Di tengah pandemi, konflik dan kekerasan bukannya mereda, malah menggila. Kebutuhan meningkat, tetapi bantuan merosot. Sangat penting untuk menemukan cara baru untuk menanggulangi krisis kemanusiaan.
Oleh
Fransisca Romana Ninik
·4 menit baca
Kemanusiaan adalah prioritas utama. Pedoman ini membawa Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menerobos segala sekat dan tantangan demi meringankan dampak bencana yang dialami penduduk dunia.
Komite Internasional Palang Merah (ICRC) sebagai komponen Gerakan Palang Merah dan Bulan Sabit Merah Internasional menghadapi jalan yang kian terjal semasa pandemi Covid-19. Berbagai peristiwa kekerasan di sejumlah negara turut menyulitkan mereka mengulurkan tangan kepada para korban.
”Dalam banyak krisis kemanusiaan, tidak ada solusi permanen. Kami hanya bisa menyediakan dukungan sementara dan meringankan (beban),” kata Wakil Presiden ICRC Gilles Carbonnier dalam wawancara khusus dengan Kompas di sela-sela acara Bali Democracy Forum Ke-14, Kamis (9/12/2021), di Nusa Dua, Bali.
Di sejumlah negara, krisis kemanusiaan akibat konflik telah berlangsung selama beberapa generasi. Di negara lain, krisis baru muncul. Kini, krisis yang telah ada diperburuk dengan deraan pandemi.
Di negara-negara seperti Suriah, Yaman, Sudan Selatan, Libya, Afghanistan, dan Myanmar, infrastruktrur penting ambruk. Layanan kesehatan dasar, ketersediaan air bersih, dan pengelolaan limbah di ambang kehancuran. Di Afrika, kata Carbonnier, ada setidaknya 26 juta orang yang sama sekali tidak punya akses terhadap layanan kesehatan.
Tantangannya, akses yang sulit. Rezim sanksi yang sangat ketat di Afghanistan, misalnya, mengurangi kapasitas organisasi kemanusiaan untuk memberikan bantuan. ”Kami harus menjamin kami mendapat pengecualian sehingga kami bisa memberikan bantuan ke tempat-tempat seperti Afghanistan,” ujar Carbonnier.
Afghanistan saat ini memang menjadi salah satu titik kritis bagi ICRC. Bahkan, sebelum Taliban mengambil alih ibu kota Kabul pada Agustus lalu, sekitar 80 persen anggaran Afghanistan bergantung pada bantuan asing. Kini, bantuan praktis terhenti.
Artinya, gaji dokter, bidan, perawat, dan guru tidak bisa dibayarkan. ”Saya salut kepada para pekerja kesehatan di Afghanistan yang tetap bekerja meski tidak digaji. Kami memulai proyek baru untuk mendukung 17 rumah sakit dan membayar gaji 5.500 staf medis. Kami juga membawa suplai peralatan dan obat-obatan supaya rumah sakit bisa beroperasi,” paparnya.
Pandemi juga mengikis multilateralisme, membuat negara-negara melihat ke dalam negeri terlebih dulu dan baru kemudian membantu negara lain. Padahal, di negara-negara tempat ICRC bekerja, konflik bukannya mereda, malah menggila. Kebutuhan meningkat, tetapi bantuan merosot.
Maka, sangat penting untuk menemukan cara baru untuk menanggulangi krisis kemanusiaan. Cara kerja baru antara aktor-aktor kemanusiaan, perusahaan, pribadi, dan pemerintah juga penting guna mengelola bantuan dan pemulihan.
Di satu sisi, ICRC terus menyerukan kepada para donor untuk meningkatkan upaya mereka dan memperluas diversifikasi donor potensial untuk negara-negara paling rentan. Di sisi lain, lembaga ini mengembangkan skema pembiayaan baru.
Carbonnier mencontohkan proyek Humanitarian Impact Bond tahun 2017 untuk membangun pusat rehabilitasi fisik bagi penyandang disabilitas di tiga negara Afrika yang didera konflik. Dana diperoleh dari obligasi dengan jangka 5 tahun.
Cara lain adalah solusi digital dengan memberi akses kepada masyarakat terdampak agar bisa menemukan respons tepat atas kebutuhan mereka. Misalnya memberikan telepon seluler berikut sistemnya kepada masyarakat untuk menandai siapa yang benar-benar memerlukan bantuan dan mentransfer uang kepada mereka. Sering kali kemiskinan begitu ekstrem sehingga meski tersedia makanan, orang-orang tidak punya uang untuk membelinya.
Di masa sekarang ini, ICRC menilai Indonesia menjadi negara yang tepat untuk turut berperan dalam menanggulangi krisis kemanusiaan global. Presidensi Indonesia di G-20 akan membuka pintu lebih luas bagi solusi atas isu-isu seperti penghentian kekerasan dan mediasi konflik di berbagai negara.
”Di Indonesia, kami aktif bekerja sama dengan Palang Merah Indonesia. Baru-baru ini kami bersama PMI ke Papua untuk memfasilitasi vaksinasi,” kata Kepala Delegasi Regional ICRC untuk Indonesia dan Timor Leste Alexandre Faite.
Sentra vaksinasi dibuka di Kupang, Ambon, Tual, Merauke, Mimika, Manokwari, dan Sorong. ICRC juga memberikan pelatihan pemulasaraan jenazah dan mendistribusikan perlengkapan Covid-19 bagi pekerja medis.
Nilai humanitarianisme
Di luar bantuan fisik, ICRC aktif menyebarluaskan nilai-nilai humanitarianisme di luar lingkaran teknis dan para ahli. Selama lebih dari 30 tahun, kata Faite, ICRC mempromosikan dan berbagi pengetahuan mengenai hukum humaniter internasional kepada angkatan bersenjata, pasukan keamanan, sekolah hukum, juga wartawan. Kini, nilai-nilai itu dibagikan pula kepada masyarakat umum.
”Di sini kita percaya hal-hal simpel. Maka, kami menyederhanakan konsepnya dan menautkannya dengan kearifan lokal supaya orang bisa dengan mudah mengidentifikasi diri. Kata-katanya mudah, seperti anak-anak harus dilindungi, martabat seksual harus terjamin, bantuan kemanusiaan harus difasilitasi, fasilitas pendidikan harus dihormati, fasilitas kesehatan harus dijaga,” papar Faite.
Dengan cara ini, terbentuk sikap positif masyarakat yang berguna saat krisis maupun damai. Dalam tataran lebih luas, nilai kemanusiaan akan dihormati. Dengan demikian, kekerasan bisa dihindari.
Penghormatan atas kemanusiaan inilah yang membuat ICRC bisa menjalankan misinya sejak berdiri tahun 1863. Organisasi yang bermarkas di Geneva, Swiss, ini netral, tidak memihak, dan mandiri. Misinya sepenuhnya untuk melindungi kemanusiaan melintasi ras, agama, dan golongan. Misi dan delegasi ICRC tersebar di 80 negara. Lebih dari 14.000 staf adalah staf lokal.
Ribuan orang ini terus berupaya mengatasi sekaligus mencegah krisis kemanusiaan akibat kekerasan. Namun, selama manusia masih memilih konflik untuk menyelesaikan perbedaan, selama itu pula kemanusiaan akan mendaki jalan terjal.