Perebutan kursi perdana menteri menjadi momentum paling ditunggu setiap pasca-pemilu di Irak. Momentum itu menjadi gambaran pertarungan AS versus Iran. Tanpa restu AS atau Iran, siapa pun sulit menjadi PM Irak.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·5 menit baca
Irak pada hari Minggu (10/10/2021) ini menggelar pemilu parlemen kelima sejak ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003. Empat pemilu parlemen di Irak sebelum ini digelar pada 2006, 2010, 2014, dan 2018. Pemilu tersebut untuk memilih 329 anggota parlemen.
Seharusnya pemilu parlemen kelima itu digelar pada Mei 2022. Namun, digelar pemilu parlemen dini pada 10 Oktober ini untuk memenuhi tuntutan dalam unjuk rasa besar-besaran di Irak pada Oktober 2019. Unjuk rasa kala itu dikenal dengan sebutan Musim Semi Arab di Irak.
Para pengunjuk rasa waktu itu menuntut digelar pemilu dini dalam upaya melahirkan elite penguasa baru yang mampu mengatasi terpuruknya sektor pelayanan publik, seperti sering terjadi krisis air, listrik, kesehatan, dan ekonomi, juga korupsi yang marak. Gerakan unjuk rasa tersebut menumbangkan Perdana Menteri (PM) Adel Abdul Mahdi, Desember 2019. Ia kemudian digantikan oleh Mustafa al-Kadhimi yang resmi menjabat PM pada Mei 2020.
Karena itu, siapa pun PM Irak mendatang mengemban tugas sangat berat. Ia harus mampu memenuhi aspirasi para pengunjuk rasa. Unjuk rasa di Irak bisa berkobar lagi setiap saat jika PM terpilih nanti mengecewakan mereka. Kadhimi selama ini dianggap sebagai perdana menteri peralihan hingga terselenggara pemilu parlemen dan dipilih PM baru sesuai dengan tuntutan para pengunjuk rasa itu.
Tugas berat PM Irak mendatang itulah yang mendorong Pemimpin Spiritual Syiah Irak Ayatollah Ali Sistani menyerukan agar rakyat Irak berbondong-bondong menggunakan hak suara dalam pemilu ini dan turut berandil membangun perubahan menuju Irak yang lebih baik. Dalam pemilu parlemen sebelum ini, tingkat partisipasi rakyat Irak cukup rendah, yakni hanya berkisar 40-50 persen.
Sejumlah pengamat Irak menyebut, rendahnya partisipasi rakyat Irak dalam pemilu merupakan bentuk kekecewaan mereka terhadap penyelenggaraan pemilu yang tidak membawa perbaikan, tetapi sebaliknya Irak semakin terpuruk.
Pertarungan sengit
Sudah menjadi tradisi politik di Irak pasca-tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003 bahwa pertarungan sengit justru terjadi pasca-pemilu, persisnya saat perebutan kursi PM. Maklum, di tangan PM otoritas eksekutif terbesar berada. Adapun presiden hanya jabatan simbolis atau kehormatan saja yang tidak memegang otoritas eksekutif.
Pasca-tumbangnya rezim Saddam Hussein tahun 2003, AS bersama pimpinan partai politik yang terbentuk di Irak saat itu sepakat membagi tiga jabatan puncak negara, yaitu kursi PM untuk kaum Syiah sebagai mayoritas di Irak, kursi presiden untuk kaum Kurdi, dan kursi ketua parlemen untuk kaum Sunni. Menurut undang-undang pemilu Irak, partai politik dapat mengajukan calon PM jika meraih kursi 50 persen plus 1 atau 165+1 kursi dari 329 kursi parlemen.
Namun, dalam empat pemilu parlemen yang lalu, tidak ada partai politik di Irak yang meraih 50 persen plus 1 suara. Maka, partai-partai politik terpaksa harus membentuk koalisi atau kaukus partai yang terdiri atas dua atau tiga partai untuk bisa mengajukan calon PM dan lalu membentuk pemerintahan.
Partai atau kaukus partai berbasis kaum Syiah selalu mendapat suara besar, mengingat mayoritas rakyat Irak adalah penganut mazhab Syiah, yakni sekitar 64 persen berbanding 34 persen penganut mazhab Sunni.
Menurut para analis politik di Irak, peta partai atau koalisi partai yang meraih suara besar pada pemilu parlemen, 10 Oktober ini, diperkirakan tidak jauh berbeda dari peta partai atau koalisi partai pada pemilu parlemen tahun 2018. Ada enam partai atau koalisi partai peraih suara atau kursi terbanyak pada pemilu tahun 2018, yaitu koalisi Saairun pimpinan Moqtada al-Sadr (54 kursi), koalisi Al-Fatah pimpinan Hadi al-Amiri (47 kursi), koalisi Al-Nasr pimpinan Haider al-Abadi (42 kursi), koalisi Negara Hukum pimpinan Nouri al-Maliki (26 kursi), koalisi Al-Wataniya (21 kursi) pimpinan Iyad Alawi, dan Gerakan Bijaksana (Hikmah) Nasional pimpinan Ammar al-Hakim (19 kursi).
