Kebersamaan dalam pemulihan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dunia lebih tinggi dan berkesinambungan. Dengan begitu, tema presidensi Indonesia ”Recover Together, Recover Stronger” merupakan pesan yang relevan.
Oleh
SYACHMAN PERDYMER
·4 menit baca
Di tengah upaya global mengatasi pandemi Covid-19 dan dampaknya, Indonesia akan menjabat presidensi Group of Twenty (G-20) pada 2022 mendatang. G-20 merupakan forum kerja sama multilateral yang memimpin perekonomian dunia.
Beranggotakan 20 negara dengan produk domestik bruto (PDB) terbesar dunia, G-20 berperan strategis menentukan pemulihan ekonomi. Agenda yang ditetapkan G-20 menjadi acuan kebijakan ekonomi, termasuk oleh lembaga global, seperti Dana Moneter Internasional (IMF) dan Bank Dunia.
Keanggotaan terbatas dengan sembilan negara maju dan Uni Eropa, serta sepuluh negara yang perekonomiannya tengah bertumbuh (emerging), membuatnya efektif sekaligus representatif karena mencakup lebih dari 85 persen kekuatan ekonomi dunia dan 66 persen jumlah penduduk dunia.
Kepemimpinan G-20 terbukti mampu membawa dunia menghindari depresi ekonomi saat krisis keuangan global (global financial crisis/GFC) 2007/ 2008. Dalam forum itu, koordinasi respons stimulus fiskal-moneter yang belum pernah terjadi sebelumnya (unprecedented) mampu memulihkan kepercayaan global.
Tak hanya itu, suntikan dana kepada lembaga keuangan internasional sebesar 1,1 triliun dollar AS dan 750 miliar dollar AS kepada IMF bisa dilakukan dengan cepat untuk meredam gejolak pasar keuangan.
Presidensi Indonesia pada 2022 menghadapi tantangan pemulihan ekonomi yang berbeda dengan adanya isu kesehatan dan permasalahan ekonomi yang lebih dalam. Ekonomi dunia tercatat mengalami kontraksi sebesar 3,2 persen pada 2020, lebih dalam dari kontraksi 0,6 persen saat GFC.
”Recover Together, Recover Stronger”
Upaya pemulihan ekonomi masih diliputi oleh ketidakpastian meskipun respons kebijakan dalam skala besar telah dilakukan oleh sejumlah negara. Hal ini karena ancaman Covid-19 belum sepenuhnya bisa dikendalikan. Selain itu, terdapat risiko ketimpangan pemulihan ekonomi dan risiko exit policy kebijakan makroekonomi yang perlu diantisipasi.
Mutasi dan gelombang sebaran Covid-19 masih terjadi meskipun penanganan Covid-19 membaik. Perbaikan itu didukung oleh vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan, termasuk pembatasan mobilitas. Namun, produksi vaksin masih terbatas dengan akses yang tidak merata. Vaksinasi di negara maju telah mencapai lebih 40 persen penduduk, sementara negara emerging di kisaran 10 persen.
Ketimpangan dalam pengendalian Covid-19 berimplikasi pada pemulihan ekonomi. IMF, misalnya, menurunkan prakiraan pertumbuhan ekonomi 2021 negara emerging sebesar 0,4 persen dan menaikkan proyeksi negara maju sebesar 0,5 persen. Selain itu, adanya scarring effect dan percepatan digitalisasi ekonomi yang dapat memperlebar ketimpangan pemulihan ekonomi negara maju dan negara emerging.
Scarring effect ini adalah efek panjang pada produktivitas yang disebabkan oleh krisis, seperti halnya bekas luka. Hal ini disebabkan turunnya investasi atau disrupsi suplai, seperti penutupan usaha atau pemberhentian pekerja, yang menghilangkan akumulasi pengetahuan produksinya.
Dampak keseluruhan tergantung pada struktur ekonominya. Negara yang mengandalkan pariwisata (high contact), misalnya, akan merasakan dampak lebih signifikan. Scarring effect menurunkan output jangka menengah secara akumulatif sekitar 4 persen di negara emerging dan 1 persen di negara maju (IMF, 2021).
Percepatan digitalisasi yang dipicu oleh pandemi Covid-19 dapat memperlebar ketimpangan pemulihan antara negara-negara maju dan negara-negara emerging. Produktivitas yang meningkat akibat digitalisasi akan mendorong realokasi sumber daya pada perusahaan atau sektor ekonomi yang mampu beradaptasi, diikuti dengan penyesuaian kebutuhan keahlian pekerja.
Negara maju dengan penguasaan teknologi dan infrastrukturnya akan lebih di depan dalam proses realokasi ini dibandingkan dengan negara-negara emerging.
Pada sektor keuangan, exit policy negara maju dari kebijakan moneter akomodatif menjadi isu global yang perlu diwaspadai. Di tengah likuiditas longgar di sejumlah negara, exit policy negara maju bisa memiliki dampak yang lebih kuat pada keseimbangan di pasar keuangan internasional. Koordinasi dan komunikasi exit policy serta penguatan likuiditas global menjadi kunci untuk memitigasi risiko ini.
Negara emerging, termasuk Indonesia, berkepentingan dalam mendorong pemulihan ekonomi yang lebih seimbang, dengan mengatasi berbagai ketimpangan yang ada.
Kebersamaan dalam pemulihan akan menciptakan pertumbuhan ekonomi dunia lebih tinggi dan berkesinambungan. Dengan begitu, tema presidensi Indonesia ”Recover Together, Recover Stronger” merupakan pesan yang relevan.
Momentum Indonesia
Upaya untuk mengedepankan agenda negara-negara emerging akan menjadi tantangan tersendiri bagi presidensi Indonesia. Presidensi negara emerging selama ini belum banyak mengubah dominasi agenda negara maju. Hal itu dipengaruhi keragaman posisi negara emerging dibandingkan dengan negara maju yang solid secara tradisional dalam G-7.
Presidensi Indonesia menjadi momentum untuk memperkuat agenda negara emerging. Pemulihan dari Covid-19 berbeda dari GFC dengan agenda yang condong pada negara maju, dan membutuhkan pemulihan kepercayaan melalui reformasi keuangan yang kompleks ataupun injeksi modal. Saat ini, yang diperlukan adalah langkah konkret, seperti distribusi vaksin, reskilling pekerja, penciptaan lapangan kerja, dan reformasi sektor riil lainnya.
Setidaknya terdapat dua strategi untuk mengoptimalkan presidensi Indonesia bagi kepentingan negara emerging. Pertama, membangun soliditas negara-negara emerging, seperti yang dilakukan negara maju dalam G-7. Kedua, memperbanyak kehadiran mitra dialog dari negara-negara emerging non-anggota atau lembaga lain.
China pernah melakukannya dan sedikit lebih baik dalam mendorong agenda negara emerging pada 2016. Dengan strategi itu, presidensi Indonesia akan lebih optimal dengan legasi yang panjang.
Syachman Perdymer, Analis Senior Departemen Komunikasi Bank Indonesia