Ahli Waris Dinasti Pendiri Taj Mahal Menuntut Pengakuan dan Keadilan
Keluarga Kekaisaran Mughal, yang berkuasa di India lebih dari tiga abad, kini hidup dalam kemiskinan. Sultana Begum, salah satu ahli warisnya, menggugat Pemerintah India untuk memberikan kompensasi lebih baik.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Di rumah dengan dinding semipermanen di kawasan kumuh Howrah, kota Kalkutta, India, itu Sultana Begum menghabiskan hari-harinya. Ia menyetrika atau menjahit baju untuk remaja putri dan perempuan dewasa. Untuk memasak, dia berbagi ruang dengan tetangganya. Adapun untuk mencuci, Begum menggunakan kamar mandi umum bersama warga lain di sekitarnya.
Untuk mencukupi kebutuhan dirinya dan anak-anaknya, selain menerima uang pensiun dari pemerintah, Begum sempat berjualan teh di kios kaki lima samping Stasiun Howrah. Tetapi, kios itu kini tergusur karena perluasan stasiun.
Selain uang pensiun dan benda-benda sederhana yang masih dimilikinya, harta paling berharga milik Begum adalah catatan bukti pernikahannya dengan Mirza Mohammad Bedar Bakht tahun 1965. Mirza Mohammad Bedar Bakht adalah cucu Mirza Jawan Bakht, putra kaisar Dinasti Mughal ke-20 Bahadur Shah Zafar.
Sejak kematian suaminya tahun 1980, Begum berjuang untuk bertahan hidup. Tidak hanya untuk dirinya sendiri dan anak-anaknya, tetapi juga keturunan Dinasti Mughal. Dalam satu dekade terakhir, dia mengajukan petisi kepada Pemerintah India agar statusnya sebagai ”darah biru” Dinasti Mughal diakui dan mendesak pemerintah memberikan kompensasi yang sesuai.
”Dapatkah Anda bayangkan bahwa keturunan kaisar yang membangun Taj Mahal sekarang hidup dalam kemiskinan yang parah?” kata Begum (68).
Selain menuntut pengakuan statusnya sebagai darah biru, keturunan Dinasti Mughal, dan kompensasi, Begum juga memperjuangkan kepemilihan Red Fort atau Benteng Merah yang megah, sebuah kastel luas di New Delhi yang pernah menjadi pusat kekuasaan Kekaisaran Mughal.
"Saya berharap pemerintah memberi saya keadilan. Ketika sesuatu menjadi milik seseorang, itu harus dikembalikan,” katanya.
Penguasa India
Kaitan Begum dengan Kekaisaran Mughal—berkuasa di India 1526-1857—dimulai dari sang suami, Mirza Mohammad Bedar Bakht, cucu Mirza Jawan Bakht, putra kaisar Dinasti Mughal ke-20 Bahadur Shah Zafar dengan Zinat Mahal, satu dari empat istrinya.
Dalam sebuah tulisan di New York Times, 22 April 2007, William Dalrymple melukiskan pernikahan Pangeran Jawan Bakht dengan Nawab Shah Zamani Begum sangat megah. Selain mengikutsertakan pasukan kerajaan, hewan-hewan peliharaan kerajaan, seperti gajah dan harimau, juga turut memeriahkan pesta pernikahan itu. Rakyat India pun digambarkan bersukacita dengan pernikahan pangeran yang masih berusia 14 tahun dan mempelainya yang baru berusia 10 tahun.
Kemegahan pernikahan adalah salah satu hal dari sekian banyak cerita soal Dinasti Mughal ini. Peletak dasar Kekaisaran Moghul, yang menguasai banyak wilayah di selatan Asia, mulai dari India hingga Afghanistan, adalah Zahiruddin Muhammad. Ia adalah keturunan ke-14 Jengis Khan, penguasa Mongolia.
Sebagai keturunan Jengis Khan, nafsu ekspansi Zahiruddin Muhammad membuat penguasaan strategi perangnya mumpuni, yang sangat dibutuhkan saat bertempur di medan perang. Kabul dan Ghazn menjadi dua wilayah yang pertama-tama ditaklukkannya, sebelum merambah ke Punjab, India. Setelah itu, perlahan-lahan dia menaklukkan Bhera, Lahori hingga Kerajaan Delhi.
