Negara Kepulauan Menuntut Pengucuran Dana Penanganan Dampak Perubahan Iklim
Negara-negara kepulauan dan negara yang rentan terdampak perubahan iklim menuntut kemudahan akses keuangan untuk membantu mereka mengatasinya. Tetapi, sejauh ini negara-negara kaya menolak.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
KINGSTON, SENIN — Negara-negara kepulauan semakin terancam keberadaannya ketika pemanasan global terus berlangsung, berdampak pada kenaikan permukaan air laut dan berujung pada kemungkinan lenyapnya kawasan tempat tinggal mereka dari permukaan bumi. Selain itu, mereka juga berhadapan dengan fenomena alam lain, seperti badai tropis, yang semakin ganas yang mengancam rumah tempat tinggal, jaringan listrik, rumah sakit dan juga fasilitas penunjang perekonomian, seperti pelabuhan.
Tetapi, negara-negara kepulauan tidak bisa bergerak cepat untuk berbenah karena mereka mengalami defisit pemasukan, terutama karena industri pariwisata yang terdampak akibat pandemi Covid-19.
Kondisi itu yang membuat mereka kini berjuang untuk bisa mendapatkan sokongan dana, baik dalam bentuk bantuan maupun investasi, perlindungan iklim.
Direktur Eksekutif Dana Iklim Hijau (GCF) Yannick Glemarec mengatakan, negara-negara kepulauan kecil, seperti Republik Dominika di Kepulauan Karibia, terjebak dalam siklus utang yang pada suatu masa akan meledak lagi setelah sumber-sumber keuangan mereka tersapu badai. Mereka membutuhkan banyak investasi, pinjaman, untuk memperbaiki semua kerusakan infrastruktur yang menghasilkan pemasukan bagi negara.
”Mereka membutuhkan akses ke sumber dana, modal,” ujar Clemarec. Yang menjadi kendala bagi negara-negara kepulauan itu, katanya, dana penanganan dampak iklim bagi negara-negara kepulauan tidak ada. Hal itu terjadi karena kerumitan negosiasi untuk mengakses dana publik dan investor swasta melihat proyek iklim di negara kepulauan sebagai proyek yang berisiko tinggi.
Sebuah studi yang dirilis oleh badan amal Christian Aid, Senin (8/11/2021), menyoroti dampak ekonomi akibat perubahan iklim yang bisa sangat menghancurkan di negara-negara paling rentan. Tanpa pencapaian target ambisius, mengurangi emisi global dengan tajam, kehancuran adalah sebuah keniscayaan.
Studi itu menyebutkan, jika suhu global mengalami kenaikan hingga 2,9 derajat celsius, pendapatan negara-negara miskin dan negara kepulauan bisa mengalami penurunan hingga 20 persen pada tahun 2050 dan 64 persen pada tahun 2100. Sementara dengan berbagai tindakan pencegahan kenaikan suhu bumi, negara-negara tersebut akan ”sedikit” mengalami penurunan pendapatan, sekitar 13 persen 2050 dan 33 persen pada tahun 2100.
Afrika akan menjadi kawasan yang paling terpukul, menurut para peneliti.
Marina Andrijevic, koordinator penelitian tersebut, mengatakan, penelitian mereka hanya terfokus pada dampak kenaikan suhu bumi. Kerusakan tambahan dari cuaca yang tidak menentu berarti prospek ekonomi di negara-negara itu makin buruk.
”Temuan ini menyiratkan bahwa kemampuan negara-negara di belahan bumi selatan untuk berkembang secara berkelanjutan sangat terancam. Pilihan pilihan kebijakan yang kita buat saat ini sangat penting untuk mencegah kerusakan lebih lanjut,” kata Andrijevic, pengajar pada Universitas Humboldt Berlin.
Nushrat Chowdhury, penasihat soal keadilan iklim pada badan amal itu, mengatakan telah melihat secara langsung bagaimana kehilangan dan kerusakan iklim telah memengaruhi rakyatnya.
”Orang-orang kehilangan segalanya. Permukaan air laut naik, dan orang-orang putus asa untuk beradaptasi dengan situasi yang berubah. Jika pernah ada demonstrasi perlunya mekanisme kerugian dan kerusakan yang nyata, sekarang saatnya,” kata Chowdhury.
Dampak kenaikan permukaan air laut sebagai bukti pemanasan global diperlihatkan langsung oleh Menteri Luar Negeri Tavalu, Simon Kofe. Rekaman pidato Kofe untuk Konferensi Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa direkam di tepi laut. Kofe berpidato, lengkap menggunakan jas dan dasi, dengan celana digulung setinggi lutut, untuk memperlihatkan ketinggian air laut di pantai negara Kepulauan Pasifik itu.
”Pernyataan ini mengontraskan situasi di COP 26 dengan kondisi nyata yang dihadapi rakyat Tuvalu akibat perubahan iklim dan kenaikan permukaan air laut,” demikian pesan Kofe dalam videonya. Video itu direkam oleh stasiun televisi TVBC di ujung Fongafale, pulau utama Ibu Kota Funafuti.
Mendorong pendanaan
Tuntutan yang sangat kuat agar ada mekanisme dan jenis bantuan keuangan baru untuk membantu negara-negara rentan terdampak perubahan iklim. Tapi, sejauh ini, negara-negara kaya sebagian besar menolak.
Pada COP 26 di Glasgow, kelompok negara miskin dan negara kepulauan kecil mendesak agar negara-negara peserta konferensi iklim menyetujui aliran dana untuk kerugian dan kerusakan global. Namun, dalam draf kesepakatan hanya disebutkan perlunya peningkatan dan tambahan dukungan finansial.
Direktur Negosiasi Iklim pada World Resource Institute Yamide Dagnet menilai, usulan itu lemah.
Negara-negara kaya belum memenuhi janji yang disepakati pada KTT Iklim Paris 2015 untuk mengumpulkan 100 miliar dollar AS per tahun untuk meningkatkan energi bersih dan membantu masyarakat yang rentan menyesuaikan diri dengan perubahan iklim. Hal ini yang menjadi sumber frustrasi para peserta konferensi, terutama dari para aktivis iklim.
Preseden bagus muncul dari Pemerintah Skotlandia yang mengumumkan kucuran dana senilai 1 juta poundsterling atau setara 1,35 juta dollar AS untuk membantu masyarakat miskin mengatasi kerugian dan kerusakan akibat iklim.
Glemarec menyatakan, negara-negara kecil dan rentan terdampak perubahan iklim sangat membutuhkan bantuan. ”Ketika Anda memiliki orang-orang dalam kesulitan seperti itu, jangan buat mereka menunggu,” katanya. (Reuters/Thomson Reuters Foundation)