Di COP 26, Indonesia Bersama 104 Negara Sokong Penghentian Penggundulan Hutan
Indonesia sudah membuktikan komitmen soal pemeliharaan hutan, antara lain, dengan menekan kebakaran hutan hingga 82 persen pada 2020. Laju penggundulan hutan juga ditekan sehingga terendah dalam 20 tahun terakhir.
Oleh
kris mada
·4 menit baca
GLASGOW, SELASA — Indonesia bersama 104 negara mendukung upaya penghentian penggundulan hutan dan menambah pemulihan hutan pada tahun 2030. Bersama Vietnam, Indonesia menjadi wakil negara Asia Tenggara yang berkomitmen pada hal itu. Komitmen Indonesia juga diakui komunitas internasional.
Kesepakatan 105 negara tersebut dituangkan dalam ”Glasgow Leaders’ Declaration on Forests and Land Use”. Deklarasi ini akan ditandatangani pada Selasa (2/11/2021) di sela Konferensi Para Pihak (COP 26) tentang Iklim di Glasgow.
Dalam deklarasi itu, perwakilan 105 negara berkomitmen bekerja sama untuk menunda dan membalikkan kehilangan hutan dan lahan pada 2030. Pada saat bersamaan, 105 negara itu juga sepakat mewujudkan pembangunan berkelanjutan dan mendorong transformasi perdesaan.
Selain perwakilan negara, ada perwakilan lembaga-lembaga keuangan. Para pemimpin lembaga keuangan itu berjanji menghentikan pendanaan para kegiatan yang terkait atau memicu penggundulan hutan.
Sebelum Deklarasi Glasgow, ada Deklarasi New York tentang Hutan yang ditandatangani pada 2014. Kala itu, komunitas global berjanji memangkas laju penggundulan hutan tropis dan memulihkan 150 juta hektar lahan pada 2020. Seperti Deklarasi Glasgow, Deklarasi New York juga ditandatangani oleh Indonesia. Dalam laporan penerapan Deklarasi New York, Indonesia termasuk negara dengan perwujudan komitmen terbaik.
Dalam Deklarasi Glasgow, ada janji hampir 20 miliar dollar AS untuk pemulihan hutan. Sebagian akan dikucurkan ke negara-negara berkembang untuk menangani dampak kebakaran hutan dan pendampingan masyarakat adat.
Berdasarkan kesepakatan dalam Deklarasi Glasgow, sebanyak 12 negara—termasuk Inggris—berjanji mengucurkan dana 8,75 miliar poundsterling atau 12 miliar dollar AS antara tahun 2021 hingga 2025 bagi negara-negara berkembang, antara lain untuk memulihkan kembali lahan yang terdegradasi dan kebakaran lahan.
Selain itu, sedikitnya ada tambahan dana 5,3 miliar poundsterling oleh lebih dari 30 investor sektor swasta, termasuk Aviva, Schroders, dan AXA. Para investor yang mewakili pemegang aset senilai 8,7 triliun dollar AS itu juga berjanji menghentikan investasi pada aktivitas-aktivitas terkait deforestasi pada 2025.
Lima negara, termasuk Inggris dan AS, serta sekumpulan lembaga amal global, Selasa (2/11/2021), berjanji memberikan pendanaan senilai 1,7 miliar dollar AS guna mendukung masyarakat adat penjaga hutan serta memperkuat hak milik lahan mereka. Para pemerhati lingkungan mengatakan, komunitas-komunitas adat adalah penjaga terbaik atas hutan, termasuk dalam menghadapi para penebang dan perambah hutan.
Koordinator Masyarakat Adat Amazon, Tuntiak Katan, mengatakan bahwa masyarakat adat Amazon menjadi pelindung Amazon dari kerusakan. Sebab, mereka paling dirugikan apabila hutan tropis di Amerika itu rusak. ”Tanpa kami, uang dan kebijakan apa pun tidak bisa menghentikan perubahan iklim,” katanya.
Klaim Katan didasari pada fungsi hutan. Di seluruh Bumi, hutan menyimpan 831 gigaton karbon dioksida atau setara jumlah rata-rata emisi karbon dari penggunaan energi fosil dalam satu abad. Hutan juga menyerap hingga 30 persen emisi global atau sekitar 10 miliar ton per tahun. Di sisi lain, penggundulan hutan menjadi sumber hingga 16 persen emisi global.
Pendanaan
Kini, mayoritas hutan global ada di negara-negara berkembang. Pakar ilmu lingkungan pada University of Oxford, Yadvinder Malhi, mengatakan bahwa penggundulan hutan terbukti dipicu motif ekonomi. Sebagian karena lahannya dipakai untuk peternakan dan perkebunan. Sebagian lagi karena kemiskinan warga di sekitar hutan. ”Di banyak negara, orang memanfaatkan hutan demi bertahan hidup,” katanya.
Menteri Lingkungan Hidup Inggris Zac Goldsmith mengatakan, negara berkembang sangat membutuhkan kucuran dana untuk menjaga hutan. Harus ada tindakan nyata untuk memastikan hutan di negara-negara berkembang tetap ada.
Presiden Joko Widodo juga menggugat komitmen komunitas internasional soal hutan. ”Indonesia akan dapat berkontribusi lebih cepat bagi net-zero emission dunia. Pertanyaannya, seberapa besar kontribusi negara maju untuk kami? Transfer teknologi apa yang bisa diberikan? Program apa yang didukung untuk pencapaian target SDGs yang terhambat akibat pandemi?” ujarnya dalam COP 26.
Indonesia sudah membuktikan komitmen soal pemeliharaan hutan, antara lain, dengan menekan kebakaran hutan hingga 82 persen pada 2020. Laju penggundulan hutan ditekan sehingga terendah dalam 20 tahun terakhir. Pada 2010-2019, Indonesia merehabilitasi 3 juta lahan kritis. Hingga 2024, Indonesia memulihkan 600.000 hektar hutan bakau. Area pemulihan bakau Indonesia terluas dibandingkan negara-negara lain.
Secara terpisah, Direktur Eksekutif Indonesia for Global Justice (IGJ) Rachmi Hertanti mengatakan, negara maju berusaha mendiskriminasi negara berkembang lewat kedok isu lingkungan dan memanfaatkan COP 26 dan forum lainnya. Penerapan aturan pajak karbon, khususnya terkait dengan tindakan unilateral mengenai Carbon Border Adjustment Mechanism (CBAM) dari Uni Eropa, bukan solusi adil.
Sebab, CBAM adalah proteksionisme dan memicu diskriminasi. Negara-negara maju sedang mendesakkan mekanisme seperti CBAM melalui Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). ”Pemerintah Indonesia harus mendesak bahwa isu lingkungan tetap mengedepankan mekanisme multilateral di WTO dalam melaksanakan agenda pembangunan Doha,” ujar Rachmi.
Peneliti IGJ Parid Ridwanudin mengingatkan, AS dan UE adalah penghasil emisi terbesar. Pada 1751-2019, AS menghasilkan 499 miliar ton atau 25 persen emisi global. Sementara UE menghasilkan 353 miliar ton emisi karbon. Karena itu, berbahaya jika mengandalkan AS-UE untuk menyelesaikan krisis iklim. (AFP/REUTERS)