Di Balik Pembelian Rafale dan F-35 di Timur Tengah
Seiring kemajuan teknologi, peran pesawat tempur dalam sistem pertahanan terus berevolusi dan semakin strategis. Belakangan, negara-negara Arab kian agresif belanja mesin perang itu.
Oleh
Musthafa Abd Rahman
·4 menit baca
Karakteristik geografis kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara didominasi padang pasir terbuka. Apabila meletus perang terbuka di kawasan tersebut, pesawat tempur akan menjadi faktor yang sangat menentukan.
Sejarah perang besar terbuka di Timur Tengah dan Afrika Utara selalu dimenangi negara yang unggul dalam armada pesawat tempur. Perang Arab-Israel pada 1967 dan 1973, misalnya, sangat ditentukan peran pesawat tempur.
Israel menang telak atas negara-negara Arab pada perang 1967 karena berhasil menghancurkan lebih dahulu semua armada pesawat tempur Mesir ketika masih parkir di pangkalan-pangkalan udara Mesir.
Pada perang 1973, Mesir memukul mundur pasukan Israel di Gurun Sinai. Ini berkat 250 pesawat tempur Mesir yang terdiri dari MiG-21 dan Sukhoi-16 buatan Rusia yang berhasil menyerang terlebih dahulu semua pangkalan militer Israel di Gurun Sinai.
Israel kembali menunjukkan keperkasaannya di udara dengan berhasil merontokkan 80 pesawat tempur Suriah dan tanpa satu pun pesawat tempurnya jatuh dalam duel udara di atas langit Lebanon pada 1982. Keperkasaan di udara itu membuat Israel mulus melakukan invasi ke Lebanon yang berakhir dengan hengkangnya Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dari Beirut.
Faktor keunggulan armada pesawat tempur juga yang menjadi kunci kemenangan Amerika Serikat (AS) saat perang melawan Irak dalam pembebasan Kuwait pada 1991. Pola yang sama terjadi saat AS berhasil menduduki kota Baghdad hanya dalam waktu serangan dua pekan pada 2003.
Bukti sejarah empiris itulah yang membuat negara-negara kawasan berlomba membeli pesawat tempur canggih dari mancanegara untuk memperkuat sistem pertahanannya. Apalagi sudah menjadi tradisi pula di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara bahwa kekuatan militer negara selalu dilihat dan diukur dari kepemilikan pesawat tempur canggihnya.
Semakin canggih pesawat tempur yang dimiliki, semakin unggul pula kekuatan militer negara dipersepsikan. Belakangan, pesawat tempur nirawak atau drone turut meramaikan bursa kekuatan udara dan sekaligus menjadi barometer kekuatan udara di langit Timur Tengah.
Pesawat nirawak tempur buatan Turki, Bayraktar TB2, kini sangat populer di Timur Tengah karena perannya memukul mundur pasukan Khalifah Haftar dalam perang perebutan kota Tripoli di Libya pada 2020. Bayraktar TB2 juga memegang peran besar dalam keberhasilan Azerbaijan menguasai kembali wilayah Nagorno-Karabakh pada perang Azerbaijan-Armenia pada September-November 2020.
Bagi negara-negara di kawasan yang mampu secara finansial, membeli pesawat tempur canggih lantas menjadi hal jamak. Pesawat tempur yang diincar biasanya produksi AS, Rusia, atau negara-negara Eropa.
Kabar terakhir adalah pembelian 80 pesawat tempur F-4 Rafale buatan Dassault Aviation, Perancis, oleh Uni Emirat Arab (UEA). Penandatanganan perjanjian transaksinya berlangsung di arena Dubai Expo, 3 Desember 2021, disaksikan Presiden Perancis Emmanuel Macron dan Putra Mahkota Abu Dhabi yang secara de facto menjadi penguasa UEA saat ini, Pangeran Mohammed bin Zayed al-Nahyan.
Dengan membeli 80 unit Rafale, UEA melampaui jumlah pesawat Rafale yang dibeli negara-negara Arab lainnya. Qatar, negara tetangga di kawasan Teluk, membeli 36 unit. Sementara Mesir memesan 24 unit pada 2015 dan 30 unit pada tahun ini.
Adapun Israel sejak 2019 telah menerima secara bertahap pesawat tempur siluman tercanggih generasi kelima buatan The Lockheed Martin, AS, yakni F-35. Israel telah memesan 33 F-35 yang akan diterima secara bertahap hingga 2021.
Kepemilikan Israel atas F-35 membuat negara tersebut unggul telak dalam angkatan udara atas semua negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. Sejumlah negara di kawasan, seperti Arab Saudi, Turki, dan UEA, masih sedang berusaha mendapatkan F-35 dari AS.
UEA sebenarnya sudah memesan 50 pesawat F-35 dari AS sebagai kompensasi atas kesediaannya melakukan normalisasi hubungan dengan Israel yang dimediasi AS pada pemerintahan Presiden Donald Trump. Presiden Joe Biden menyatakan akan melanjutkan komitmen itu. Namun, hingga sekarang, transaksi tak kunjung terealisasi.
Sampai saat ini, Kongres AS masih enggan menyetujui penjualan F-35 ke UEA. Kabarnya ini terkait antara lain hubungan dekat UEA dengan China, termasuk penggunaan teknologi 5G Huawei di negara itu.
Mengutip pejabat UEA, kantor berita Reuters pada Selasa (14/12/2021) melaporkan bahwa UEA telah menyampaikan kepada AS tentang keinginan mereka menghentikan pembicaraan dengan AS soal pembelian F-35 itu. Pada hari yang sama, harian The Wall Street Journal juga melansir bahwa UEA mengancam akan mundur dari rencana pembelian 50 pesawat tempur F-35 senilai 23 miliar dollar AS.
Persoalan sama dialami Turki yang juga bermaksud membeli F-35 dari AS. Sebelumnya, Turki telah membeli sistem antiserangan udara canggih buatan Rusia, S-400. Turki kini diberitakan sedang mengincar Rafale atau Sukhoi-57 buatan Rusia sebagai ganti dari F-35 itu.
Di luar Rafale dan F-35, pesawat tempur Eurofighter Typhoon buatan Italia juga turut meramaikan langit Timur Tengah. Kuwait pada Rabu (8/12/2021) pekan lalu telah menerima dua pesawat tempur tersebut. Total pesawat jenis itu yang dipesan Kuwait mencapai 28 unit.