Susahnya Melarang Orang Meludah, India Punya Beragam Kisah
Kampanye stop meludah gencar dilakukan di India karena kebiasaan itu dianggap bisa menyebarkan Covid-19. Namun, kampanye ini tak mudah. Meludah di negara itu sudah menjadi semacam tradisi yang sulit dihilangkan.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
”Jangan meludah sembarangan”. Sejak pandemi Covid-19, tulisan berisi imbauan untuk tidak meludah sembarangan seperti ini semakin banyak dipasang di segala penjuru wilayah di India. Sebenarnya kampanye ”stop meludah” di India sudah dimulai sejak bertahun-tahun lalu. Namun, belakangan anjuran itu kian gencar karena Covid-19 dan TBC bisa menular salah satunya melalui ludah.
Raja dan Priti Narasimhan, warga kota Pune, kepada BBC News, pekan lalu, menceritakan bahwa keduanya mulai berkampanye keliling India membawa pesan stop meludah di tempat umum. Pasangan suami istri itu keliling India dengan mobil yang penuh tulisan berisi seruan untuk stop meludah dan dilengkapi dengan pengeras suara.
Jika Anda sudah pernah ke India, pasti akan tahu betapa beratnya kampanye tersebut. Hampir di setiap jengkal tanah, dinding, dan jembatan ada bekas ludah orang.
Raja dan Priti Narasimhan sudah berkampanye keliling negeri sejak 2010 sambil membuka workshop, kampanye daring dan luring, serta gotong royong membersihkan kota dengan pemerintah kota.
Satu waktu, Narasimhan pernah sangat kesal karena ada orang yang meludahi dinding stasiun kereta. Padahal, tiga hari sebelumnya, mereka baru saja selesai mengecat dindingnya dan sudah bersih dari bekas ludah orang.
Ketika Narasimhan marah, orang malah berbalik marah kepadanya. Bahkan, ada orang yang berbalik menghardik dengan mengatakan, ”Apa masalahmu? Memangnya dinding ini punya bapakmu?” Namun, sejak pandemi banyak yang berubah karena orang mulai takut dengan Covid-19.
Upaya menghentikan kebiasaan meludah di tempat umum di India tak mudah. Mumbai juga sudah berusaha keras dengan mempekerjakan pengawas khusus yang bertugas mencegah orang meludah dan kencing di tempat umum. Dengan adanya pandemi, tugas para pengawas dipermudah karena pemerintah kemudian serius memberi hukuman denda mahal, bahkan penjara, jika ada yang tetap ngeyel meludah sembarangan.
Perdana Menteri India Narendra Modi juga mengimbau rakyat tak meludah sembarangan. Apalagi, mereka sudah tahu dari dulu bahwa meludah di sembarang tempat itu keliru.
Pada tahun 2016 pernah ada menteri India yang mengatakan bahwa India merupakan negara yang suka meludah. Orang meludah ketika sedang bosan, lelah, marah, atau tanpa alasan apa pun. Orang juga bisa meludah di mana saja dan kapan saja.
Kolumnis India, Santosh Desai, menduga hal itu karena laki-laki India sudah merasa nyaman dengan tubuhnya dan semua yang keluar dari tubuhnya. ”Kalau merasa tidak nyaman, langsung dikeluarkan dan tidak ditahan-tahan,” ujarnya.
Berbekal pengalaman menangani isu ini selama bertahun-tahun, Narasimhan akhirnya mengetahui alasan orang meludah itu beragam, mulai dari melepaskan amarah hingga iseng karena tak ada hal lain yang dilakukan atau sesederhana mereka mau meludah saja, tanpa alasan. ”Mereka merasa meludah itu hak mereka,” ujar Narasimhan.
Bersih diri
Menurut sejarawan Mukul Kesavan, kebiasaan meludah itu juga berasal dari obsesi warga India terhadap polusi dan cara menghilangkannya sendiri. Sejumlah sejarawan meyakini, kebiasaan meludah itu berasal dari gagasan Hindu dan kasta atas yang memercayai, untuk menjaga kemurnian tubuh, harus membuat sesuatu yang kotor keluar rumah. Bagi warga India, perilaku meludah ini biasa saja dan tidak ada urusannya dengan kesehatan.