Di bawah Kekaisaran Mughal, rakyat India mengalami masa kemakmuran. Selain penyeragaman penggunaan mata uang, kontak dagang dengan organisasi di Eropa membuat barang-barang asal India diminati warga ”Benua Biru”. Banyak bangunan megah dengan perpaduan arsitektur Persia-Islam dan Hindu India dibangun pada masa Kekaisaran Mughal. Salah satu yang paling terkenal adalah Taj Mahal.
Namun, hubungan terbuka dengan dunia Barat membuat kekuasaan kekaisaran mulai digerogoti. Saat Zafar dinobatkan sebagai kaisar ke-20 Dinasti Mughal tahun 1837, wilayah kekuasaannya hanya tinggal Delhi dan sekitarnya.
Zafar, yang lebih suka menulis puisi ketimbang berperang, akhirnya menyerah dan diasingkan ke Rangoon (sekarang Yangon), Myanmar. Tentara Inggris mengepung Delhi dan menghancurkan perlawanan tentara kerajaan serta mengeksekusi 10 putra Zafar. Lima tahun kemudian, pada 1862, Zafar meninggal di pengasingan dan dimakamkan di Rangoon.
Masalah pengakuan
Selain Begum, keturunan Zafar cukup banyak dan tersebar di sejumlah kota, tak hanya di India, tetapi juga di luar negeri, termasuk Amerika Serikat. Namun, mereka lebih banyak diam, menyembunyikan status karena alasan politis.
Begum Laila Umahani, dikutip dari artikel BBC, 10 Agustus 2002, mengatakan, mereka memilih menyembunyikan identitas sebagai keturunan Dinasti Mughal karena khawatir diolok-olok. Apalagi, setelah film dokumenter Living Moghals disiarkan di sejumlah televisi di India, yang menyebut sudah tak ada keturunan Dinasti Mughal di India.
Sultana Begum mengatakan, Pemerintah India saat diperintah Perdana Menteri Jawaharlal Nehru mengakui mereka sebagai keturunan Babur, pendiri Kekaisaran Mughal. Benteng Merah, Red Fort, yang didirikan pada saat Kekaisaran Moghul berjaya, adalah salah satu bukti sejarah dan sekarang dijadikan simbol kebebasan dari cengkeraman kolonialisme Inggris. Nehru adalah PM India pertama yang mengibarkan bendera nasional di Gerbang Utama Red Fort, menandai kemerdekaan India tahun 1947.
Tetapi, menurut Begum dan kuasa hukumnya, Vivek More, kini Pengadilan Tinggi New Delhi memutarbalikkan pengakuan Nehru dan Pemerintah India sebelumnya. Pemerintah India sebelumnya menyatakan petisi yang diajukan Begum hanya buang-buang waktu. Pengadilan menyatakan Begum dan kuasa hukumnya memberikan penjelasan mengapa kasus itu baru dibawa sekarang.
Seperti dikutip laman The Hindu, Hakim Rekha Palli yang memimpin jalannya persidangan petisi Begum mengatakan bahwa penggugat dan kuasa hukumnya tidak bisa memberikan penjelasan yang dapat dibenarkan untuk mengajukan petisi itu setelah tertunda lebih dari 150 tahun. Hakim Palli juga mempertanyakan, mengapa Begum atau keturunan Kaisar Zafar lainnya tidak mengajukan gugatan puluhan tahun silam.
“Mengapa tidak ada yang diajukan saat itu? Jika nenek moyangnya tidak melakukannya, bisakah dia melakukannya sekarang?,” kata Hakim Palli.
Begum dan More menyatakan tidak puas dengan putusan itu. More mengatakan, Begum memutuskan untuk naik banding dan mengajukan pembelaan di pengadilan yang lebih tinggi.
More mengatakan, Begum telah mengalami kehidupan yang menyengsarakan. Bahkan, sebelum menjanda, dia dipaksa pindah ke kawasan kumuh yang sekarang dia sebut sebagai rumah. "Kemiskinan, ketakutan, dan kurangnya sumber daya mendorongnya ke jurang," tambahnya.
Tetapi, dia tidak putus asa. Begum tidak mau menyerah meski Pengadilan Delhi menolak memenangkan kasusnya. "Saya berharap hari ini, besok atau 10 tahun, saya akan mendapatkan apa yang menjadi hak saya. Insya Allah, saya akan mendapatkannya kembali... Saya yakin, keadilan akan terjadi,” kata Begum. (AFP)