Kepanikan di China dan Isyarat Krisis Pangan Dunia
China meminta warganya untuk menyiapkan stok pangan guna mengantisipasi keadaan darurat. Ini menimbulkan kecemasan rakyat sekaligus mengirim sinyal bahwa risiko kerawanan pangan itu dekat, menyusul pandemi yang panjang.
Sebuah arahan bernada perintah dikeluarkan Pemerintah China terhadap warganya pada Senin (1/11/2021) malam. Kementerian Perdagangan melalui surat edaran meminta keluarga-keluarga di seluruh China memastikan persediaan kebutuhan sehari-hari untuk berjaga-jaga jika terjadi sebuah keadaan darurat.
Pengumuman ini sontak membuat warga panik dan gaduh. Situasi ini dengan cepat merembet dan tecermin di media sosial. Warga mencoba menebak-nebak apa yang sejatinya dimaksud pemerintah dengan kondisi darurat itu.
Baca juga: China Terus Mempersiapkan Diri Menjadi Pemimpin Global
Salah satu spekulasi mengaitkannya dengan meningkatnya ketegangan antara China dan Taiwan. Apalagi media lokal sebelumnya juga menerbitkan daftar barang yang direkomendasikan untuk disimpan di rumah, termasuk biskuit serta mi instan, vitamin, radio, dan senter.
Yang jelas, di dunia nyata warga mulai panik membeli barang-barang kebutuhan harian. Warga bergegas menimbun barang kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, dan garam. ”Begitu berita itu keluar, semua orang tua di dekat saya menjadi ’gila’ karena panik membeli di supermarket,” tulis seorang pengguna Weibo, salah satu media sosial di China.
Melihat perkembangan itu, Pemerintah China segera memberikan klarifikasi, Selasa atau sehari setelah pengumuman. The Economic Daily, surat kabar yang didukung Partai Komunis China, meminta warga untuk tetap tenang dan tidak berandai-andai. Disebutkan bahwa arahan itu ditujukan untuk memastikan warga tidak lengah jika sewaktu-waktu terjadi penguncian wilayah di daerah mereka. Namun, klarifikasi itu tidak serta-merta meredam kekhawatiran warga. Apalagi pada Selasa petang muncul pernyataan Perdana Menteri China Li Keqiang yang mengakui ekonomi China tengah tertekan. Ia mengatakan, para pengambil kebijakan China akan terus berupaya memastikan roda perekonomian berjalan sesuai relnya dan mengambil langkah-langkah guna mendorong sektor-sektor industri.
Stagflasi
Perekonomian China, menurut para ekonom, tengah mengalami tanda-tanda stagflasi. Stagflasi adalah kondisi ketika aktivitas ekonomi berjalan stagnan, tetapi inflasi mendaki. Fenomena ini pertama kali dikenali pada 1970-an. Kala itu, dunia mengalami lonjakan harga minyak. Namun, produk domestik bruto negara-negara justru turun tajam.
Data menunjukkan bahwa aktivitas pabrik China berkontraksi lebih dalam pada Oktober daripada yang diperkirakan sebelumnya. Ini adalah kontraksi berturut-turut dalam dua bulan terakhir. Indeks Manajer Pembelian menunjukkan manufaktur resmi China pada Oktober berada di level 49,2. Angka di bawah 50 menunjukkan kontraksi.
Zhang Zhiwei, Kepala Ekonom di Pinpoint Asset Management, sebagaimana dikutip CNBC, mengatakan, indeks produksi China telah turun ke level terendah sejak diterbitkan pada 2005. Data itu tidak termasuk pada kondisi di tengah krisis keuangan global 2008 dan awal merebaknya pandemi Covid-19 pada Februari tahun lalu. Sebaliknya, indeks harga produksi China telah naik ke level tertinggi sejak diterbitkan pada 2016. ”Sinyal-sinyal ini mengonfirmasi bahwa ekonomi China kemungkinan sudah mengalami stagflasi,” kata Zhang.
Setiap tahun, Pemerintah China biasanya melakukan upaya ekstra untuk meningkatkan pasokan makanan, terutama sayuran segar dan daging babi. Ini untuk mengantisipasi naiknya permintaan pada hari raya terpenting China, Tahun Baru Imlek. Tahun depan, hari raya itu jatuh pada awal Februari. Namun, tahun ini upaya tersebut menjadi lebih mendesak setelah cuaca ekstrem pada awal Oktober menghancurkan tanaman di Shandong, wilayah penghasil sayuran terbesar di China.