Rupanya, ada masanya zaman dahulu orang bisa dan boleh meludah di mana saja. Di India, meludah bahkan menjadi semacam tradisi di kerajaan dan di setiap rumah pasti ada spot khusus meludah.
Pada abad pertengahan di Eropa, orang bisa meludah saat makan selama meludahnya ke bawah meja. Di Amerika Serikat, meludah di mana pun juga biasa saja. Meludah di sarana transportasi umum juga biasa di Inggris, tetapi lama-kelamaan perilaku meludah dilarang dan pelakunya didenda sejak muncul TBC di Barat.
Wartawan Vidya Krishnan yang menulis buku Phantom Plague: How Tuberculosis Shaped History menjelaskan, kesadaran masyarakat akan kuman mulai tumbuh pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Akhirnya masyarakat memahami, kuman bisa menyebar dengan cepat sehingga kebiasaan sosial pun berubah.
”Orang lalu belajar menutup mulut saat bersin dan batuk, tidak mau bersalaman dan mencium bayi. Kesadaran yang meningkat bisa mengubah perilaku seseorang,” ujar Krishnan.
Hanya saja, kebiasaan meludah agak sulit hilang di India karena tidak ada keinginan dan usaha kuat untuk menghentikan kebiasaan itu. Apalagi, kebiasaan meludah itu secara sosial masih bisa diterima.
Tantangan lain, kata Krishnan, adalah tidak ada perubahan perilaku masif atau intervensi kesehatan masyarakat yang bisa mengesampingkan kasta, kelas, dan jender. ”Di India, akses pada kamar mandi, jaringan air yang baik, dan air bersih itu sulit. Hanya kalangan terbatas yang bisa menikmatinya,” ujarnya.
Tiga negara terbanyak meludah
Guru besar sosiologi di Plymouth University, Ross Coomber, kepada harian The Guardian menjelaskan bahwa kebiasaan dan alasan meludah itu berbeda-beda di setiap negara. Coomber pernah melakukan survei di kota Mumbai, Kuala Lumpur, Jakarta, Tokyo, Seoul, dan Shanghai untuk membandingkan kebiasaan meludah di tempat umum.
Hasil surveinya menunjukkan, ada tiga negara yang penduduknya paling banyak meludah, yakni India, Korea Selatan, dan China. Meludah di Mumbai biasanya dilakukan terkait dengan kebiasaan mengunyah pinang, seperti halnya di sejumlah daerah di Indonesia. Meludah di Korsel terkait dengan kebiasaan merokok, sedangkan di China terkait dengan ketidaksukaan untuk menelan.
Bagi Coomber, kebiasaan meludah itu tidak ada hubungannya dengan kesehatan masyarakat karena urusannya lebih banyak terkait dengan etika kesopanan. Namun, menurut Wakil Presiden Fakultas Kesehatan Masyarakat Wolverhampton University John Middleton, kebiasaan itu tetap saja tidak perlu dan kurang tepat. Soalnya, ada risiko penyebaran virus dan bakteri.
Coomber—yang dulu juga biasa meludah di tempat umum saat masih remaja di London, Inggris—mengatakan bahwa ia sebenarnya tidak suka meludah. Tetapi, meludah itu sudah menjadi kebiasaan orang Inggris.
Ditilik dari sejarah, Inggris dulu negara peludah karena penduduknya suka meludah. Anggota parlemen dulu dilaporkan masih meludah sampai akhir abad ke-19. Orang-orang di bar juga masih meludah sampai tahun 1930-an.
”Orang meludah saat konser, atlet juga meludah, orang yang sedang bersepeda atau lari juga meludah. Itu kebiasaan di mana-mana,” ucap Coomber.
Dengan pandemi Covid-19, kebiasaan meludah ini barangkali bisa hilang. Namun, Coomber tak yakin karena pasti masih akan ada orang yang meludah ketika tidak ada orang yang melihat. Apalagi kalau kebiasaan meludah sudah menjadi bagian dari tradisi budaya di sejumlah negara, termasuk Indonesia.