China Terus Mempersiapkan Diri Menjadi Pemimpin Global
China mendeklarasikan dirinya telah memenangi pertarungan melawan Covid-19 dan krisis ekonomi yang mengiringinya. Kemenangan ini menjadikan landasan baru bagi kerja pembangunan mereka.
China telah menyusun peta jalan untuk menjadi pemimpin global. Meski dihadang pandemi Covid-19, China terus memperlihatkan kemampuan untuk bangkit menjadi pesaing utama Barat, termasuk Amerika.
Dunia melewati tahun 2020 dengan penuh kemuraman. Krisis multidimensi karena pandemi Covid-19, yang pertama kali muncul di kota Wuhan, China, telah memukul semua negara dan semua sektor. Negara kaya terpukul, negara berkembang dan miskin pun semakin tertekan.
Amerika Serikat (AS), Rusia, Jepang, Korea Selatan, dan sejumlah negara anggota Uni Eropa (UE) masih berjibaku dengan penanganan pandemi dan proses pemulihan ekonomi. China, sebaliknya, negara yang dituding oleh AS dan sejumlah sekutunya sebagai negara asal muasal virus SARS-CoV-2, telah menasbihkan diri sebagai ”pemenang” meski masih ada penularan baru.
Tidak hanya menasbihkan dirinya sebagai pemenang, sepanjang 2020, China memperlihatkan sosoknya sebagai negara pesaing bagi negara-negara adidaya Barat, tidak hanya dari sisi ideologi, tetapi juga dari segi ekonomi hingga soal pertahanan dan keamanan.
Mengutip The Economist, secara politis, Pemerintah China di bawah Presiden Xi Jinping yang juga adalah Sekretaris Partai Komunis China, semakin represif. Hong Kong dan represivitas negara terhadap warga minoritas Uighur adalah contoh.
Baca juga: Susun Peta Jalan Pemulihan, China Coba Tangkis Stagnasi Ekonomi Pascapandemi
Secara eksternal, tindakan Pemerintah China semakin agresif. Permasalahan Taiwan, India, serta klaimnya terhadap Laut China Selatan yang berbenturan dengan sejumlah negara anggota ASEAN adalah beberapa contoh.
Persaingan paling nyata bisa dilihat antara AS dan China sepanjang beberapa tahun ketika Washington diperintah oleh Partai Republik dan Donald Trump. Ketidakmampuan Donald Trump dan para pembantunya serta Partai Republik mengimbangi perilaku China secara global hanya bisa diimbangi dengan tindakan keras yang berujung pada kerugian nyata rakyat AS dan global.
Namun, AS tampaknya sadar mereka tidak bisa begitu saja berhadapan dengan China. Di bawah Joe Biden, terjadi pergeseran sikap dan kebijakan luar negeri AS terhadap China. Hal ini bisa dipandang sebagai sebuah ”keunggulan” China terhadap AS.
Pergeseran sikap AS bersamaan dengan pertemuan tahunan Komite Nasional Konferensi Konsultatif Politik Rakyat Tiongkok dan Kongres Rakyat China.
Menyedot perhatian
Pertemuan ribuan anggota parlemen Partai Komunis China ini menyedot perhatian karena mereka mendiskusikan capaian dan tantangan yang dihadapi China sekarang dan di masa depan, internal ataupun eksternal, khususnya sentimen anti-China di beberapa negara Barat.
Selain itu, Parlemen China juga membahas cetak biru rencana lima tahunan dan target pembangunan 2035, yang menarik perhatian banyak pihak, terutama para investor global. Para pemilik modal, termasuk AS, percaya pada kinerja pasar China yang memiliki populasi lebih dari satu miliar jiwa ini.
Mengutip laporan Pengawasan Tren Investasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang diluncurkan Januari 2021, dikutip dari laman kantor berita Xinhua, meski investasi asing langsung global pada 2020 telah merosot 42 persen dari 1,5 triliun dollar AS pada 2019, pasar China menunjukkan anomali. Apabila pasar global merosot, di China terjadi peningkatan hingga 4 persen.
