UU Perlindungan Data Pribadi Berlaku, Yahoo Memilih Tinggalkan China
Menyusul langkah sejumlah lembaga, Yahoo memutuskan hengkang dari China. Alasannya adalah kurangnya kepercayaan kepada Pemerintah China yang memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
BEIJING, SELASA — Salah satu raksasa teknologi dari Amerika Serikat, Yahoo Inc, resmi keluar dari China pada Selasa (2/11/2021). Penyebab penghentian semua jenis layanan dari perusahaan itu ialah karena China resmi memberlakukan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi per 1 November 2021.
”Yahoo berpegang teguh pada prinsip kebebasan berinternet. Oleh karena situasi di China sudah tidak mendukung ataupun sesuai dengan nilai-nilai kebebasan, Yahoo memilih menghentikan semua kegiatan dan layanan serta keluar dari China,” kata keterangan resmi perusahaan yang bermarkas di Sunnyvale, California, itu.
Bulan lalu, situs dan aplikasi LinkedIn milik Microsoft juga memutuskan angkat kaki dari China. Raksasa-raksasa teknologi Barat hampir dua dekade ini memiliki hubungan yang rumit dengan Pemerintah China. Yahoo, Google, dan Facebook sejatinya sudah hampir satu dekade tidak bisa diakses, baik laman maupun fitur pencariannya, di China.
Pemerintah memberlakukan sensor pencarian konten, kata, dan frasa tertentu. Meskipun demikian, Yahoo dan Google masih menyediakan layanan surel, berita, dan prakiraan cuaca. Semua fitur ini sekarang sudah tidak bisa diakses dari China, kecuali jika warganet memakai jaringan pribadi virtual (VPN).
Selain penyedia jasa internet, perusahaan gim daring Epic juga menghentikan operasional gim mereka yang paling populer, Fortnite, dari China. Mereka menolak mengikuti aturan mengenai pemakaian data pengguna dan kewajiban gim sebagai alat propaganda Partai Komunis China.
Harian Washington Post dalam tajuk rencana mereka memuji keputusan perusahaan-perusahaan teknologi AS yang meninggalkan China karena tetap setia pada prinsip kebebasan berpendapat dan demokrasi.
UU ini sebenarnya mengikuti aturan perlindungan data pribadi yang dibuat oleh Uni Eropa. Permasalahannya, perusahaan-perusahaan internasional, terutama dari Barat, meragukan kredibilitas Pemerintah China menghormati ataupun menjamin tidak akan menyalahgunakan data pribadi yang dihimpun dari pihak swasta.
Ketat
UU Perlindungan Data Pribadi sejatinya telah diumumkan oleh Presiden China Xi Jinping pada 2020. Ia berniat merapikan semua data yang keluar masuk China dan memastikan tidak ada monopoli perusahaan atas data tertentu. Ketika hal itu diumumkan, para investor asing panik dan saham perusahaan-perusahaan teknologi China, seperti Alibaba dan Tencent, secara kumulatif anjlok hingga 1,3 triliun dollar AS.
”Pemerintah sudah lama merencanakan penertiban internet. Kami harus menjamin pasar yang berkeadilan untuk semua orang,” kata Menteri Industri dan Teknologi Informasi China Xiao Yaqing kepada harian nasional, Economic Daily.
UU tersebut menegaskan, perusahaan-perusahaan internet wajib menyetorkan data kepada Pemerintah China sebelum data itu dikirim keluar dari perbatasan negara. Data pribadi meliputi kode biometrik, informasi kesehatan, keuangan, agama, lokasi, dan semua jenis informasi terkait dengan warganet berusia 14 tahun ke bawah.
Data itu tidak boleh dieksploitasi ataupun dipakai lebih lama daripada kebutuhan yang ditentukan. Misalnya, ketika warganet memasukkan informasi untuk mendaftar ke situs e-dagang, perusahaan tidak boleh menyimpan informasi itu secara permanen di algoritma mereka. Setiap kali perusahaan hendak menggunakan data pribadi warganet untuk mempromosikan produk harus atas izin warganet tersebut dan izin bisa dibatalkan oleh individu kapan pun ia inginkan.
Selain itu, semua data harus disetorkan kepada pemerintah yang akan memberi jawaban diizinkan atau ditolak untuk digunakan lebih lanjut dalam kurun satu pekan hingga 60 hari. Perusahaan asing juga dilarang mengimpor data dari China. Mereka diwajibkan memiliki kantor perwakilan di China atau bekerja sama dengan perusahaan lokal yang khusus mengelola pemakaian data.
Selain perusahaan-perusahaan internet dan e-dagang, aturan ini juga berlaku untuk perusahaan reguler yang memiliki pengguna laman setidaknya 10.000 orang. Sanksi apabila melanggar aturan ialah denda, mulai dari 150.000 dollar AS atau maksimal denda 5 persen dari pendapatan tahun fiskal sebelumnya. Pada bulan April, Alibaba didenda 2,8 miliar dollar AS karena dituduh memonopoli data.
Pakar hukum perdata firma hukum internasional Pinsent Mason, Leo Xin, dalam unggahan resmi di laman firma mengatakan bahwa aturan ini masih harus dijelaskan lebih lanjut. Pemerintah China juga harus terbuka mengenai alat dan metode yang mereka pakai untuk menganalisis data yang disetor oleh perusahaan. (AP/REUTERS)