F-16 Viper, F-15EX, Rafale, atau SU-35
Membeli alat utama sistem persenjataan tidak sekadar soal uang. Ada sejumlah faktor yang turut memengaruhi, antara lain kesinambungan sistem serta dinamika di kawasan.
Gedung Putih segera ”mengklarifikasi” pernyataan Presiden Amerika Serikat Joe Biden yang mengatakan Washington akan membantu Taiwan jika diserang oleh China. Juru Bicara Gedung Putih Jen Psaki pada Jumat (22/10/2021) mengatakan, tidak ada perubahan dalam kebijakan AS atas Taiwan.
Psaki menegaskan, hubungan pertahanan antara Washington dan Taipei dipandu oleh ketentuan yang sudah ada. Bagi banyak pihak, pernyataan Biden itu memang dinilai keliru. ”Gedung Putih benar untuk mengeluarkan koreksi bahwa tidak ada perubahan kebijakan,” kata Douglas Paal, mantan perwakilan AS di Taipei.
Akan tetapi, dinamika itu menunjukkan begitu ”rentannya” situasi geopolitik dan geostrategis di kawasan. Fakta yang terjadi di depan mata adalah ketegangan di Laut China Selatan, adanya perlombaan senjata di Semenanjung Korea, meningkatnya tensi China-Taiwan, hingga proyeksi kekuatan besar dunia yang ditandai kehadiran armada mereka di perairan Laut China Selatan.
Baca juga : Indonesia Diminta Lebih Tegas soal Aliansi Militer AUKUS
Tak hanya China, AS dan sekutunya di kawasan, Australia, kerap mengirim armada kapal perangnya ke kawasan ”panas” itu. Inggris pun kini turut hadir mengirim kapal perangnya ke wilayah yang berada di depan halaman Indonesia itu.
Meskipun Indonesia tidak terlibat dalam sengketa wilayah maupun proyeksi kekuatan di kawasan, ada baiknya untuk tetap memastikan terjaminnya perdamaian, keamanan, dan stabilitas di kawasan. Indonesia perlu memastikan kehadiran-kehadiran itu dilakukan secara damai.
Akan tetapi, merujuk buku bertajuk Air Defence, Antara Kebutuhan dan Tuntutan, mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal (Purn) Agus Supriyatna menyebutkan, kontrol ruang udara, termasuk untuk menjadi payung operasi laut, masih belum memadai.
Baca juga : Ancaman Instabilitas Kawasan
Hingga saat ini, pengganti pesawat tempur F-5E/F Tiger II belum kunjung hadir. Padahal, Agus dalam bukunya itu mengatakan, Indonesia setidaknya membutuhkan 64 pesawat buru sergap. Selain itu, Indonesia juga membutuhkan lebih banyak radar, rudal jarak menengah, serta jaringan data yang memadukan kontrol, komunikasi, intelijen, pengawasan, dan pengintaian.
Pemenuhan atas kebutuhan itu—seturut perubahan doktrin dan situasi di kawasan—menurut Agus, penting untuk meningkatkan kapabilitas militer dan diplomasi pertahanan. Dampaknya signifikan pada kehadiran serta kemampuan suatu negara menjaga kedaulatan teritorial dan keamanan bernegara. Apalagi saat ini dan di masa depan konflik militer akan lebih banyak melibatkan alutsista yang kian kompleks, sulit diantisipasi karena mengombinasikan kecepatan, akurasi, sifat siluman, dan kecerdasan buatan.
”Sifat perang menjadi lebih cepat, negara makin rawan terhadap serangan preemtif dan menuntut pengembangan kekuatan mobile dan efektif,” tulis Agus. Untuk menjawab tantangan itu, perlu dibangun sistem pertahanan terpadu, baik untuk mendeteksi, mengidentifikasi, mencegat, maupun melumpuhkan lawan. Untuk matra udara, penambahan pesawat tempur modern kian mendesak, terutama untuk menjaga perimbangan kekuatan dengan tetangga dan dalam konteks keunggulan udara.
Pilihan
Dari beragam pemberitaan, santer dikabarkan Indonesia tengah menjajaki pembelian F-15EX buatan Boeing, AS, dan Rafale besutan Dassault Aviation, Perancis. Indonesia juga telah menjalin kontrak dengan Rusia untuk pengadaan SU-35. Namun, ada pula pabrikan lain asal AS, yaitu Lockheed Martin yang konsisten menawarkan F-16 Viper.
Bagi Agus, yang pernah mengawaki F-5E Tiger II, F-16A/B, hingga SU-27/30, konsistensi dan kesinambungan menjadi salah satu faktor penting dalam pengadaan pesawat tempur selain konsep dan postur strategis TNI Angkatan Udara. Agus cenderung, Indonesia tetap mempertahankan dan meningkatkan kapabilitas armada F-16 dan armada Sukhoi.
