Menembus Kebuntuan Kesepakatan Nuklir Iran
Pemerintah Amerika Serikat dan Iran bergeming dari posisi masing-masing terhadap kesepakatan nuklir 2015. Hal ini membuat semua sulit bergerak. Perlu terobosan baru untuk mencegah kebuntuan tersebut.
Dilantiknya Presiden AS Joe Biden tidak serta-merta mengembalikan negara adidaya itu ke Kesepakatan Nuklir 2015. Biden memilih melanjutkan kebijakan pendahulunya, menjalankan terus ”tekanan maksimum” terhadap Iran dan menolak mencabut berbagai sanksi yang telah dijatuhkan sebelumnya.
Kondisi itu membuat situasi di Timur Tengah tidak menentu. Keengganan AS mencabut sanksi menjadi pembenar bagi Iran terus untuk memperkaya uraniumnya yang diduga berujung pada pembuatan senjata nuklir. Ini sesuatu yang dikhawatirkan banyak pihak, termasuk negara pesaingnya di kawasan, yaitu Arab Saudi dan Israel.
Badan Energi Atom Internasional (IAEA) dalam laporannya pekan lalu menyebutkan bahwa Pemerintah Iran terus mengupayakan pengayaan uranium di berbagai fasilitas nuklir bawah tanah miliknya. Dalam kesepakatan nuklir tahun 2015, atau yang dikenal dengan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA), disebutkan bahwa Iran boleh memurnikan uranium hanya di situs pengayaan utamanya, Natanz, dengan sentrifugal IR-1 generasi pertama.
Meski demikian, tahun lalu, Iran mulai melakukan pengayaan di sana dengan kaskade atau kluster mesin IR-2m yang jauh lebih efisien. Bahkan, pada Desember lalu, Iran menyatakan akan memasang tiga alat lagi untuk mempercepat proses pengayaan.
Baca juga: AS Tidak Akan Cabut Sanksi Atas Iran Secara Sepihak
”Iran telah menyelesaikan instalasi satu dari tiga kaskade ini, yang berisi 174 sentrifugal IR-2m, dan, pada 30 Januari 2021 Iran mulai menyalurkan kaskade dengan UF6,” kata IAEA dalam laporannya, yang mengacu pada bahan baku uranium heksafluorida. IAEA kemudian mengonfirmasi, Iran sudah mulai memperkaya dengan kaskade kedua.
Laporan itu juga menunjukkan bahwa Teheran juga terus maju dengan pemasangan sentrifugal yang lebih canggih. IAEA menambahkan, dari dua kaskade mesin IR-2m yang tersisa, instalasi satu telah dimulai. Sementara instalasi lainnya hampir selesai.
Duta Besar Iran untuk IAEA, Kazem Gharibabadi, di Twitter, mencuit bahwa Teheran juga telah mulai memasang sentrifugal IR-6 di Fordow, situs bawah tanah di pegunungan. Di lokasi itu, para ahli nuklir Iran mulai memperkaya uranium hingga 20 persen yang terakhir dicapai sebelum kesepakatan 2015.
Baca juga: Terkait Perundingan Nuklir, Iran dan AS Bergeming
Dalam laporan kedua pada Selasa malam yang juga dilihat oleh Reuters, IAEA hanya mengatakan bahwa Iran telah memberitahu dalam sebuah surat tertanggal 1 Februari bahwa dua kaskade sentrifugal IR-6 akan dipasang di Fordow untuk digunakan dengan mesin 1,044 IR-1 yang sudah memperkaya dalam enam kaskade di sana. Laporan itu tidak mengatakan, pemasangan telah dimulai.
IAEA mengonfirmasi dalam sebuah pernyataan bahwa Iran telah memberitahu dua kaskade akan dipasang di Fordow.
Sejak November lalu, ketika Pemerintah Iran mengizinkan kembalinya tim inspeksi IAEA ke fasilitas nuklirnya, tim menemukan bahwa stok uranium Iran meningkat signifikan, melebihi batasan yang telah disepakati dalam JCPOA, yaitu hanya 202 kilogram. Temuan tim inspeksi saat itu, stok uranium Iran sudah mencapai 10 kali lipat angka yang diizinkan, yaitu 2,4 ton dan dengan tingkat pengayaan 4,5 persen (batasannya adalah 3,6 persen).
