China Klaim Sukses Kendalikan Pandemi, Eropa Gelagapan Tangani Varian Baru
Politburo China, lembaga pembuat keputusan di tubuh Partai Komunis China (PKC), mengklaim berhasil mengendalikan Covid-19 berkat peran kepemimpinan partai.
BEIJING, SABTU -- Partai Komunis China yang berkuasa mengklaim sukses besar atau luar biasa mengendalikan pandemi Covid-19 di dalam negeri. Klaim itu muncul di saat sejumlah negara Barat mulai memvaksin warganya berpacu dengan meningkatnya kasus varian baru Covid-19.
Negara tetangganya pun, Korea Selatan, justru sedang panik akibat lonjakan kasus baru harian Covid-19 masih saja terjadi.
Politburo China, lembaga pembuat keputusan di tubuh Partai Komunis China (PKC), mengklaim keberhasilan itu terjadi berkat peran kepemimpinan partai.
"Pada saat yang kritis, Komite Pusat Partai berpandangan ke depan dan mampu meraih kesuksesan luar biasa di tahun yang sangat tidak biasa," kata kantor berita Xinhua, seperti dikutip kantor berita AFP, Sabtu kemarin.
Baca juga: Tanda Tanya Soal Vaksin dari China
Selama ini China dikecam karena dituding telah secara sengaja menutupi asal mula pandemi Covid-19 yang dimulai dari Wuhan, ibu kota Provinsi Hubei. Di dalam negeri, China berusaha membungkam kritikan dengan menghukum delapan penyebar informasi awal terkait Covid-19.
Jurnalis warga China yang melaporkan wabah di Wuhan, Zhang Zhan, misalnya, ditahan sejak Mei lalu dan akan disidang, Senin besok. Zhang pernah menjadi pengacara yang bepergian ke Wuhan, Februari lalu, melaporkan kekacauan yang terjadi saat awal-awal pandemi melalui laporan langsung di internet dan esai-esai kritis. Laporan Zhang kemudian disebarluaskan melalui berbagai platform media sosial yang dilarang di China.
Politburo China menggelar rapat dua hari sebelum kedatangan tim internasional yang terdiri dari para ahli di Organisasi Kesehatan Dunia. Mereka ke China untuk menyelidiki asal-muasal binatang yang dituduh menyebarkan Covid-19 di Wuhan.
Salah seorang ahli di tim itu mengatakan penyelidikan itu bukan untuk mencari siapa yang salah tetapi mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi agar bisa mengantisipasi agar tak terulang kembali. Selama ini China bersikukuh Covid-19 tidak berawal di Wuhan.
Baca juga: Shi Zhengli, ”Perempuan Kelelawar” Penyibak Misteri Virus Korona di Wuhan
China juga merupakan satu-satunya negara dengan perekonomian kuat yang melaporkan pertumbuhan tahun ini. Boleh jadi pertumbuhan itu sekaligus menjadi bukti China mampu mengendalikan penyakit Covid-19.
Namun, dalam seminggu ini China kembali mencatat kenaikan kasus baru meski dalam skala kecil. Otoritas kesehatan China, kemarin, melaporkan ada tambahan 20 kasus baru Covid-19 pada 25 Desember, naik dari 14 kasus pada hari sebelumnya.
Varian baru
Saat China mengklaim sudah menang melawan Covid-19, Uni Eropa (UE) mulai memvaksin warganya, kemarin. Di saat yang bersamaan, kasus varian baru Covid-19 di sejumlah negara di Eropa meningkat cepat sehingga memaksa mereka kembali memberlakukan kebijakan karantina dan pembatasan sosial.
Varian baru Covid-19 yang berasal dari Inggris itu diyakini lebih menular dan kemampuan penyebaran dan penularannya lebih cepat.
Baca juga: Inggris Terisolasi akibat Kemunculan Varian Baru Virus Korona
Setelah Inggris, kasus varian baru Covid-19 itu ditemukan di Paris, Perancis. Kementerian Kesehatan Perancis menjelaskan varian baru itu ditemukan pada seorang warga Inggris yang tiba di Paris pada 19 Desember. Tidak ada gejala-gejala yang ditemukan pada warga itu dan kini ia sudah isolasi mandiri di rumahnya.
Varian baru Covid-19 yang dikhawatirkan lebih menular itu membuat lebih dari 50 negara memberlakukan larangan bepergian dari dan ke Inggris. Selain di Perancis, kasus varian baru juga telah ditemukan di Jepang, Singapura, Denmark, Lebanon, Jerman, Australia, dan Belanda.
Afrika Selatan juga mendeteksi ada mutasi Covid-19 yang mirip pada orang-orang yang terinfeksi. Namun, pemerintah Afsel membantah klaim Inggris yang menyatakan varian baru virus Covid-19 yang menyebar di Afsel itu lebih berbahaya ketimbang varian baru dari Inggris.
Baca juga: Paus Fransiskus Meminta Negara-negara Berbagi Vaksin Korona
Seluruh 27 negara anggota UE akan mulai proses vaksinasi, Minggu ini, setelah regulator menyetujui vaksin Pfizer-BioNTech pada 21 Desember lalu. "Vaksin menawarkan jalan keluar dari tragedi ini. Tetapi harus sabar karena butuh waktu sebelum akhirnya seluruh dunia bisa divaksin," kata Direktur WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus.