Baca juga: China Fokus Ekonomi, Pertahanan, hingga Ekonomi Hijau
Gairah pasar internal yang makin membaik membuat Pemerintah China optimistis langkah pemulihan yang mereka sekarang jalani berada di jalur yang tepat. Perdana Menteri China Li Keqiang, yang merupakan salah satu arsitek ekonomi China saat ini, di hadapan anggota kongres, memasang target pertumbuhan lebih dari 6 persen per tahun.
Pesan PM Li soal ketangguhan ekonomi China, kemampuannya bertahan di tengah badai krisis, dan kini menargetkan pertumbuhan di atas angka 6 persen adalah pesan pada dunia internasional, terutama para pesaingnya, bahwa China adalah aktor utama ekonomi global.
Dikutip dari laman The New York Times, meski angka pertumbuhan ekonomi yang digaungkan PM Li dianggap moderat dibandingkan dengan target ekonomi China sebelum pandemi, hal ini mengindikasikan kebangkitan kembali perekonomian yang kuat setelah ekonomi negara itu mati suri.
China akhirnya mencatat pertumbuhan 2,3 persen di pengujung 2020, menandakan pulihnya perekonomian mereka. Adapun negara-negara pesaingnya, seperti AS dan Uni Eropa, tertatih-tatih.
”Rakyat kita bekerja keras dan berjuang melawan kesulitan, dalam sebuah solidaritas yang kuat dan erat, pantang menyerah sebagai bangsa. Dengan demikian, mereka membuktikan bahwa mereka adalah pahlawan sejati,” kata PM Li.
Apabila pemerintah menetapkan angka pertumbuhan yang moderat, menurut beberapa lembaga keuangan, dikutip dari laman Financial Times, pertumbuhan ekonomi China bisa mencapai di atas angka 7 persen dan bahkan hingga 9 persen pada 2021 ini.
Konsumsi masyarakat dan kembalinya laju produksi berbagai sektor industri menjadi pendorong utama angka pertumbuhan itu.
Baca juga: Pesan Kuat Presiden Xi Jinping
Konsensus untuk tahun ini, angka pertumbuhan China berkisar 8-9 persen. Namun, angka itu, menurut Direktur Investasi pada Fidelity International Hong Kong Catherine Young masih rendah.
Sementara itu, dalam pandangan Bruce Pang, analis Bank Investasi China Renaissance, target yang ditetapkan oleh PM Li sebagai sebuah target yang lebih fleksibel dan menyisakan ruang gerak lebih luas untuk reformasi struktural dan transisi ekonomi yang lebih matang.
”Kami pikir, kemungkinan target itu akan tercapai. Hal ini menunjukkan bahwa otoritas mengalihkan fokus ke kualitas pertumbuhan, bukan kecepatan,” kata Pang, dikutip dari laman BBC.
”Perekonomian China tampaknya bergerak secara konsisten di semua bidang,” kata Eswar Prasad, ahli keuangan China pada Universitas Cornell, AS. bahkan, dia menilai, ekonomi China membuat ekonomi negara besar lainya seperti butiran debu.
Kongres tidak hanya membahas soal ekonomi semata, tetapi juga kembali meluruskan niat jangka panjangnya untk menjadi pemain utama dalam bidang telekomunikasi, kendaraan listrik, dan teknologi masa depan lain yang menguntungkan.
Selain itu, pemerintah juga menjanjikan peta jalan untuk menekan emisi karbon, termasuk menjalankan janji Presiden Xi Jiping agar China menjadi negara yang netral karbon pada 2060, dimulai dengan mengurangi emisi karbon per unit hasil ekonomi sebesar 18 persen selama lima tahun ke depan.
