Kabar bohong terkait Covid-19 yang ditebar dokter Lois bukan satu-satunya selama pandemi berlangsung. Bahkan, hingga kini hoaks masih bertebaran di dunia maya. Ada sejumlah cara bagi publik untuk mengidentifikasi hoaks.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
Lonjakan kasus Covid-19 beriringan dengan pertambahan berita bohong atau hoaks yang mengaburkan pemahaman masyarakat. Belakangan, terkuak bahwa penyebaran infomasi palsu juga dilakukan oleh pemengaruh (influencer) yang mengaku sebagai tenaga kesehatan. Padahal, tenaga kesehatan adalah pihak yang memiliki ”legitimasi” dalam memberikan keterangan seputar pandemi Covid-19. Jika sudah demikian, bagaimana masyarakat bisa mengidentifikasi informasi yang benar?
Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menjelaskan, berdasarkan pantauan Mafindo sejak awal 2020, ada kecenderungan bahwa tenaga kesehatan, termasuk dokter, turut serta menyampaikan misinformasi atau half truth melalui berbagai platform media sosial. Selain informasi yang sebagian benar, beberapa dari mereka gencar menyebarkan teori konspirasi terkait pandemi.
Salah satunya dokter Lois, seorang praktisi anti-penuaan. Beberapa waktu terakhir, ia gencar mengunggah konten yang menyangkal Covid-19 di tiga platform media sosial. Menurut dia, pasien Covid-19 yang meninggal tidak disebabkan oleh virus, tetapi reaksi berbagai macam obat. Pada Minggu (11/7/2021), ia ditangkap oleh penyidik Polda Metro Jaya karena dianggap menyebarkan kabar yang bisa memicu keonaran.
Oleh karena itu, masyarakat perlu berlatih untuk memeriksa sumber informasi dan mengenal pihak yang bisa dipercaya untuk membicarakan pandemi Covid-19. Secara resmi, informasi yang bisa dipercaya berasal dari pemerintah melalui Komite Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (KPC-PEN) dan Kementerian Kesehatan.
Selain itu, masyarakat juga perlu berpikir kritis dengan mempertanyakan informasi yang beredar di media sosial dan grup percakapan. ”Jika yang menyampaikan informasi itu dokter, cek lagi bagaimana pendapat dokter lain tentang isu itu. Khususnya dokter yang punya kredibilitas dan otoritas atau pendapat organisasi resmi tentang isu tersebut,” kata Septiaji, Selasa (13/7/2021).
Dari kalangan dokter, ada beberapa yang konsisten memberikan penjelasan berbasis sains, di antaranya Tonang Dwi Ardyanto, dokter spesialis sekaligus pengajar Ilmu Patologi Klinik di Universitas Sebelas Maret, Surakarta. Ada pula Dirga Sakti Rambe, vaksinolog sekaligus dokter spesialis penyakit dalam yang bekerja di Jakarta. Adapun organisasi yang bisa dirujuk, di antaranya Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Indonesia Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI).
Setelah mengidentifikasi narasumber, masyarakat juga diminta untuk mencermati konten informasi yang diterima. Ketika mendapatkan pemberitaan berjudul bombastis, misalnya, sebaiknya menahan diri untuk tidak menyebarkan ke orang lain untuk mencegah bertambahnya paparan penyebaran hoaks.
”Kita perlu menahan diri terhadap informasi. Sabar, karena kadang dari sebuah informasi yang muncul, klarifikasinya baru datang beberapa jam atau bahkan beberapa hari setelahnya,” kata Septiaji.
Lebih jauh lagi, sebaiknya masyarakat memeriksa kebenaran informasi tersebut. Saat ini Indonesia memiliki ekosistem periksa fakta yang sudah mengklarifikasi ribuan hoaks.
Namun, langkah-langkah pemeriksaan kebenaran informasi itu terkendala literasi digital masyarakat yang belum merata. Meski sebagian besar warga adalah pengguna internet dan media sosial, belum semua mampu memanfaatkan fasilitas digital secara kompleks. Masih ada yang hanya menggunakan aplikasi percakapan atau media sosial, tetapi tidak bisa menggunakan peramban (browser).
”Kemampuan tim periksa fakta yang ada di Indonesia juga tidak sebanding dengan banjir informasi yang terjadi,” kata Septiaji.
Apalagi tidak semua platform media sosial juga menyediakan fitur pemeriksaan fakta. Akibatnya, sampai saat ini masih ada sejumlah akun dengan banyak pengikut yang terus menerus menyebarkan hoaks dan teori konspirasi.
Sosiolog Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Iim Halimatussa’diah, mengatakan, penyebaran hoaks merupakan tantangan terbesar bagi masyarakat di era informasi. Keberadaannya dapat memengaruhi masyarakat, tidak terkecuali membuat mereka meremehkan risiko Covid-19.
Menurut dia, hoaks yang membanjiri ruang maya semestinya ditangkal dengan memunculkan konten informatif yang didasarkan pada sains. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, dan tokoh masyarakat perlu berkontribusi mengampanyekan konten yang benar. Dengan begitu, masyarakat memiliki alternatif informasi yang tidak hanya mengonfirmasi bias mereka.
Berdasarkan catatan Mafindo, sepanjang Januari 2020-Juni 2021, terdapat 1.060 hoaks tentang Covid-19. Hoaks tersebut menyebar dengan cepat karena terus diamplifikasi oleh setiap orang yang menerimanya.
Tidak salah jika sejak awal 2020, sebelum menyatakan Covid-19 sebagai pandemi, Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, dunia tidak hanya menghadapi epidemi, tetapi juga infodemi. Sebab berita palsu menyebar lebih cepat dan lebih mudah ketimbang virus korona. Oleh karena itu, kesadaran dan kemampuan untuk mengidentifikasinya harus dimulai dari sekarang.