Kasus melonjak
Seperti di Eropa, Korea Selatan juga mengalami lonjakan kasus Covid-19 menjelang Natal. Padahal selama ini Korsel tampaknya berhasil melawan Covid-19 dengan cepat melakukan tes Covid-19 pada penduduknya, melacak kontak, dan mengkarantina siapa saja yang terinfeksi. Kecepatan penanganan itu sempat berhasil melawan Covid-19 tanpa harus dengan kebijakan karantina.
Namun, pada Hari Natal, kasus hariannya justru melonjak paling tinggi dengan 1.241 kasus. Pada Sabtu kemarin saja, dilaporkan ada 1.132 kasus lagi hingga total kini mencapai 55.902 kasus. Selama 15 hari terakhir saja, ada 15.000 kasus. Lonjakan ini membuat panik dan kepercayaan publik pada pemerintah menurun.
Pemerintah kemungkinan akan memperketat aturan jaga jarak fisik warga. Kebijakan yang lebih ketat akan diberlakukan karena kapasitas rumah sakit yang tidak lagi memadai. Setidaknya ada empat orang yang tewas di rumahnya atau di panti jompo karena menunggu antrian masuk rumah sakit.
"Banyaknya pasien Covid-19 membuat layanan lambat," kata Guru Besar Penyakit Menular di Rumah Sakit Ansan Universitas Korea, Choi Won Suk.
"Di rumah sakit tidak hanya ada pasien Covid-19. Banyak pasien yang juga sakit parah tetapi tak bisa berbagi dengan pasien Covid-19. Ini yang repot. Belum lagi tenaga medisnya juga sudah lelah," kata Choi.
Banyak kalangan pengkritik yang menilai pemerintahan Presiden Korsel Moon Jae-in terlalu cepat berpuas diri setelah merasa berhasil melawan Covid-19 sebelum musim dingin tiba.
Baca juga: Lonjakan Kasus Baru Covid-19 di Korsel Makin Mengkhawatirkan
Selama beberapa pekan terakhir saja pemerintah lebih mementingkan pemulihan ekonomi ketimbang kesehatan masyarakat. Kebijakan menjaga jarak fisik juga sudah dilonggarkan pada Oktober lalu sehingga tempat-tempat publik kembali ramai.
Padahal para ahli sudah memperingatkan kemungkinan kenaikan kasus pada saat musim dingin karena orang akan lebih banyak menghabiskan waktu di dalam ruangan. Namun, Guru Besar Pengobatan Preventif di University of College of Medicine di Incheon, Jaehun Jung, tetap optimis dan memperkirakan kasus penularan akan perlahan turun dalam dua pekan ke depan.
Untuk menekan lonjakan kasus lagi, pemerintah kembali melarang orang berkumpul hingga 3 Januari mendatang, menutup resor ski, melarang hotel menerima tamu lebih dari setengah kapasitas kamar, dan menetapkan denda bagi restoran jika mereka menerima sekelompok tamu lebih dari lima orang. Jung menilai kebijakan menjaga jarak fisik harus dipertegas sampai vaksin datang.
"Pemerintah harus melakukan apa saja untuk menjamin stok vaksin yang cukup," kata Jung.
Pemerintah Korsel berencana mengamankan 86 juta dosis vaksin tahun depan. Stok ini akan cukup untuk memvaksin sekitar 46 juta warga.
Baca juga: Korsel Catat 1.000 Kasus Baru Covid-19 Empat Hari Berturut-turut
Stok vaksin pertama yakni AstraZeneca diperkirakan akan dikirim Februari dan Maret 2021. Sekitar 60-70 persen dari 51 juta jiwa penduduk Korsel kemungkinan sudah divaksinasi semuanya pada bulan November 2021.
Percaya diri
Kepercayaan diri Korsel menangani Covid-19 ini kemungkinan karena Korsel juga pernah sukses melawan wabah MERS pada 2015. Setelah Korsel melaporkan kasus Covid-19 pertama pada 20 Januari lalu, berkat pengalaman MERS, pemerintah segera cepat melakukan tes Covid-19 massal. Jutaan alat tes diproduksi hanya dalam beberapa pekan.
Ketika kasus Covid-19 melonjak di wilayah Daegu, Februari dan Maret lalu, situasi bisa dikendalikan pada April setelah pemerintah agresif mengetes dan mengkarantina warga. Namun, kesuksesan itu diduga hanya keberuntungan karena mayoritas kasus di Daegu terkait dengan kongregasi satu gereja.
Kini, tenaga medis kesulitan melacak penularan di wilayah ibukota yang lebih padat penduduk dan klaster Covid-19 bermunculan dimana-mana.
Korsel selama ini tidak memberlakukan kebijakan karantina tetapi tampaknya sekarang mau tak mau harus lebih tegas dengan memperketat ketentuan jaga jarak fisik hingga "Tier-3". Ini berarti ratusan ribu tempat-tempat usaha harus ditutup. (AFP/AP/REUTERS/LUK)