Keharusan Bangsa Arab Belajar Bahasa Mandarin
Seorang pengamat politik di Mesir melemparkan pemikiran tentang perlunya bangsa Arab mulai belajar bahasa Mandarin. Pertimbangannya, pengaruh ekonomi dan politik China menguat secara global, termasuk di Arab.
Pengamat politik Mesir, Abdel Moneim Saeed, menulis artikel pada harian Asharq Al-Awsat edisi Rabu 29 Desember 2021 dengan judul, ”Kapan Kita Belajar Bahasa Mandarin?”.
Saeed dalam artikelnya menggambarkan tentang kemajuan China saat ini yang akan segera menjelma menjadi negara raksasa. Ia menyebut, berita tentang kemajuan teknologi dan ekonomi yang datang dari China ibarat air deras yang tak dapat dibendung saat ini. Ini misalnya merujuk pada kisah perusahaan e-commerce Ali Baba, teknologi 5G, mobil listrik, dan megaproyek konektivitas yang disebut Inisiatif Sabuk dan Jalan.
Baca juga : Menyoroti Tantangan Prakarsa Sabuk dan Jalan China
Pengaruh China pun, khususnya sektor ekonomi, sudah merambah ke seluruh dunia. Tak terkecuali wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara. Dengan kata lain, hampir tidak ada negara di muka bumi ini tanpa sentuhan tangan China. Oleh karena itu, Saeed menegaskan, sudah tiba waktunya bagi bangsa Arab yang mendiami wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara belajar bahasa Mandarin.
Menurut Saeed, zaman sudah berubah. Pada abad lalu, bangsa Arab harus belajar bahasa Inggris dan Perancis karena hegemoni kolonial Inggris dan Perancis di Timur Tengah dan Afrika Utara. Hegemoni kemudian bergeser ke Amerika Serikat sebagai negara superpower pasca-Perang Dunia II. Kini dan mendatang adalah era China. Untuk itu, bahasa Mandarin tidak bisa hanya semata-mata dilihat dengan pendekatan bahasa dan kesusastraan, melainkan juga dengan kacamata politik, diplomasi, dan ekonomi.
Jika bangsa Arab mahir bahasa Mandarin, Saeed melanjutkan, itu akan lebih membuka jalan untuk memahami kultur dan filosofi hidup orang China yang mengantarkan negara itu mencapai kemajuan seperti sekarang ini. Bangsa Arab bisa belajar dari kultur orang China untuk berjuang mencapai kemajuan sekaligus keluar dari keterpurukan bangsa Arab saat ini. Apa yang ditulis Saeed ini sejalan dengan sebuah hadis yang cukup populer dan berbunyi, ”Tuntutlah ilmu walau ke Negeri China”.
Dalam tataran praktis, bisa berbahasa Mandarin bagi bangsa Arab sudah menjadi keniscayaan. Sebab, hubungan bangsa Arab dan China kini tidak hanya semata dilihat dari ketergantungan China terhadap minyak dan gas di dunia Arab, tetapi juga ekspansi ekonomi China di Timur Tengah dan Afrika Utara sudah luar biasa.
Baca juga : Timur Tengah Makin Dekat ke China
Selama periode 2006-2020, investasi China di Mesir, Suriah, Jordania, Turki, dan Israel mencapai 85,1 miliar dollar AS atau 33 persen dari total investasi asing di Timur Tengah dan Afrika Utara yang mencapai 251 miliar dollar AS. Sementara neraca perdagangan China dan dunia Arab secara keseluruhan mencapai 240 miliar dollar AS pada 2020.
Pada masa pandemi Covid-19, China memasok jutaan vaksin Sinovac dan Sinopharm ke negara-negara Arab, seperti Mesir, Aljazair, Maroko, Tunisia, Uni Emirat Arab (UEA), Irak, dan Jordania. Bahkan Mesir dan Aljazair telah mencapai kesepakatan dengan China untuk memproduksi vaksin Sinovac di kedua negara Arab tersebut.
Hampir semua proyek besar di Timur Tengah dan Afrika Utara saat ini tidak lepas dari China. Di Mesir, proyek pembangunan pusat bisnis dan keuangan (central business district/CBD) di ibu kota baru Mesir (sekitar 60 km arah tenggara kota Kairo) merupakan proyek patungan Mesir-China. Kontraktor utama proyek CBD itu adalah China State Construction Engineering Corporation Ltd (CSCEC). Kompleks CBD yang terdiri dari 20 menara itu senilai 3 miliar dollar AS atau sekitar Rp 42 triliun. Sejak 2000 hingga 2012, China telah terlibat dalam pembangunan 39 proyek besar di Mesir.
China juga masuk melalui kerja sama pelabuhan dengan beberapa negara Arab, seperti Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Badan urusan pelabuhan internasional Arab Saudi pada 20 Desember 2021 menandatangani kerja sama dengan China untuk pembukaan jalur logistik baru antara Pelabuhan Dammam di Arab Saudi Timur dan beberapa pelabuhan di China.
