Junta militer Myanmar membuat akun-akun palsu di ruang media sosial untuk melawan kelompok-kelompok antikudeta dan junta. Ratusan tentara dikerahkan untuk menyebarkan doktrin dan pesan junta militer.
Oleh
Luki Aulia
·5 menit baca
Konflik Myanmar rupanya tidak hanya terjadi di jalanan, tetapi juga sampai ke ruang-ruang media sosial. Bahkan, lebih riuh karena saling serang dan cela antar-netizen. Untuk menutupi identitas aslinya, rupanya junta militer malah memakai akun palsu untuk mencela lawan dan menyebarkan doktrin mereka saat menggulingkan kekuasaan.
Alasan yang disebar ialah demi menyelamatkan bangsa dari kecurangan pemilu. Untuk melancarkan misinya, junta militer memakai akun-akun palsu. Langkah itu dipilih karena media sosial terbesar di Myanmar, Facebook, memblokir akses junta pascakudeta 1 Februari 2021.
Untuk mengoperasikan akun-akun palsu itu, junta militer mengerahkan ribuan tentara yang menjalankan misi ”perang informasi”. Informasi mengenai keberadaan akun palsu yang dioperasikan tentara-tentara ini berasal dari keterangan delapan ahli teknologi informasi dan empat tentara yang tak mau disebutkan namanya.
Misi media sosial dari junta militer ini bagian dari operasi propaganda militer yang lebih luas. Junta militer menghendaki agar sikap dan pandangan-pandangannya bisa disebarkan ke seluruh rakyat. Selain itu, mereka juga memantau siapa saja di dunia maya yang terdeteksi melawan junta militer. Orang-orang yang dituding melawan junta militer dipanggil pengkhianat di media sosial.
Nyi Thuta (31) yang memilih keluar dari militer dan bergabung dengan pasukan pemberontak pada akhir Februari menceritakan tentara-tentara diperintahkan untuk membuat beberapa akun palsu sekaligus serta diberikan poin-poin materi apa saja yang harus diunggah. ”Mereka juga memantau aktivitas daring dan bergabung dengan kelompok-kelompok antikudeta di dunia maya untuk melacak siapa saja yang ada di dalamnya,” ujarnya.
Thuta dulu menjadi bagian dari operasi propaganda militer dan kerap menuliskan naskah pidato untuk pemimpin junta militer, Min Aung Hlaing. Fakta adanya perang informasi yang digalang junta militer ini berkebalikan dengan pernyataan juru bicara junta militer. Pada September, di Myawaddy TV, militer menuding justru kelompok-kelompok media dan aktivis oposisi yang selama ini menyebarkan kabar bohong mengenai situasi di Myanmar.
Perang informasi junta militer ini dikoordinasikan Unit Produksi Informasi dan Hubungan Masyarakat Militer Myanmar atau lebih dikenal dengan nama Ka Ka Com yang berbasis di ibu kota Naypyidaw. Ada ratusan tentara dalam unit itu. Ka Ka Com memberikan informasi tentang seseorang kepada intelijen militer jika orang itu harus ditangkap atau dalam pengawasan. Markas pusat mengoordinasi puluhan tim kecil media sosial yang dikerahkan ke segala penjuru negeri.
Militer yang dikenal dengan nama Tatmadaw itu menggenjot perang informasi di media sosial ini sembari menekan para pengunjuk rasa. Kajian kantor berita Reuters terhadap ribuan unggahan di media sosial pada 2021 menemukan sekitar 200 tentara memakai akun palsu pada platform media sosial seperti Facebook, Youtube, Tiktok, Twitter, dan Telegram. Mereka rutin mengunggah pesan atau video yang menuding terjadi kecurangan dalam pemilu dan mengecam para pengunjuk rasa antikudeta serta menyebut mereka pengkhianat.
Banyak pesan atau video yang dikirim ke puluhan akun palsu hanya dalam hitungan menit. Aplikasi pelacak online Crowdtangle menunjukkan pesan dan video itu juga disebarkan ke kelompok-kelompok online serta kanal-kanal selebritas, tim olahraga, dan media massa Myanmar. Unggahan mereka kerap kali merujuk pada siapa saja yang menyebut junta militer sebagai ”musuh negara”, teroris, orang-orang yang sesumbar ingin menghancurkan militer, bangsa, dan agama Buddha.
Nyi Thuta dan Lin Htet Aung mengatakan, tim di militer yang bertugas mengawasi adanya potensi persoalan dilatih untuk sensitif dan waspada terhadap perbedaan pendapat di antara sesama tentara. Ini untuk mencegah pembelotan. Tim pemantau ini kerap kali dikelola tentara perempuan yang tidak ditugaskan ke medan pertempuran.
Reuters mengkaji dua kelompok di media sosial Telegram dengan ratusan tentara di dalamnya. Mereka menyebarkan identitas, foto, dan media sosial orang-orang yang dicurigai seperti mendukung militer, tetapi ternyata membelot atau melawan dan mendukung Aung San Suu Kyi.
Strategi serupa
Kelompok oposisi atau para aktivis juga menggunakan metode yang lebih kurang sama dengan junta militer. Mereka juga menduplikasi akun di media sosial Twitter dengan ratusan ribu anggota dan membuat tren tanda pagar (tagar) anti-junta.
Taktik seperti ini sebenarnya sudah biasa dilakukan oleh seluruh dunia, tetapi di Myanmar taktik itu justru sangat berpengaruh. Pasalnya, masyarakat memperoleh sebagian besar informasi justru melalui media sosial dan bukan langsung dari sumber berita media massa. Separuh populasi Myanmar juga aktif membuka Facebook.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kudeta Tatmadaw telah menewaskan 1.000 warga sipil dan memenjarakan ribuan orang. Namun, junta militer menilai jumlah itu berlebihan. Bukan hanya warga sipil yang menjadi korban, melainkan juga tentara yang dibunuh pasukan perlawanan.
Ditutup
Direktur Kebijakan Publik Asia Pasifik di Facebook Rafael Frankel mengatakan, pihaknya mendeteksi ada sekitar 98 persen ujaran kebencian di Myanmar yang dihapus dari Facebook. Dengan menutup akses Tatmadaw, orang sulit menyalahgunakan Facebook. Facebook sudah mencabut ratusan akun dan halaman yang terkait dengan tentara Myanmar sejak 2018.
Harian The New York Times, 15 Oktober 2018, pernah melaporkan tentara berada di balik akun-akun palsu yang kemudian memancing gejolak kekerasan terhadap kelompok minoritas Muslim Rohingya hingga 700.000 orang mengungsi tahun 2017. Pada waktu itu, Facebook dituding gagal menangani ujaran kebencian anti-Rohingya.
Seperti halnya Facebook, Youtube juga telah mematikan dua kanal pro-militer yang menyamar sebagai media massa dan memantau konten-konten berisi kekerasan. Tiktok juga agresif mencabut ribuan akun terkait Myanmar yang melanggar ketentuan yang sudah ditetapkan.
Facebook sebenarnya sudah dilarang digunakan sejak kudeta, tetapi tetap saja ada 20 juta orang di Myanmar yang masih aktif membuka Facebook pada Juli. Jumlah ini turun dari data pada Januari yang jumlahnya mencapai 28 juta. Banyak dari pengguna Facebook yang memanfaatkan jaringan privat virtual atau VPN supaya bisa tetap membuka Facebook.