukur keberhasilannya.
Keterlibatan kelompok pemangku kepentingan dari masyarakat sipil, seperti kelompok buruh (L20), perempuan (W20), pebisnis (B20), dan pemuda (Y20), diharapkan bisa membantu percepatan implementasi isu prioritas secara lebih terarah.
Kontrak sosial baru
Labor (L20) sebagai salah satu kelompok yang dilibatkan dalam engagement group menyambut isi deklarasi dengan positif karena sejalan dengan prioritas buruh, yang menghendaki terciptanya pekerjaan penuh, transisi yang adil dalam kebijakan iklim, dan jaminan sosial dasar universal. Namun, wadah serikat buruh internasional (ITUC) menyerukan perlunya dibuat ’kontrak sosial baru’ untuk mengisi berbagai kekosongan aturan hukum sebagai akibat perubahan baru ekonomi, sosial, dan teknologi.
Kaum buruh menghadapi kecemasan dengan banyaknya masalah yang dihadapi saat ini tak bisa diselesaikan dengan undang-undang atau regulasi yang ada. Pertumbuhan jenis kerja baru tanpa perlindungan standar (non-standard employment form) seperti pekerja platform; kemunculan industri ”surveillance capitalism” yang memproduksi barang dan jasa dengan menggunakan data perilaku sebagai bahan mentah (Shoshana Zuboff, 2019).
Baca juga : Upah dan Optimisme Ketersediaan Lapangan Kerja
Kedua masalah di atas berpengaruh terhadap kaburnya definisi pengusaha dan pekerja, dan membuat peran lembaga hubungan industrial sebagai lembaga yang selama ini berfungsi mengelola konflik hubungan industrial merosot. Terjadi masalah dalam hal keterwakilan ”gap representation” saat serikat buruh dan serikat pengusaha masing-masing mengalami penurunan cakupan kepesertaan sehingga perwakilan lembaga tripartit tidak sepenuhnya merefleksikan konstituen.
Beberapa contoh kekosongan hukum yang saat ini terjadi, antara lain, bisa ditemukan sebagai berikut. Pertama, di bidang ketenagakerjaan, perkembangan teknologi telah melahirkan jenis pekerja baru tanpa memerlukan majikan, seperti pekerja digital platfom, pekerja jarak jauh (remote workers).
Kedua, dalam bidang jaminan sosial, dengan membaiknya usia harapan hidup, membuat banyak pekerja akan pensiun di usia produktif, tetapi tanpa jaminan pensiun. Eskalasi pekerja rentan tanpa jaminan sosial dasar, selain memperburuk keberlanjutan jaminan sosial, berpotensi menjerumuskan lebih banyak pekerja ke jurang kemiskinan.
Ketiga, dalam bidang lingkungan hidup, ancaman perubahan iklim global tanpa mitigasi dan adaptasi yang jelas dan terukur akan meningkatkan pengangguran kerja secara masif.

