Musyawarah dan Mufakat, Senjata Indonesia untuk Kepemimpinan G-20
Kepemimpinan Indonesia dibutuhkan untuk mendinginkan situasi di G-20. Indonesia harus bekerja keras membujuk AS dan China serta negara-negara lain untuk mau duduk bersama dan bermusyawarah.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mulai 1 Desember 2021 hingga 30 November 2022, Indonesia akan memimpin kelompok 20 negara dengan perekonomian terbesar di dunia atau G-20. Sejumlah hal bisa menjadi kekuatan Indonesia dalam menunaikan tugas ini, di antaranya budaya musyawarah mufakat yang kuat, meningkatnya demokrasi, dan bukti komitmen mengerjakan hasil konsensus G-20 sebelumnya.
”Meskipun dilanda pandemi, Indonesia terbukti tetap memiliki demokrasi dan perekonomian yang relatif stabil dibandingkan dengan negara-negara lain di dunia. Amerika Serikat dan Brasil, misalnya, saat ini menghadapi gejolak masyarakat akibat polarisasi yang lebar,” kata Kishore Mahbubani, Guru Besar Politik Universitas Nasional Singapura sekaligus pendiri Sekolah Kajian Kebijakan Lee Kuan Yew dalam webinar yang diselenggarakan Golkar Institute, Rabu (27/10/2021).
Ia menjelaskan, saat ini tantangan terbesar G-20 ialah pengelolaan yang tidak baik dan terseret ke dalam arus politik global. Persaingan politik AS dan China mengakibatkan situasi di kawasan Indo-Pasifik memanas. Mahbubani memperkirakan pada kenyataannya tidak akan sampai pada konflik terbuka mengingat semua negara di dunia kini tergantung satu sama lain, setidaknya di sektor ekonomi. AS dan China saling membutuhkan dalam skema perdagangan bebas global.
”Kepemimpinan Indonesia dibutuhkan untuk mendinginkan situasi di G-20. Apalagi Presiden Joko Widodo terkenal dengan pendekatan yang tenang, ditambah budaya musyawarah mufakat yang sangat kuat di Indonesia,” tutur Mahbubani, yang pernah menjadi diplomat Singapura selama 33 tahun ini.
Ia mengambil contoh dari pengalamannya di ASEAN ketika didirikan tahun 1967. Saat itu, negara-negara anggota saling mencurigai karena warisan konflik politik dan sosial. Akan tetapi, kepemimpinan Indonesia berhasil menyuntikkan nilai-nilai musyawarah mufakat sehingga menjadi prinsip utama ASEAN. Kecurigaan antaranggota ini perlahan surut digantikan dengan diskusi serta pengambilan konsensus.
”Ini ditambah fakta bahwa Indonesia adalah salah satu dari segelintir negara yang dekat ke AS dan dekat pula ke China. Karakteristik Indonesia ini, jika dimanfaatkan secara optimal, akan bisa membangkitkan kejayaan G-20 seperti saat membawa dunia keluar dari krisis ekonomi tahun 2008-2009,” tutur Mahbubani.
Ia menekankan fakta bahwa dalam 20 tahun terakhir, negara-negara di dunia ini tidak lagi terpisah-pisah bagaikan kapal-kapal di samudra. Sekarang, 193 negara di dunia ibaratnya kabin-kabin di dalam satu kapal yang mengarungi samudra. Jika terjadi kebakaran, bukan hanya satu kabin yang diprioritaskan, melainkan satu kapal itu yang harus diselamatkan.
Permasalahannya, banyak negara yang masih keliru dan berpendapat mereka adalah kapal yang terpisah dari kapal lain. Ini yang membuat penanganan pandemi Covid-19 sukar dilakukan karena bukannya bekerja sama, banyak negara dan justru negara maju memilih untuk mengutamakan diri sendiri.
Mahbubani mengatakan, penanganan pandemi secara efektif memerlukan setidaknya sumbangan 15 miliar dollar AS per negara. Sejatinya ini bukan angka yang mustahil karena setiap negara memiliki dana cadangan atau bisa mengalokasikan dana dari berbagai sektor yang bukan prioritas selama pandemi.