Baca juga: Olimpiade Musim Dingin Beijing 2022 Tidak Akan Ditunda
Pekan lalu, harga mentimun, bayam, dan brokoli naik lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan harga pada awal Oktober. Sekilo harga bayam bahkan lebih mahal daripada harga daging babi. Hal itu dicatat dalam indeks harga sayuran di Shouguang, pusat perdagangan di Shandong.
Meskipun gejolak harga telah mereda dalam beberapa hari terakhir, para ekonom memperkirakan bahwa Oktober akan tetap mencatatkan kenaikan inflasi harga konsumen yang signifikan secara tahunan. Jika proyeksi tersebut benar, kondisi itu adalah yang pertama dalam lima bulan terakhir. Muncul kekhawatiran pula bahwa gangguan pasokan makanan di China bisa berlanjut di tengah kembali merebaknya kasus Covid-19.
Di saat yang sama, Pemerintah China konsisten dengan pilihannya untuk menghadapi pandemi dengan cara-cara yang ketat. Penguncian wilayah tetap menjadi pilihan kebijakan bersama dengan upaya tes dan pelacakan kasus serta optimalisasi cakupan vaksinasi Covid-19.
Sejak pandemi Covid-19, Pemerintah China telah berupaya meningkatkan ketahanan pangannya. Di antaranya dengan menyusun Undang-Undang Ketahanan Pangan, meminimalisasi tingkat kebocoran panen, dan langkah-langkah mengurangi limbah makanan. Kampanye soal ketahanan pangan ini dipelopori langsung oleh Presiden Xi Jinping. Tujuannya untuk mencapai sistem ketahanan pangan nasional yang berkualitas tinggi, lebih efisien, dan lebih berkelanjutan.
Persoalan pangan yang terjadi di China itu seyogianya menjadi pelajaran dan peringatan bagi negara lain, termasuk Indonesia. Bank Dunia sejak tahun lalu telah mengingatkan adanya risiko krisis pangan menyusul pandemi Covid-19. Kondisi ini bisa membalikkan pencapaian pembangunan selama bertahun-tahun.
Baca juga: PBB Ingatkan Bencana Kelaparan di 23 Wilayah Dunia
Bahkan, sebelum pandemi mengganggu rantai pasok dan mengurangi pendapatan, kelaparan kronis dan akut telah meningkat karena berbagai faktor. Termasuk di dalamnya adalah konflik, kondisi sosial ekonomi, perubahan iklim, dan gangguan hama.
Bank Dunia pada pekan ketiga Oktober lalu menyebutkan, dampak Covid-19 telah menyebabkan peningkatan kerawanan pangan global yang parah dan meluas. Kondisi itu memengaruhi rumah tangga yang rentan di hampir setiap negara. Diingatkan bahwa dampaknya bisa saja akan berlanjut hingga 2022 dan mungkin seterusnya.
Indeks Harga Komoditas Pertanian stabil pada triwulan III-2021, tetapi tetap 25 persen lebih tinggi daripada tahun lalu. Pada September, harga jagung dan gandum lebih mahal. Masing-masing naik 34 persen dan 6 persen dari posisi Januari 2020.
Adapun harga beras 11 persen di bawah tingkat sebelum pandemi. Harga-harga itu mencerminkan permintaan yang kuat bersama dengan ketidakpastian cuaca, kondisi makroekonomi, dan gangguan pasokan terkait Covid-19 meski prospek produksi global untuk biji-bijian utama tetap baik.
Banyak negara mengalami inflasi harga pangan yang tinggi di tingkat ritel.
Risiko utama terhadap ketahanan pangan berada di tingkat negara-negara. Hal itu, antara lain, berupa harga eceran yang lebih tinggi. Sementara pendapatan turun. Artinya, semakin banyak rumah tangga yang harus mengurangi kuantitas dan kualitas konsumsi makanan mereka. Banyak negara mengalami inflasi harga pangan yang tinggi di tingkat ritel.
Kondisi ini mencerminkan gangguan pasokan yang berkepanjangan akibat kebijakan menjaga jarak sosial pada pandemi Covid-19, devaluasi mata uang, dan faktor lain. Naiknya harga pangan memiliki dampak yang lebih besar pada penduduk di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah karena mereka membelanjakan bagian yang lebih besar dari pendapatan mereka untuk makanan ketimbang orang-orang di negara-negara berpenghasilan tinggi. (AP/AFP/REUTERS/BEN)