Ketika Pemerintah Mempermalukan Pelanggar Protokol Kesehatan Covid-19
Dua tahun pandemi Covid-19 berjalan, hoaks masih beredar dan tetap ada kelompok yang bersikeras tidak mau divaksin. Dialog adalah kunci, bukan mempermalukan anggota masyarakat di depan umum.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 membuat masyarakat kian meningkatkan kewaspadaan dan menjaga diri dengan cara menerapkan protokol kesehatan. Di saat yang sama, masih ada orang yang karena sengaja ataupun tidak melanggar aturan keamanan sosial selama pandemi. Selain proses hukum formal, mempermalukan para pelanggar aturan ini di depan umum atau public shaming juga menjadi marak. Patut dipertanyakan apabila cara ini efektif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat atau justru merupakan penganiayaan verbal dan sosial.
Penghinaan secara publik kini tidak hanya dilakukan oleh warganet yang berlindung di balik anonimitas media sosial. Negara atau setidaknya pejabat negara juga turut melakukannya. Contoh terbaru ialah di kota Jingxi, Provinsi Guangxi, China. Pada Rabu (29/12/2021), polisi mengarak empat orang pelanggar protokol kesehatan di depan publik.
Meskipun memakai masker, foto dan nama keempat pelaku terpampang di plakat yang digantung di leher mereka. Kota Jingxi berbatasan langsung dengan Vietnam. Seluruh perbatasan di China masih ditutup untuk penanganan pandemi Covid-19. Akan tetapi, para pelaku menyelundupkan orang-orang dari Vietnam.
Media lokal mengatakan, ini adalah peringatan kepada masyarakat agar tidak melanggar protokol kesehatan dan aturan selama pandemi. Akan tetapi, publik berpendapat berbeda. Menurut mereka, tidak sepatutnya aparat penegak hukum mempermalukan warga sipil di depan umum. Apalagi, perbuatan ini sudah dilarang sejak tahun 2010.
”Membina masyarakat agar menegakkan aturan memang tugas yang berat. Akan tetapi, penegakan hukum dengan cara ini tidak ideal dan hendaknya tidak terjadi lagi,” demikian kutipan tajuk rencana Beijing News, surat kabar yang berafiliasi dengan Partai Komunis China.
Perilaku ini tak hanya terjadi di negara otoriter, tetapi juga di negara-negara yang semestinya demokratis. Presiden Amerika Serikat Joe Biden di awal bulan ini mengatakan bahwa rakyat AS yang menolak divaksin Covid-19 sebagai egois, tidak nasionalis ataupun patriotis. Ia memuji saingannya, Donald Trump, karena mau disuntik dosis penguat.
”Trump saja mau divaksin. Apa lagi alasan bagi kalian semua untuk menolak vaksinasi?” tutur Biden.
Di Filipina, Presiden Rodrigo Duterte juga melakukan hal yang mirip dengan Biden. Tidak hanya menyindir, ia bahkan mengancam akan memenjarakan penduduk yang tidak mau divaksin jika ketahuan keluar dari tempat tinggal mereka.
”Kalau Anda tak mau divaksin, tanggung sendiri akibatnya. Saya melarang semua orang yang belum divaksin untuk keluar rumah. Kalau ketahuan, saya sendiri yang akan menggelandang Anda ke kantor polisi,” kata Duterte dalam sebuah jumpa pers.
Penulis sekaligus komentator sosial Jon Ronson dalam bukunya yang berjudul So You’ve Been Publicly Shamed (”Jadi Kau Sudah Dipermalukan di Depan Umum”) yang diterbitkan pada 2015 menjelaskan bahwa kegatalan warganet menghina orang yang bersalah atau setidaknya dianggap salah adalah bentuk penerapan konsep liyan. Ia berargumen ini adalah bentuk kendali sosial ketika warganet menempatkan si pelanggar aturan di luar wilayah yang sama dengan mereka.
Anonimitas di media sosial memungkinkan warganet bisa sepuasnya menghina orang lain tanpa takut ketahuan identitasnya. Sukar mengetahui jika hinaan itu memang tulus karena individu tersebut merasa peraturan dilanggar dan pelaku wajib menerima ganjaran atau sekadar ingin memanaskan suasana. Ronson berargumen bahwa penghinaan publik ini juga karena warganet menganggap bahwa rasa malu ini sesuatu yang tidak bisa diberi oleh hukum formal.
Terkait dengan mempermalukan orang-orang yang tidak memercayai keberadaan pandemi ataupun tidak mau divaksin, para pakar kesehatan justru percaya bahwa cara ini tidak efektif. Salah satunya adalah Kizzmekia Corbett, pakar imunologi dan penyakit menular dari Universitas Harvard, AS, sekaligus ketua tim Institut Kesehatan Nasional AS yang bekerja sama dengan perusahaan farmasi Moderna mengembangkan vaksin Covid-19 berbasis m-RNA.
Corbett menulis dalam rubrik opini harian USA Today bahwa mempermalukan kelompok antivaksin sama sekali tidak menyasar pokok masalah di masyarakat. Ada berbagai hal yang mengakibatkan keraguan masyarakat untuk divaksin dan cara untuk mengatasinya ialah dengan menggiatkan dialog publik dan membeberkan fakta mengenai pandemi serta khasiat vaksin.
”Dari pengalaman pribadi saya, mereka yang menolak vaksin itu antara termakan hoaks atau justru kekurangan akses informasi. Harus ada cara membungkus fakta medis mengenai vaksin agar mudah didapat dan dipahami oleh masyarakat,” tuturnya.
Perkataan Corbett ini juga bisa disandingkan dengan keraguan masyarakat Filipina untuk divaksin. Tidak sampai satu dekade lalu, rakyat Filipina mengalami tragedi akibat vaksin demam berdarah merek Dengvaxia. Obat ini dituduh sebagai penyebab kematian ratusan anak akibat efek samping yang tidak diteliti sebelumnya. Para pengamat sosial di Filipina meminta pemerintah memberikan pemahaman kepada publik bahwa vaksin Covid-19 berbeda dari Dengvaxia, bukan mengancam dengan hukuman pidana.
”Ini juga panggilan kepada para dokter, ilmuwan, perawat, dan pegiat agar turun dari menara gading dan berdialog dengan rakyat,” kata Corbett.