Tewaskan Warga Sipil, AS Melenggang dari Pertanggungjawaban Hukum
Tak ada pertanggungjawaban hukum terhadap serangan salah sasaran pesawat nirawak Amerika Serikat di Kabul, Afghanistan, 29 Agustus 2021. Padahal, sepuluh warga sipil tewas dalam kejadian itu.
Oleh
kris mada
·5 menit baca
WASHINGTON, SELASA — Pemerintah Amerika Serikat kembali menunjukkan upaya memberi kekebalan hukum terhadap militernya yang diduga terlibat kejahatan di medan perang. Kali ini, kekebalan diberikan kepada para prajurit dan perwira yang terlibat dalam serangan udara di Kabul, Afghanistan, pada 29 Agustus 2021. Serangan dengan pesawat nirawak yang salah sasaran itu menyebabkan sepuluh warga sipil tewas, termasuk anak-anak.
Juru Bicara Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) John Kirby mengatakan, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin telah menerima kajian tingkat tinggi atas serangan itu. Dalam kajian itu tidak ada rekomendasi soal siapa yang bertanggung jawab atas serangan tersebut. ”Dia menerima rekomendasi. Menteri tidak meminta tindakan tambahan soal pertanggungjawaban,” ujarnya, Senin (13/12/2021) siang waktu Washington atau Selasa dini hari WIB.
Dengan demikian, tidak ada hukuman dalam bentuk apa pun terhadap prajurit dan perwira yang terlibat dalam serangan yang menewaskan 7 anak-anak dan 3 orang dewasa itu. Sebagian besar korban adalah keluarga Zemari Ahmadi, warga Afghanistan yang bekerja untuk Nutrition & Education International (NEI).
Lembaga itu merupakan organisasi kemanusiaan yang berpusat di California, AS, dan memiliki fokus pada pemberian bantuan makanan untuk anak-anak Afghanistan. ”Bagaimana mungkin militer secara salah mengambil nyawa sepuluh warga Afhanistan dan tidak ada satu pun yang dimintai pertanggungjawaban,” kata Presiden NEI Steven Kwon.
Beberapa jam selepas serangan, Pentagon dan Komando Tengah AS yang mengendalikan operasi militer AS di Afghanistan mengumumkan pemboman dengan pesawat nirawak itu. Kepala Staf Gabungan AS Jenderal Mark Milley dan Panglima Komando Tengah AS Jenderal Kenneth McKenzie awalnya menyangkal semua korban serangan adalah warga sipil.
Menurut mereka, target serangan adalah mobil pengangkut bom yang disiapkan untuk diledakkan di Bandara Kabul. Kala itu, AS dan sejumlah negara tengah berusaha mengevakuasi ribuan orang dari Afghanistan.
Belakangan, Milley dan beberapa perwira AS mengakui ada kesalahan dalam serangan itu. Inspektur Jenderal Angkatan Udara AS Letnan Jenderal Sami D Said diperintahkan menyelidiki insiden itu. Hasil penyelidikan Said menunjukkan ada kesalahan dalam serangan itu. Meski demikian, tim Said tidak mencantumkan rekomendasi sanksi dalam bentuk apa pun terkait dengan serangan itu.
Awalnya, tentara AS mengklaim mobil Ahmadi mengangkut bahan bom. Karena itu, mobil terlihat keberatan dan ledakannya amat besar.
Dalam penyelidikan The New York Times, serangan itu menyasar mobil yang mengangkut banyak botol air mineral yang tengah dikendarai Ahmadi. Botol-botol itu penyebab mobil terlihat membawa beban berat. Bom yang dilepaskan pesawat nirawak AS pun meledak di dekat tabung gas sehingga ledakan membesar.
Terus terjadi
AS sudah berulang kali menutupi dugaan kejahatan perang oleh tentaranya dalam operasi di beberapa negara. Pendiri Wikileaks, Julian Assange, diburu setelah Wikileaks mengunggah video serangan udara tentara AS di Irak yang menewaskan sejumlah warga sipil.