”Jika setiap negara mau menghibahkan 15 miliar dollar AS untuk pengadaan vaksin global, pandemi akan cepat ditangani. Ekonomi bisa lekas pulih dan investasi dari 15 miliar itu bisa dikembalikan hingga 200 kali lipat. Akan tetapi, dunia kekurangan kepemimpinan dan pengelolaan kepemerintahan global,” tuturnya.
Oleh sebab itu, Indonesia jangan sampai kehilangan momentum ketika memimpin G-20. Indonesia harus bekerja keras membujuk AS dan China serta negara-negara lain untuk mau duduk bersama dan bermusyawarah. Pada saat yang sama, Indonesia juga harus bisa bersikap jujur dan tegas terhadap negara-negara adidaya sehingga agenda G-20 tetap lekat kepada prioritas.
Kekuatan dari dalam
Dalam kesempatan yang berbeda, Koordinator Tim Kajian G-20 dari Pusat Penelitian Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional Emilia Yustiningrum mengatakan, Indonesia telah menunjukkan komitmen melaksanakan hasil-hasil konsensus G-20 sebelumnya. Salah satunya ialah konsensus pertemuan G-20 tahun 2014 di Brisbane, Australia. Di dalamnya dibahas mengenai pelibatan sektor swasta, perempuan, dan anak muda. Pada konteks Indonesia, sektor swasta dan perempuan sangat lekat karena mayoritas ekonomi swasta berupa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang digerakkan oleh perempuan.
Emilia menjelaskan, pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), kepemimpinan Indonesia sangat internasionalis. SBY berusaha menghadiri banyak pertemuan di tingkat kawasan ataupun global untuk memperkenalkan nama Indonesia di mata dunia.
Sebaliknya, kepemimpinan Jokowi fokus untuk membenahi dalam negeri yang turut bisa menjadi kekuatan di G-20. Hal ini karena kementerian/lembaga (K/L) sekarang memiliki cakupan kinerja yang lebih luas dan berdampak langsung di masyarakat. K/L bisa mengembangkan gagasan masing-masing yang sesuai dengan situasi lapangan, bukan menunggu perintah dari presiden.
Misalnya, untuk isu perempuan dan ekonomi digodok oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Adapun isu peningkatan ekonomi digital ditangani oleh Kementerian Koordinator Perekonomian. Demikian seterusnya dengan K/L yang lain. Semua dilakukan dengan terintegrasi, meskipun proses penerapannya tetap menghadapi berbagai tantangan.
”Identitas Indonesia sebagai negara berkembang, terletak di Asia Tenggara, berpenduduk mayoritas Muslim, memiliki keragaman suku bangsa, dan memiliki sistem demokrasi yang pesat berkembang, juga unik karena membuat setiap anggota G-20 bisa berkorelasi,” kata Emilia.
Jokowi, walaupun tidak sebanyak SBY tampil di forum global, selalu diwakili oleh menteri-menterinya. Artinya, sebagai negara, Indonesia selalu aktif di tataran dunia. Emilia melihat konsistensi Indonesia menyuarakan kesetaraan akses vaksin Covid-19 dan mitigasi krisis iklim juga menjadi preseden yang baik menuju kepemimpinan G-20.
Fokus Indonesia tetap harus membawa anggota G-20 menerapkan lima pilar, yaitu meningkatkan produktivitas ekonomi pascapandemi, membangun perekonomian yang tangguh, menjamin pembangunan inklusif dan berkelanjutan, kemitraan yang kondusif, dan kepemimpinan global serta solidaritas antarnegara.
Pada Juli 2021, dalam pertemuan para menteri keuangan G-20 di Venesia, Italia, ada gagasan agar G-20 menyisihkan dana sebesar 75 miliar dollar AS atau Rp 1.086 triliun untuk lima tahun ke depan guna menangani pandemi. Bentuknya bisa berupa setiap negara menyisihkan 15 miliar dollar AS per tahun.
Di saat yang sama, G-20 juga menyepakati bantuan vaksinasi yang dengan cara berbagi dosis. Wujudnya berupa negara-negara maju yang memiliki dosis lebih bisa memberikannya kepada negara yang membutuhkan. Akan tetapi, fakta tersebut belum diterapkan di lapangan. Laporan organisasi The People’s Vaccine menyebutkan, vaksin Covid-19 produksi Moderna, Pfizer-BioNTech, Johnson and Johnson, dan AstraZeneca 49 persen masih dialokasikan ke negara-negara maju.