Kondisi terbaru program pengayaan nuklir Iran membuat dua pesaing utamanya, terutama Israel, khawatir. Menteri Energi Israel Yuval Steinitz menilai, Iran hanya tinggal selangkah lagi untuk memiliki hulu ledak nuklir, meski sering kali dibantah oleh Iran. Peningkatan pengayaan uranium oleh Iran, yang dikhawatirkan semakin dekat bagi negara itu untuk memiliki senjata nuklir, membuat Israel mulai menyiagakan militernya untuk menghadapi kemungkinan terburuk, khususnya di perbatasan.
Kerugian
Di tengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia, eskalasi ketegangan di Timur Tengah seharusnya dihindari. Dunia sudah terengah-engah mencoba mengatasi kenaikan jumlah kasus infeksi setelah virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19 terus bermutasi. Jutaan orang meninggal akibat penyakit ini. Masih ada belasan atau bahkan puluhan juta warga dunia yang terpapar penyakit ini tengah menanti pengobatan karena kemampuan rumah sakit untuk menangani penyakit ini terbatas.
Pandemi tidak hanya berdampak pada kesehatan. Pandemi telah berdampak luas pada perekonomian dunia dan kesejahteraan warganya. Puluhan bahkan ratusan juta warga dunia diyakini menggantungkan hidupnya dari bantuan negara karena tempat mereka bekerja gulung tikar. Perekonomian dunia memasuki masa resesi terburuk sejak Perang Dunia II.
Baca juga: Iran Balas Serang, AS Klaim Situasi Aman
Konflik dan perang akan menambah penderitaan rakyat dunia, khususnya negara atau kawasan yang terlibat langsung. Sudah banyak contoh bertebaran di depan mata. Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres, yang pernah meminta agar semua perang dan konflik dihentikan sementara waktu karena pandemi, pun tak berdaya.
Negara-negara di kawasan Teluk, yang berbatasan langsung dengan Iran, Arab Saudi, dan Israel, yang dikutip dari laporan Centre for Strategic and International Studies, seperti Oman, Kuwait, dan Qatar, mengaku khawatir dengan intensitas ketegangan yang terjadi di kawasan.
Peta jalan baru
Sementara itu, Biden yang percaya bahwa Trump melakukan kesalahan fatal saat meninggalkan JCPOA pada 2018 lalu tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Penunjukan Robert Malley sebagai Penasihat Khusus untuk kawasan Timur Tengah mengindikasikan cara yang akan ditempuh kabinet Biden akan lebih luwes dibandingkan dengan Trump.
Baca juga: Diplomasi Nuklir Iran Era Joe Biden
David Gardner, editor internasional Financial Times, menilai, penunjukan Malley bersama Antony Blinken sebagai menteri luar negeri dan William Burns sebagai Direktur CIA memperlihatkan niat yang kuat untuk menyelesaikan permasalahan di Timur Tengah dengan lebih baik. Namun, dengan pengayaan uranium yang terus berlangsung, duet Blinken dan Malley harus bergerak cepat.
Malley, yang sebelum ditunjuk sebagai Utusan Khusus untuk Iran adalah CEO International Crisis Group, dalam sidang Dewan Keamanan PBB pada pertengahan Oktober 2020, mengindikasikan keterlibatan yang lebih luas dari negara-negara di kawasan Teluk untuk mengakhiri ketegangan sekaligus mereduksi kemampuan nuklir Iran. Dalam pandangannya, JCPOA bukan hanya tanggung jawab Pemerintah AS semata, tetapi juga para pihak terkait, termasuk para penandatangan perjanjian itu sendiri.
”Kawasan Teluk perlu memulai dialog keamanan kolektif dan inklusif yang mencakup enam negara anggota Dewan Kerja Sama Teluk (GCC), Iran serta Irak,” kata Malley, yang membantu kabinet Barack Obama selama negosiasi JCPOA 2015.