Pada Juni 2020, Presiden AS Donald Trump mengumumkan sanksi terhadap Jaksa Mahkamah Kriminal Internasional (ICC) Fatou Bensouda dan jajarannya. Mereka dilarang masuk AS dan asetnya di AS akan disita. Sanksi diumumkan setelah Bensouda menyatakan akan menyelidiki dugaan kejahatan perang di Afghanistan. Penyelidikan termasuk terhadap tentara dan warga AS yang beroperasi di Afghanistan.
”Ini standar rendah dan memalukan atas komitmen AS dalam memberikan keadilan kepada korban kejahatan perang,” kata penasihat senior Human Rights Watch, Balkees Jarrah.
Pengganti Trump, Joe Biden, mengumumkan pencabutan sanksi itu pada April 2021. Beberapa bulan kemudian, Karim Asad Ahmad Khan yang menggantikan Bensouda mengumumkan bahwa penyelidikan kejahatan perang di Afghanistan hanya fokus pada Taliban dan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) Cabang Khurasan. Pengumuman itu menyiratkan ICC tidak akan menyelidiki dugaan kejahatan perang oleh AS dan sekutunya.
”Ini jelas keputusan politis, tidak ada makna lain. Keputusan itu memberi AS, Inggris, dan sekutunya kartu bebas penjara. Ini benar-benar seperti kedua negara itu menuliskan naskah keputusan. Dia (Karim Khan) menyinggung serangan di Bandara Kabul, tetapi mengabaikan serangan udara AS yang menewaskan 10 orang,” kata Jennifer Gibson, pakar hukum pada organisasi HAM asal Inggris, Reprive.
”Ini bukti tambahan bagi warga Afghanistan bahwa mekanisme internasional tidak menghargai nyawa mereka apabila pelakunya orang atau tentara asing. Keputusan (Jaksa ICC) memperkuat anggapan lembaga ini (ICC) dibuat dan dipakai untuk membenarkan agenda politik Barat,” kata Ketua Afghanistan Independent Human Rights Commission (AIHRC) Shaharzad Akbar.
Wakil Tetap Federation for Human Rights untuk ICC Vázquez Llorente berpendapat senada dengan Akbar. ”Sejak awal, mereka mencoba melindungi diri dari pertanggungjawaban,” kata Llorente.
Akbar dan timnya di AIHRC berkali-kali merangkum data soal serangan udara AS yang menewaskan warga sipil. Dalam berbagai serangan itu, hukuman maksimal yang diberikan kepada jajaran militer AS adalah sanksi administrasi.
AIHRC, antara lain, mencatat serangan pada 22 Agustus 2008 di kota Zizabat, Herat. Dalam serangan itu, 91 warga sipil tewas. Dari semua korban, 60 orang merupakan bayi dan anak-anak. Sementara dalam serangan pada Mei 2009, pasukan AS menewaskan 140 warga sipil di Bala Balukh. Lagi-lagi, serangan itu menewaskan puluhan anak-anak.
Sementara pada Februari 2010, regu pasukan khusus AS menyerang permukiman di Desa Khataba, Gardez. Dalam serangan itu, pasukan khusus AS menewaskan seorang polisi dan tiga warga sipil. Penyelidikan oleh Afghanistan menunjukkan, pasukan AS berusaha menghilangkan bukti dengan mengambil pecahan peluru dari tubuh para korban.
Adapun pada Oktober 2015 di Kunduz, pasukan AS menyerang rumah sakit dan menewaskan 42 orang. Para dokter dan perawat di rumah sakit itu ketakutan selama bertahun-tahun setiap kali mendengar suara helikopter dan pesawat.
Sementara pada Januari 2020, AIHRC mencatat lima serangan udara AS yang menewaskan 25 warga sipil. Dari berbagai serangan yang dicatat AIHRC, hanya peristiwa Oktober 2015 yang diikuti sanksi. Bentuknya pun hanya sanksi administrasi. Tidak ada sanksi pidana terhadap militer AS. (AFP/REUTERS/RAZ)