Wakil Sekjen PBB Rosemary DiCarlo mendesak AS mencabut semua sanksi atas Iran. Desakan ini muncul setelah perundingan nuklir Iran sama sekali tidak menunjukkan hasil. Setiap pihak bergeming pada posisinya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
NEW YORK, RABU — tanda-tanda perundingan program nuklir membawa hasil yang diharapkan membuat Perserikatan Bangsa-Bangsa mendesak Amerika Serikat untuk mencabut sanksi atas Iran. Ini sejalan dengan Kesepakatan Nuklir 2015. Di sisi lain, tekanan dan ancaman yang makin besar serta kemungkinan adanya serangan militer atas fasilitas nuklir Iran membuat PBB menyerukan agar negara itu kembali ke komitmen awal untuk membatasi program nuklirnya.
Desakan pencabutan sanksi dikemukakan Wakil Sekretaris Jenderal PBB urusan Pembangunan Politik dan Perdamaian Rosemary DiCarlo, Selasa (14/12/2021) waktu setempat atau Rabu WIB. ”Saya mengimbau AS untuk mencabut atau melepaskan sanksinya, seperti yang tertulis dalam Kesepakatan 2015 dan memperpanjang keringanan soal penjualan minyak Iran,” kata DiCarlo dalam pertemuan Dewan Keamanan (DK) PBB.
Dia menambahkan, penting untuk memberi keringanan soal kegiatan nuklir sipil untuk tujuan tertentu. DiCarlo mengatakan, tindakan itu diperlukan untuk menukar uranium yang diperkaya dengan uranium yang baru digali dari alam.
Pernyataan DiCarlo adalah pernyataan pejabat tinggi PBB pertama kali yang menyerukan pencabutan sanksi terhadap Iran tahun ini.
Bersama Inggris, Perancis, China, Rusia, dan Jerman, AS menyetujui Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA) atau yang lebih dikenal sebagai Kesepakatan Nuklir Iran 2015. Dengan ditandatanganinya kesepakatan ini, sanksi ekonomi terhadap Iran secara bertahap dikurangi. Imbalannya, Iran bersedia menghentikan program pengayaan uranium yang memungkinkan pengembangan senjata nuklir.
Namun, mantan Presiden AS Donald Trump secara sepihak memutuskan mundur dari kesepakatan itu. Lebih jauh lagi, AS memberlakukan sanksi baru terhadap Iran mulai 4 November 2018. Total ada 300 jenis sanksi baru yang diterapkan pada banyak sektor, seperti perminyakan, perkapalan, dan keuangan. Sanksi ini membuat AS melarang transaksi sejumlah lembaga Iran dengan pihak-pihak di negara lain. Bila ada pihak yang melanggar, entitas itu juga akan dikenai sanksi oleh Washington.
Jelang masa kekuasannya berakhir, Trump dan AS mencoba menggalang dukungan perpanjangan embargo senjata, salah satu sanksi yang sudah berlaku sejak 2007 dan berakhir pada Oktober 2020. Upaya itu gagal ketika 13 negara anggota DK PBB menolak usulan tersebut, 12 Agustus. Namun, AS tetap ngotot dan mencoba memberlakukan mekanisme snapback, yang juga berujung pada kegagalan. Dalam pandangan banyak pihak, AS tidak memiliki landasan hukum yang kuat lagi untuk memaksakan pemberlakuan sanksi.
DiCarlo tidak hanya mendesak AS untuk mencabut semua sanksinya. Dia juga meminta Iran untuk membalikkan langkah-langkah yang telah dilakukannya, terutama dalam hal pengayaan uranium, yang dinilai tidak konsisten dengan substansi JCPOA.
Tiga negara penanda tangan JCPOA, yaitu Inggris, Jerman, dan Perancis, dalam pernyataan bersama mengatakan, pintu diplomatik terbuka bagi Iran untuk menyepakati hal-hal yang telah disampaikan dalam perundingan. Iran, kata mereka, harus memilih apakah bertahan dengan kekakuannya dan menyebabkan kesepakatan nuklir itu hancur atau menyepakati perjanjian yang dinilai adil serta komprehensif. ”Untuk kepentingan rakyat dan bangsa Iran,” sebut pernyataan itu.
Duta Besar Iran untuk PBB Majid Takht Ravanchi mengatakan, apa yang disampaikan Iran, termasuk pada perundingan tak langsung di Vienna, adalah lanjutan komitmen mereka berdasarkan Kesepakatan Nuklir 2015. Ravanchi menyatakan, mereka tidak memaksakan prasyarat baru dan semua tindakan yang telah diambil sejak Gedung Putih memutuskan meninggalkan JCPOA bisa diubah.
Linda Thomas-Greenfield, Dubes AS di PBB, mengatakan, AS akan patuh selama Iran melakukan hal yang sama.
Harapan Teluk
Sejumlah negara di kawasan Teluk berharap Iran bisa mengambil langkah konkret untuk meredakan ketegangan. Mereka juga berharap bisa diikutsertakan dalam pembicaraan nuklir Iran.
Dalam komunike bersama KTT Arab Teluk, Menteri Luar Negeri Arab Saudi Pangeran Faisal bin Farhan al-Saud mengatakan, laporan yang menyebutkan ketiadaan hasil perundingan putaran ketujuh harus dicari jalan keluarnya. Meski begitu, negara Teluk terbuka untuk mekanisme apa pun yang bisa menjangkau proksi regional Iran yang dipandang sebagai ancaman bagi negara-negara Teluk.
Harapan agar Iran bersikap kooperatif juga disampaikan Direktur Jenderal Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Rafael Grossi. Dia mengatakan, pembatasan akses masuk untuk menginspeksi lokasi-lokasi pengayaan uranium oleh Pemerintah Iran membuat dunia hanya mendapatkan gambaran kabur soal kepatuhan Iran. Grossi mengatakan, apabila Iran ingin dihormati, tidak ada jalan lain bagi mereka selain membuka pintu seluas-luasnya agar tim inspeksi IAEA bisa mengerjakan tugas-tugasnya.
”Kita harus bekerja sama. Mereka harus bekerja sama. Saya akan memastikan mereka mengerti bahwa dengan kami, Iran memiliki rekan kerja yang baik,” kata Grossi.
Dia mengatakan, selama ini Teheran membatasi akses tim inspeksi untuk mengunjungi fasilitas pengayaan nuklirnya. ”Jika komunitas internasional tidak melihat dengan jelas berapa banyak sentrifugal atau berapa kapasitas yang mereka miliki, gambaran yang ada akan sangat kabur. Itu sebabnya, keberadaan kami di lapangan sangat penting,” kata Grossi.
Dia juga menyangkal tim inspeksi terindikasi akan melakukan sabotase. (AP/AFP/Reuters)