”Kalau mau beli, sebaiknya satu tingkat di atas armada yang sudah ada. Kalau sekarang kita punya F-16 Blok 15 dan Blok 40, terus ke Blok 72 (Viper). Sukhoi dari SU-27/30 ke SU-35. Jika sulit mendapatkan SU-35, bisa diganti F-15 yang perannya lebih kurang sama. Dan, semuanya dibeli baru,” kata Agus.
Pilihan itu bukan tanpa alasan. Agus menjelaskan, dengan membeli Viper atau SU-35, kemampuan para pilot dan teknisi TNI Angkatan Udara makin terasah. Selama ini mereka telah memiliki pengalaman, pengetahuan, dan pemahaman yang sangat memadai atas sistem kedua jenis pesawat tersebut. TNI Angkatan Udara juga telah memiliki lini perawatan dan pemeliharaan yang mumpuni untuk keluarga F-16 dan Sukhoi.
Baca juga : TNI AU Tingkatkan Kemampuan F-16
Kemampuan itu penting untuk mendukung kesinambungan operasi. Apalagi jika pesawat-pesawat yang dibutuhkan dibeli dalam kondisi baru. ”Pilot dan teknisi kita mengenalnya sejak awal, setiap inci diketahui. Selain itu, dengan menggunakan pesawat yang telah dikenal baik, kepercayaan diri pilot semakin tinggi, respons dan handling-nya terlatih karena memahami betul seluk-beluk pesawat itu,” ucap Agus.
Sedikit tentang F-16 Viper—merujuk laman resmi Lockheed Martin—pesawat ini telah dilengkapi dengan radar AESA APG-83 yang memiliki perangkat keras dan perangkat lunak yang lebih kurang seimbang sebagaimana radar F-22 dan F-35. ”Ini juga faktor penting dalam misi. Lawan pun tidak akan sembarangan masuk ke wilayah RI,” kata Agus.
Jika dibandingkan dengan F-35, kemampuan F-16 Viper mungkin lebih inferior. Namun, dengan memilikinya dalam jumlah banyak, dalam kondisi terawat dan siap operasi, serta diawaki pilot yang profesional dan terlatih, kehadirannya mampu membuat kawasan segan.
Dihubungi secara terpisah, mantan Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Marsekal Madya (Purn) Eris Herryanto memiliki pandangan serupa. Dengan anggaran yang terbatas, menurut dia, Indonesia memang harus berani mengambil kebijakan berkelanjutan, termasuk dalam penentuan jenis pesawat yang hendak dibeli. Dalam hal ini, Eris sepakat bahwa kesinambungan baik jenis maupun lini perawatan dan pemeliharaan memiliki dampak signifikan pada kehadiran Indonesia di wilayah udaranya.
Secara teknis, Eris yang pernah menjajal Rafale mengatakan, sayap delta memang membantu pesawat itu melesat cepat. Namun, ketika diajak berputar, menurut Eris, pesawat itu seolah kehilangan tenaga. Ia memberi catatan pada thrust to weight ratio Rafale. Akan tetapi, sebagai pemburu yang didapuk mengejar pesawat lawan, Rafale dinilainya memiliki kelebihan.
Baca juga : Indonesia Perkuat Koordinasi Penanganan Pelanggaran Udara
Namun, bagi TNI Angkatan Udara, menurut Eris, Rafale adalah sistem baru jika dibandingkan dengan F-16 atau Sukhoi. Sementara itu, ”DNA” F-15EX, tambah Eris, tidak banyak berbeda dari F-16 karena sama-sama mengandung teknologi AS.
Untuk kekuatan pemukul, menurut Eris, F-15EX pun lebih unggul dibandingkan dengan SU-35. Kombinasi F-16 Viper dan F-15EX untuk patroli dan buru sergap pun dinilai mumpuni. ”Keduanya bisa saling mendukung,” kata Eris.
Dalam wawancara terpisah, Duta Besar AS untuk Indonesia Sung Kim mengatakan, sebagai mitra, AS mendukung agar Indonesia memiliki peralatan militer yang lebih mumpuni. AS melihat, kemampuan itu dibutuhkan untuk mendukung upaya berkelanjutan, terutama untuk memelihara stabilitas di kawasan. AS, menurut dia, siap membantu Indonesia menjadi kuat.
Hal senada dikemukakan Duta Besar Perancis untuk Indonesia dan Timor Leste Olivier Chambard. Terkait Rafale, saat ini proposal terus dibahas, termasuk soal transfer teknologi. Di sisi lain, terkait penyediaan alutsista canggih dan kompleks, Chambard juga menyinggung tentang isu kerja sama strategis antara Perancis dan Indonesia. Pada intinya, ujar Chambard, Perancis mendukung modernisasi kemampuan militer Indonesia.
(AP/REUTERS/LAS/LUK/MHD/RAZ/SAM)