Sejumlah analis politik di Irak memperkirakan, koalisi Saairun pimpinan Sadr masih akan meraih kursi terbanyak dan memiliki peluang terbesar sebagai kingmaker PM Irak mendatang. Kelemahan koalisi Saairun saat ini adalah anggota kabinet dari koalisi itu dalam pemerintahan PM Kadhimi dinilai kurang berprestasi dan bahkan ada yang dicurigai terlibat korupsi.
Kekuatan koalisi Saairun berada pada pemimpinnya, Moqtada al-Sadr, tokoh populer di Irak. Karena itu, Sadr berusaha menetralisasi citra anggota kabinet dari koalisinya yang cenderung buruk dengan menegaskan, PM Irak mendatang tak harus dari koalisi Saairun, tetapi bisa dari kalangan independen yang non-partisan.
Pernyataan Sadr itu dilontarkan dalam upaya mencari simpati partai-partai lain agar berkoalisi dengan koalisi Saairun untuk membentuk kaukus parlemen dengan kursi terbesar dan kemudian mengajukan calon PM dari kalangan independen. Kadhimi, yang berasal dari kalangan independen, bisa terpilih menjadi PM Irak pada Mei 2020 berkat dukungan kuat koalisi Saairun.
Saingan terberat koalisi Saairun adalah koalisi Al-Fatah pimpinan Hadi al-Amiri yang meraih kursi terbanyak kedua pada pemilu parlemen 2018. Dalam konteks geopolitik, koalisi Saairun dikenal mengambil posisi netral antara AS dan Iran. Sedangkan koalisi Al-Fatah dikenal pro-Iran.
Netral vs pro-Iran
Karena itu, persaingan koalisi Saairun dan koalisi al-Fatah adalah persaingan antara kubu pro Iran dan kubu netral atau kubu non pro-Iran. Dalam peta kekuatan koalisi politik di Irak, koalisi Saairun akan mudah berkoalisi dengan Al-Wataniyah pimpinan Iyad Alawi yang dikenal kontra-Iran dan koalisi Gerakan Kebijaksanaan Nasional pimpinan Ammar Hakim yang netral. Adapun koalisi Al-Fatah akan mudah berkoalisi dengan koalisi Negara Hukum pimpinan Nouri al-Maliki yang pro-Iran dan koalisi Al-Nasr pimpinan Haider al-Abadi yang pro-Iran.
Itu sebabnya, memilih PM di Irak selalu berlangsung alot karena menjelma menjadi pertarungan geopolitik, persisnya antara AS dan Iran. Terpilihnya PM Kadhimi, Mei 2020, membutuhkan waktu lima bulan setelah mundurnya PM Adel Abdul Mahdi, Desember 2019, karena terjadi tarik-menarik yang alot antara AS dan Iran serta antara kekuatan politik pro-Iran dan kontra-Iran.
Siapa pun PM Irak harus mendapat restu Teheran dan Washington DC. Tanpa restu dari dua ibu kota itu, siapa pun sulit menjadi PM Irak.
Tidak menutup kemungkinan jika koalisi Saairun berhasil membentuk kaukus parlemen terbesar pasca-pemilu 10 Oktober ini, koalisi itu akan mendukung lagi Kadhimi sebagai PM Irak mendatang. Namun, sebaliknya, jika koalisi Al-Fatah yang berhasil membentuk kaukus parlemen dengan kursi terbanyak, hampir dipastikan Kadhimi tak akan ditunjuk lagi sebagai PM Irak mendatang.
Kubu pro-Iran di Irak sangat kecewa kepada Kadhimi karena selama menjabat PM, Kadhimi dinilai telah menggiring Irak lebih dekat ke dunia Arab. Seperti dimaklumi, Khadimi menggagas digelarnya KTT segitiga Irak, Mesir, dan Jordania pada 27 Juni lalu di Baghdad. KTT itu disebut sebagai pintu kembalinya Irak ke pangkuan dunia Arab.
Kubu pro-Iran juga marah kepada Kadhimi karena ia sering mengangkat isu korupsi yang selama ini dikenal banyak melibatkan elite politik Syiah yang paling banyak mendapat jabatan di pemerintahan. Kadhimi dan Presiden Irak Barham Salih menggagas digelarnya KTT internasional pada 15 dan 16 September lalu di Baghdad untuk mencari cara mengembalikan uang negara Irak yang dikorupsi dan dibawa kabur ke luar negeri.