Baca juga : UEA-China Bangun Pabrik Vaksin Covid-19 Pertama di Kawasan Arab
Kerja sama tersebut menegaskan pelayaran kapal-kapal kargo minimal satu kali per minggu antara pelabuhan Dammam dan Pelabuhan di China guna meningkatkan hubungan dagang kedua negara. Dalam kerja sama itu juga ditegaskan bahwa China akan membantu Pelabuhan Dammam menjadi pusat logistik di kawasan Arab Teluk.
Kini, terdapat 160 perusahaan China beroperasi di Arab Saudi yang mempekerjakan 42.000 warga China yang bergerak diberbagai sektor. Di antaranya konstruksi, telekomunikasi, dan infrastruktur. Dalam kunjungan Raja Salman ke Beijing pada Maret 2017, China dan Arab Saudi menandatangani nota kesepahaman di berbagai sektor dengan nilai investasi mencapai 65 miliar dollar AS.
Pada 2019, China dan UEA menandatangani kerja sama senilai 3,4 miliar dollar AS untuk meningkatkan hubungan perdagangan kedua negara, termasuk pengelolaan China atas Pelabuhan Al-Khalifadi dekat Abu Dhabi. Kontrol China atas Pelabuhan Al-Khalifa itu sempat menuai protes AS kepada UEA. Sebab, China dituduh secara diam-diam membangun kekuatan militer di pelabuhan Al-Khalifa itu. Sementara neraca perdagangan China-UEA pada 2020 mencapai 53 miliar dollar AS.
China mencanangkan Arab Saudi dan UEA sebagai bagian dari megaproyek Inisiatif Sabuk dan Jalan yang akan menghubungkan jalur perdagangan China dengan kawasan Timur Tengah melalui darat maupun laut.
Baca juga : China Bangun 1.000 Sekolah untuk Irak
Di Irak, kehadiran China cukup kuat pula. Pada September 2019, China dan Irak menandatangani kerja sama bilateral dalam jangka 10 tahun. Ini meliputi bantuan China untuk pembangunan infrastruktur di Irak, seperti jalan raya, jalur kereta api, pelabuhan, perumahan, rumah sakit, sekolah, bendungan, dan pembangkit listrik.
Kerja sama China-Irak itu ditandatangani oleh Perdana Menteri Irak saat itu, Adil Abdul Mahdi, dan Presiden China Xi Jinping. Ini terjadi dalam kunjungan Mahdi ke Beijing pada September 2019.
Di Afrika Utara, Aljazair merupakan negara Arab yang dikenal memiliki hubungan sangat kuat dengan China. Dari 2000 hingga 2011, sedikitnya sembilan proyek besar dibangun China di negara itu. Di antaranya gedung Opera House yang megah di kota Algier.
Kerja sama China-Aljazair juga merambah sektor energi, otomotif, pembangunan area perdagangan bebas, dan sektor lainnya. Dari 2005 hingga 2020, investasi dan kontrak bisnis China di Aljazair mencapai nilai 23,85 miliar dollar AS, termasuk pembangunan jalan tol yang membentang antara timur dan barat Aljazair serta Masjid Agung di ibu kota Algier.
Pada 2018, China menggelontorkan dana 28,8 juta dollar AS untuk memperkuat hubungan ekonomi China-Aljazair. Ekspor China ke Aljazair pada 2019 mencapai 7 miliar dollar AS. Pada periode yang sama, ekspor Aljazair ke China mencapai 1,2 miliar dollar AS.
Baca juga : Afrika Minta Keringanan Utang kepada China
Di Maroko, sejak 2000 hingga 2012, China telah membangun 36 proyek di berbagai sektor. Pada 2016, Maroko mengumumkan pembangunan area hub ekonomi baru di Maroko Utara dengan bantuan China. Proyek tersebut ditaksir menelan biaya 11 miliar dollar AS. Investasi China juga merambah ke Tunisia, Jordania, Sudan, Oman, dan Kuwait.
Dalam upaya mengamankan investasinya di Timur Tengah dan Afrika Utara, China membangun pangkalan militer di Djibouti. Majalah Perancis Le Point edisi 21 Desember 2021 mengungkapkan, adanya pangkalan militer China di sebuah pelabuhan di Djibouti. Pelabuhan tersebut dilengkapi fasilitas tempat landasan helikopter dan sering menjadi tempat persinggahan kapal perang dan kapal selam China yang lalu lalang di sekitar area Laut Merah dan Teluk Persia. China sejak 2014 juga membuka sekolah diplomasi di Djibouti yang memberi pelajaran bahasa Mandarin kepada para pemuda di negara itu.
Itulah potret peta investasi China di Timur Tengah dan Afrika Utara yang terus menggeliat maju. Maka, wajar jika mulai banyak muncul narasi tentang pentingnya belajar bahasa Mandarin.