Para Menlu Matangkan Pembahasan soal Pengucilan Myanmar dari KTT ASEAN
Para menlu ASEAN akan kembali bersidang untuk menetapkan apakah Myanmar yang kini dipimpin junta militer hasil kudeta bisa diikutkan atau dikucilkan dalam KTT virtual ASEAN, 26-28 Oktober mendatang.
Oleh
Mahdi Muhammad dan Mh Samsul Hadi
·5 menit baca
KUALA LUMPUR, KAMIS — Para menteri luar negeri ASEAN akan bersidang secara virtual, Jumat (15/10/2021) besok, antara lain untuk membahas pengucilan pemimpin junta Myanmar, Jenderal Senior Min Aung Hlaing, dari konferensi tingkat tinggi ASEAN mendatang. Sejumlah negara ASEAN mengkritik keras tidak dijalankannya lima konsensus, yang ditetapkan para pemimpin ASEAN pada April lalu, dalam upaya pemulihan situasi di Myanmar.
Beberapa sumber di kalangan diplomat dan pejabat pemerintahan yang dikutip kantor berita Reuters, Kamis (14/10/2021), menyebutkan bahwa sidang virtual para menlu ASEAN itu akan diselenggarakan Brunei Darussalam, ketua ASEAN tahun ini. Juru bicara militer Myanmar, Zaw Min Tun, tidak mengangkat telepon saat akan diminta tanggapan soal rencana pertemuan menlu ASEAN tersebut. Begitu juga Kementerian Luar Negeri Brunei Darussalam.
Pekan lalu, Menlu Kedua Brunei yang juga Utusan Khusus ASEAN, Erywan Yusof, mengonfirmasi, sejumlah negara ASEAN membahas secara mendalam tentang rencana tidak mengundang pemimpin kudeta militer Myanmar pada KTT virtual ASEAN, 26-28 Oktober mendatang. Ia menyebut, tiadanya komitmen junta militer Myanmar untuk proses pemulihan krisis politik di negara itu ”seperti langkah mundur”.
Kantor Erywan tidak bersedia memberikan komentar terkait rencana sidang para menlu ASEAN, Jumat besok. Pekan ini, ia mengungkapkan, dirinya tengah berkonsultasi dengan sejumlah pihak di Myanmar. Erywan menegaskan tidak memihak dan mengambil posisi politik, serta berharap bisa berkunjung ke Myanmar.
Jubir junta Myanmar, Zaw Min Tin, dalam pernyataan tertulis tertanggal hari Rabu (13/10/2021) mengatakan, utusan khusus ASEAN tidak diperbolehkan menemui Aung San Suu Kyi, pemimpin sipil Myanmar yang digulingkan junta, karena dia berstatus terdakwa dalam beberapa kejahatan.
Myanmar, negeri dengan sejarah panjang tentang kediktatoran militer dan tuduhan pelanggaran sistematis atas hak asasi manusia (HAM) oleh masyarakat internasional, kerap menjadi isu yang merepotkan ASEAN sejak ASEAN berdiri tahun 1967. Krisis di negara tersebut sering menjadi ujian kesatuan ASEAN dan kebijakan organisasi kawasan itu terkait kebijakan tanpa campur tangan urusan negara anggotanya.
PBB, Amerika Serikat, dan China termasuk negara-negara yang mendukung langkah ASEAN mengupayakan solusi diplomatik. Namun, beberapa bulan terakhir tekanan kepada ASEAN menguat. Sebagian pengkritik menyerukan perlu ada langkah lebih keras dan tegas terhadap Myanmar.
Sejak kudeta militer pada 1 Februari lalu, menurut data PBB, lebih dari 1.100 orang tewas di Myanmar akibat tindakan represif aparat keamanan, termasuk dalam unjuk rasa pendukung pemimpin sipil Aung San Suu Kyi. Bersama Presiden Myanmar Win Myint dan para pejabat pemerintahan sipil lainnya, Suu Kyi saat ini menjalani persidangan di bawah junta dengan tuduhan melakukan sejumlah kejahatan. Mereka menolak semua tuduhan yang didakwakan.
Kesaksian Win Myint
Dalam persidangan terakhir di Zabuthiri, Naypyidaw, Selasa (12/10/2021), Win Myint mengungkapkan untuk pertama kalinya tentang peristiwa detik-detik jelang kudeta, 1 Februari lalu. Seperti sebelumnya, persidangan itu tertutup untuk publik dan juga media.
Win Myint membantah semua dakwaan yang dituduhkan kepadanya, termasuk soal menghasut massa dan rakyat Myanmar untuk melawan junta militer.