Para pekerja berhamburan keluar dari Stasiun Sudirman, Jakarta Pusat, menuju tempat kerja masing-masing, Jumat (19/11/2021).
Keempat, dalam bidang kesehatan, dengan semakin seringnya muncul penyakit pandemi global, ada desakan untuk menetapkan perlindungan kecelakaan dan keselamatan kerja (K3) sebagai konvensi fundamental ILO agar pemerintah lebih serius dan siap menghadapi kemungkinan pandemi global lain.
Kelima, masalah ketimpangan upah perempuan (gender pay gap) yang dari tahun ke tahun nyaris tak berubah. Upah perempuan selalu lebih rendah dibandingkan dengan upah laki-laki. Data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS) 2020, perempuan menerima upah 23 persen lebih kecil dibandingkan dengan laki-laki.
Keenam, di bidang perpajakan, sistem hukum yang ada tak mampu melawan praktik pengemplangan pajak yang dilakukan pebisnis digital. Itu sebabnya, G-20 bersama OECD menyetujui pembentukan ’Solusi Dua Pilar’ untuk mengatasi tantangan pajak yang timbul dari digitalisasi ekonomi. Potensi pajak dari inisiatif ini, menurut OECD, bisa mencapai 100 miliar dollar AS per tahun.
Kontrak sosial baru bukan tentang pajak yang lebih tinggi, melainkan penataan ulang beberapa hal mendasar akan pemerataan dan distribusi kepada masyarakat. Keterlambatan dunia dan pemerintah melakukan pengaturan akan menghadirkan ketidakpastian sosial-ekonomi kepada pekerja, pengusaha dan masyarakat, yang bisa menurunkan kepercayaan publik kepada pemerintah dan lembaga publik.
Kontrak sosial baru bukan tentang pajak yang lebih tinggi, melainkan penataan ulang beberapa hal mendasar akan pemerataan dan distribusi kepada masyarakat.
Membereskan pekerjaan rumah
Isu prioritas G-20 menjanjikan banyak harapan buat perbaikan kesejahteraan pekerja Indonesia, hampir semua harapan buruh tertuang dalam isu prioritas itu. Sekarang tinggal bagaimana memastikan implementasinya dilakukan dengan tepat dan cepat karena buruh perlu bukti nyata, bukan hanya pernyataan indah di atas kertas.
Indonesia akan lebih kuat menjalankan peran internasionalnya di G-20 apabila bisa membereskan beberapa pekerjaan rumah yang selama puluhan tahun terus mengganggu hubungan industrial Indonesia. Sebab, tidak mungkin Indonesia memiliki keberanian moral mengatasi problem global apabila gagal menjalankan amanat deklarasi G-20 dalam negeri. Negara anggota G-20 umumnya negara kaya, sementara negara sedang berkembang hanya sedikit.
Indonesia dan India menjadi negara dengan pendapatan per kapita terendah. Ini berarti Indonesia memiliki beban lebih berat dalam menjalankan isu prioritas G-20. Beberapa masalah klasik ketenagakerjaan di bawah ini seharusnya dibereskan sebelum terlalu jauh terlibat mengatasi problem global.
Solusi untuk masalah upah minimum dan upah layak seharusnya diselesaikan melalui mekanisme baru sesuai dengan sifat industri revolusi industri 4.0. Dengan dinamika ekonomi dunia yang dipenuhi berbagai ketidakpastian dan kompleksitas, sistem pengupahan seharusnya dibuat dengan sistem yang memiliki kelenturan untuk beradaptasi.
Penetapan upah di perusahaan seharusnya ditetapkan melalui perundingan bipartit tingkat perusahaan. Sistem ini lebih adil dan ’less-conflict’ karena besaran upah akan merefleksikan kondisi usaha. Sementara upah minimum ditetapkan pemerintah, tetapi hanya ditujukan kepada pekerja rentan yang tak memiliki skema perundingan secara bipartit (misalnya usaha mikro di bawah 10 pekerja, pekerja jarak jauh, dan pekerja harian). Sistem upah Indonesia yang rumit dan banyak mekanisme melahirkan potensi konflik berkepanjangan dan memicu banyak penyimpangan.
Untuk mencegah penggunaan pekerja kontrak yang berkelanjutan, bisa diselesaikan dengan cara memberikan upah yang lebih tinggi kepada pekerja kontrak dan kesempatan mendapat Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Sayangnya, saat ini regulasi tidak mengikutsertakan mereka mendapat JKP.

Masalah lama lainnya mengenai lemahnya pengawasan kerja. Pemerintah segera memenuhi kekurangannya dengan merujuk pada standar ILO. Untuk kasus Indonesia, rasio pengawas ketenagakerjaan harusnya pada rasio 1 orang pengawas untuk 40.000 perusahaan (1:40.000), tetapi sekarang kasusnya adalah 1:63.336.
Untuk mencapai cakupan jaminan sosial universal, khususnya di bidang ketenagakerjaan, dilakukan dengan membuat syarat, setiap orang yang berada di usia kerja harus memiliki kartu Jamsostek untuk bepergian dengan angkutan umum.
Persis sama dengan aturan penggunaan tes antigen atau PCR saat ini. Untuk mengatasi masalah pekerja platform yang tidak memiliki perlindungan kerja, dilakukan dengan membuat regulasi khusus. Yang mendesak untuk pekerja platform adalah perlindungan jaminan sosial mengingat banyaknya kecelakaan kerja yang terjadi. Kita bisa meniru perlindungan jaminan sosial negara India dengan konsep kontribusi campuran pemerintah dan pengusaha.

Rekson Silaban
Perubahan teknologi, kompetisi tinggi dan perubahan gaya hidup, telah membuat dunia ketenagakerjaan jauh berubah dibandingkan dengan masa sebelumnya. Aturan, teori, pendekatan, dan pengalaman lama banyak yang tidak lagi relevan. Sekarang yang bisa bertahan hanya mereka yang terus berinovasi dan beradaptasi secara cepat.
Rekson Silaban, Co-chair Labor 20 untuk G-20