Baca juga: China Klaim Sukses Kendalikan Pandemi, Eropa Gelagapan Tangani Varian Baru
Salah satu tantangan ke depan adalah mengalihkan sumber energi dari batubara, yang selama ini memasok 60 persen pasokan energi China, ke sumber energi bersih.
Pesan pada dunia
Gaung keberhasilan yang disuarakan dalam pertemuan Kongres Rakyat Nasional China, melewati masa-masa sulit, bisa juga dipahami sebagai pesan pada dunia internasional bahwa model politik China yang kuat dari segi ideologi, kepemimpinan yang terpusat di tangan Partai Komunis China, lebih unggul atas demokrasi liberal ala negara-negara Barat.
Pesan ini menjadi bermakna karena di bawah kepemimpinan Presiden Xi, yang berkuasa sejak 2012, China akan mengalami peristiwa penting, yaitu ulang tahun ke-100 China. Xi, menurut Carl Minzner, profesor hukum dan politik China di Universitas Fordham, New York, akan mengangkat posisi Xi dekat dengan pendiri Bapak China Modern, Mao Zedong.
Baca juga: China Pilih Praktikkan Multilateralisme dengan Tindakan Pragmatis
”Ini semua adalah bagian upaya untuk mengangkat profil pribadinya sebagai orang yang akan memimpin Partai Komunis Tiongkok memasuki abad kedua,. Ini tentang mengangkatnya ke posisi dengan Pemimpin Mao,” kata Minzner. Ini tentang mengangkatnya ke posisi yang dekat dengan Mao.
Sejak berkuasa sembilan tahun lalu, Presiden Xi tidak hanya menindak para pejabat korup, tetapi juga memadamkan orang atau kelompok oposisi yang mencoba menggerogoti pemerintahannya. Ribuan pejabat telah dihukum dan oposisi diberangus.
Menyingkirkan orang-orang yang tidak setia kepadanya adalah tujuan utama. Dan, pada saat yang sama, keinginannya untuk memperluas pengaruh China semakin membesar.
Hal itulah yang terjadi di Hong Kong, Taiwan, hingga perseteruannya dengan beberapa negara tetangga dalam sengketa batas wilayah.
Di Hong Kong, Presiden Xi tidak memberikan ruang bagi demokrasi, seperti yang selama ini diterapkan Inggris di wilayah tersebut. Kongres telah memberikan lampu hijau pada Komite Pemilu untuk mengisi parlemen dengan para pengusaha dan tokoh pro-Beijing.
Presiden Xi tidak ingin mengulang ”kesalahan” dengan memberikan ruang berkembang bagi demokrasi yang baginya malah menimbulkan ”kegaduhan”.
Baca juga: Biden Siap Bersaing, tetapi Menghindari Konflik dengan China
Nafsu untuk memperluas ruang hidup China dibuktikan dengan keinginan merangkul Taiwan, mengulang kesuksesan Hong Kong. Menteri Luar Negeri China Wang Yi menyatakan, Amerika Serikat, yang mendukung Taiwan sebagai sebuah negara berdaulat, adalah praktik berbahaya. Menlu Wang menyatakan, klaim China atas daratan Taiwan adalah garis merah yang tidak bisa ditolak.
Untuk mempertegas maksudnya mengklaim wilayah Taiwan, China tak segan-segan memperlihatkan kemampuan militernya. Rencana kenaikan belanja militer 6,8 persen atau setara dengan 217 miliar dollar Amerika Serikat, yang menurut para pengamat militer merupakan yang tertinggi di dunia, adalah salah satu cara untuk memperlihatkan keseriusan China menantang dominasi global AS.
Apalagi, dalam beberapa tahun terakhir, Angkatan Laut China menjadi matra yang dimodernisasi secara besar-besaran, khususnya untuk menegaskan klaimnya di Laut China Selatan yang ditentang AS. (AP/AFP/REUTERS)