RI Tak Perlu Tanggapi Protes China Soal Pengeboran di Natuna
Kehadiran kapal-kapal perang menunjukkan Indonesia punya dasar kuat atas klaimnya di Laut Natuna Utara. Dari sisi hukum internasional dan kondisi faktual, dasar protes China amat lemah.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia sama sekali tidak perlu menanggapi protes China atas pengeboran sumur eksplorasi di Laut Natuna Utara. Pengeboran yang sudah tuntas itu memperkuat klaim Indonesia pada lokasi tersebut.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Diponegoro Eddy Pratomo mengatakan, lokasi pengeboran terletak di landas kontinen. Pada 2003, Indonesia-Vietnam sudah menyepakati perbatasan itu. ”Kesepakatannya sudah diratifikasi DPR. Dasar tindakan Indonesia sangat kuat, baik menurut hukum nasional maupun internasional,” ujarnya di sela-sela jumpa media yang digelar Kementerian Luar Negeri RI, Senin (6/12/2021), di Jakarta.
Pada akhir November 2021, Beijing diketahui mengirimkan nota protes atas pengeboran eksplorasi di Blok Tuna. Protes terungkap setelah pengeboran selesai pada 19 November 2021. Pengeboran untuk mengetahui cadangan minyak dan gas di lokasi tersebut berlangsung pada Juni-November 2021.
Eddy mengatakan, tidak ada dasar protes China pada pengeboran itu. Dari sisi hukum internasional dan kondisi faktual, dasar protes China amat lemah. Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional telah menetapkan tidak ada fitur-fitur yang bisa dijadikan dasar klaim perairan. Mahkamah menetapkan di lokasi tersebut hanya ada karang-karang yang tidak bisa dijadikan dasar klaim.
”Kalaupun ada karang yang bisa dijadikan dasar klaim, letaknya lebih dari 370 mil laut dari Natuna. Tidak bisa juga mengklaim sampai ke Natuna,” ujar mantan Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional Kementerian Luar Negeri RI itu.
Hukum internasional juga tidak mengenal istilah sembilan garis putus-putus yang dipakai China mengklaim sebagian Laut China Selatan. ”Jadi, protes China tidak perlu dilayani. Tidak ada dasar hukumnya,” katanya.
Dekan Fakultas Hukum Universitas Pancasila itu mengatakan, China pun menyadari dasar protesnya lemah. Hal itu dibuktikan dengan pengerahan kapal survei untuk berlayar ke dekat lokasi pengeboran. ”Kalau mereka yakin, pasti mengirim kapal penjaga pantai yang memang penegak hukum,” ujarnya.
Manuver Indonesia pada masalah itu dinilai sudah tepat. Indonesia mengerahkan kapal perang dan Badan Keamanan Laut (Bakamla) untuk berjaga di sekitar lokasi pengeboran. Kehadiran kapal-kapal perang itu menunjukkan Indonesia punya dasar kuat atas klaimnya. ”Biar saja kapal mereka berlayar, freedom of navigation. Kapal perang negara lain juga bebas berlayar dalam prinsip itu, safe passage,” katanya.
Indonesia pun diketahui mengirim nota balasan atas protes itu. Nota balasan Indonesia merupakan kelaziman dalam diplomasi. ”Posisi Indonesia dari dulu sudah jelas, tidak ada sengketa wilayah dengan China dan tidak perlu ada pembicaraan apa pun soal itu,” ujarnya.
Sejumlah diplomat senior menyebut, China bisa disebut kalah jika terkait pengeboran di Blok Tuna. Sebab, penyelesaian pengeboran adalah kemenangan diplomatik Indonesia. Berbeda dengan negara lain yang tidak bisa menyelesaikan pengeboran karena ada intervensi dari negara lain.
Sikap AS-Eropa
Pekan lalu, Amerika Serikat dan Uni Eropa kembali mengeluarkan pernyataan bersama soal Laut China Selatan dan Indo-Pasifik. Pernyataan dikeluarkan selepas pertemuan Wakil Menteri Luar Negeri AS Wendy Sherman dan Sekretaris Jenderal Kantor Hubungan Luar UE Stefano Sannino di Washington.
Brussels-Washington kembali menegaskan dukungan pada Indo-Pasifik yang terbuka dan bebas berdasarkan hukum dan demokrasi, serta berkontribusi pada kestabilan, keamanan, dan kesejahteraan kawasan. AS-UE mengakui mereka berbagai kepentingan dalam keamanan dan stabilitas kawasan sesuai Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Internasional (UNCLOS) 1982.
Sherman dan Sannino juga kembali membahas inisiatif infrastruktur yang pernah dilontarkan Presiden AS Joe Biden. Walakin, Sherman dan Sannino sama-sama tetap tidak merinci persoalan itu.
Biden pernah melontarkan soal inisiatif infrastruktur di Indo-Pasifik untuk menandingi Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) dari China. Lewat BRI, China telah mengucurkan miliaran dollar AS ke sejumlah negara di Asia, Afrika, dan Eropa. AS dan sekutunya menyebut pendanaan lewat BRI tidak menganut mekanisme berkelanjutan. Sayangnya, AS dan sekutunya tidak kunjung memberi alternatif pendanaan bagi negara-negara yang membutuhkan pengembangan infrastruktur.