Sejumlah negara Teluk, yang akan menjadi ”korban” apabila ketegangan antara Iran-Israel-Arab Saudi serta AS terwujud dalam bentuk perang terbuka, telah mengindikasikan kesediaannya membuka keran diplomasi. Oman, Qatar, dan Kuwait bersedia untuk menjadi penghubung para pihak. Selain negara-negara Teluk, Pemerintah Pakistan, menurut laporan tersebut, juga telah menyatakan kesediaannya untuk membantu menjadi penghubung para pihak.
Baca juga: Isu Nuklir Iran Menunggu Hasil Pemilu Iran dan Israel
Masih di dalam laporan yang sama, sejumlah negara Teluk dan negara-negara kecil yang akan terdampak jika perang terbuka terjadi juga menyatakan keinginannya agar ada mekanisme kerja atau dialog bersama untuk menurunkan ketegangan di kawasan, terutama untuk menghindari terjadinya perang.
Malley sendiri memandang ketegangan di Timur Tengah tak terlepas dari persepsi Arab Saudi terhadap Iran dan sebaliknya, persepsi Iran terhadap Arab Saudi. Arab Saudi dan sekutunya, menurut Malley, memandang kebijakan Iran di Suriah, Irak, Lebanon, atau Yaman sebagai kebijakan calon hegemon. Sebaliknya, Teheran, pada bagiannya melihat kawasan yang didominasi kekuatan regional yang didukung AS mencoba mengisolasi dan melemahkannya.
Yang membuat hal itu semakin buruk, menurut Malley, adalah tidak adanya mekanisme kelembagaan untuk menyuarakan keluhan para pihak atau setidaknya mencoba mempersempit perbedaan pandangan itu, termasuk ketiadaan organisasi regional yang mampu merangkul semua aktor di kawasan Teluk. Malley yakin, membangun dialog untuk memupuk rasa percaya antara aktor-aktor utama di kawasan Teluk menjadi sangat penting untuk membangun kepercayaan satu sama lain. Negara-negara Eropa ataupun kelompok negara yang dipandang netral oleh para aktor bertikai bisa menjadi fasilitator dan mediator.
Baca juga: Dunia Arab Butuh Solusi ”Out of the Box”
Pemikiran Malley didukung Hossein Mousavian, mantan anggota tim negosiasi nuklir Iran di JCPOA, dan Abdulaziz Sager, pendiri lembaga Pusat Penelitian Teluk (Gulf Research Center). Dalam kolom mereka di The Guardian, keduanya menilai bahwa untuk menghentikan lingkaran setan, persepsi ancaman oleh kedua negara, para pemimpin negara harus melakukan diskusi secara langsung.
”Aksi diperlukan untuk membangun rasa saling percaya setelah selama beberapa dekade ada rasa tidak percaya satu sama lain dan antagonisme. Diplomasi membutuhkan dialog,” tulis Abdelaziz dan Mousavian.
Meski demikian, pergulatan politik di dalam negeri masing-masing aktor utama di kawasan serta AS juga perlu diperhatikan. Di Arab Saudi, meski Pangeran Mohammed bin Salman sebagai penguasa de facto negara mulai bersikap moderat dalam hubungannya dengan Iran, mereka masih belum bisa mengendurkan sikapnya.
Sementara sikap Iran masih harus dibaca ulang karena negara ini akan melaksanakan pemilu dalam beberapa bulan mendatang. Kemenangan kubu moderat bisa membuka peluang dialog, seperti yang diiinginkan Malley dan Blinken, serta Abdelaziz dan Mousavian. Tetapi, apabila kubu konservatif yang memenangi pemilu, Malley akan membutuhkan strategi baru.
Baca juga: Ilmuwan Nuklir Iran Dibunuh, Teheran Tuding Israel dan Janji Akan Balas
Tantangan di dalam negeri AS sendiri tidak mudah. Meski Demokrat menguasai pemerintahan federal, komposisi di Senat dan Kongres pun harus menjadi perhitungan tersendiri. Apalagi, ada kabar bahwa Israel telah menerjunkan seorang pelobi yang dikenal dekat dengan Partai Demokrat untuk mengambil hati Presiden Biden agar tetap bersikap keras, seperti halnya Trump.
Tampaknya untuk mengurangi ketegangan di kawasan, masing-masing aktor utama harus mau mundur selangkah agar bisa maju puluhan langkah ke depan. Tetapi, siapa yang akan memulainya? (AFP/AP/REUTERS)