Seperti disampaikan pengacaranya, Win Myint menceritakan bahwa pada Senin (1/2/2021) dini hari itu, dirinya bersiap untuk beristirahat di kediamannya di Istana Presiden Myanmar di Naypyidaw, ibu kota Myanmar. Tiba-tiba, tanpa ada jadwal, dua jenderal memaksa masuk ke dalam kamarnya tanpa pemberitahuan.
Hari Senin itu memang akan menjadi hari baru bagi Myanmar. Menurut jadwal, para anggota parlemen baru hasil pemilihan umum, November 2020, akan melakukan sidang pertama mereka.
Win Myint tak kuasa menghindar dari kedua jenderal itu. Suasananya serba tidak mengenakkan. Tegang. Kedua jenderal itu meminta dirinya mundur dari jabatannya sebagai presiden yang telah dipegangnya selama tiga tahun dengan alasan kesehatannya memburuk.
Myint dengan tegas menolak desakan itu. Ia mengatakan, dirinya dalam kondisi segar bugar dan sehat. Kedua jenderal tersebut tidak mau menerima penjelasan Myint. Mereka pun mengancam Myint. Tindakan Myint bisa mengakibatkan masalah besar baginya, begitu ancam keduanya.
Myint bergeming. Ia bahkan menegaskan dirinya lebih baik mati ketimbang menyetujui desakan mereka.
Kedua jenderal itu pulang dengan tangan hampa. Mereka tidak berhasil mendesak Myint untuk mundur. Dan, peristiwa itu adalah awal transisi politik yang ilegal di Myanmar.
Jelang matahari terbit, para anggota militer bergerak ke seluruh negeri, membuktikan ancaman mereka kepada Myint. Sejumlah anggota militer mendatangi Myint, menahannya dan mencopotnya dari jabatannya sebagai presiden, kemudian menunjuk Wakil Presiden Myint Swe sebagai penjabat presiden.
Tak hanya menangkap, menahan, dan mencopot Myint dari posisinya sebagai presiden, militer juga mendatangi kediaman Penasihat Negara yang juga pemimpin Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), pemenang pemilu November 2020, Aung San Suu Kyi, dan Wali Kota Naypyidaw Myo Aung dan menahan keduanya.
Mereka menangkapi para pemimpin sipil, anggota parlemen terpilih, dan para menteri kabinet pemerintahan yang dipimpin Myint serta orang-orang yang kritis terhadap militer. Beberapa saat kemudian, Myint Swe menyerahkan jabatannya kepada Jenderal Senior Min Aung Hlaing, pemimpin kudeta militer. Dengan kekuasaan yang besar di genggamannya, Hlaing menetapkan status Myanmar dalam keadaan darurat hingga satu tahun ke depan.
Junta Myanmar berulang kali bersikeras menyatakan bahwa kudeta itu sah. Junta militer di bawah kendali Jenderal Hlaing itu mengklaim tindakannya adalah untuk melindungi demokrasi setelah menilai kemenangan NLD diwarnai dengan kecurangan besar-besaran selama pemungutan suara. Hingga kini, militer Myanmar tidak menunjukkan bukti-bukti yang memperkuat klaim mereka soal tuduhan kecurangan dalam pemilu.
Dalam kesaksiannya, Myint menyatakan, dirinya tidak memiliki hubungan dengan pernyataan LND yang muncul pada 7 dan 13 Februari karena dirinya telah ditahan sejak 1 Februari. Myint menilai, tuduhan terhadap dirinya tidak berdasar karena selama berada di dalam tahanan, dia tidak bisa melakukan komunikasi dengan siapa pun. Pembelaan yang sama juga dinyatakan oleh Suu Kyi.
Selama pemeriksaan dalam sidang, jaksa penuntut umum bertanya tentang organisasi perlawanan terhadap junta yang terbentuk pascakudeta. Pemerintah menyalahkan kelompok-kelompok tersebut atas kerusuhan dan kekerasan setelah pasukan keamanan menanggapi protes damai dengan kekuatan mematikan.
Pengacara Myint, Khin Maung Zaw, menyatakan kliennya tidak memiliki akses ke kelompok-kelompok tersebut karena ditahan sejak awal kudeta.
Maung Zaw mengatakan, persidangan akan berlanjut pada 26 Oktober mendatang. Pengadilan khusus juga mengadili Suu Kyi yang didakwa mengimpor walkie-talkie secara ilegal dan penggunaan radio tanpa izin, serta gagal mematuhi pembatasan pandemi selama kampanye pemilihan umum tahun lalu.
Tak hanya itu, Suu Kyi juga menghadapi tuduhan korupsi dalam persidangan terpisah yang baru-baru ini dimulai. Pelanggaran dalam kasus itu bisa berakibat hukuman penjara hingga 15 tahun. Dia akan segera diadili karena melanggar Undang-Undang Rahasia Resmi, yang diancam hukuman maksimal 14 tahun. (REUTERS/AP/AFP)