Gelombang Musim Semi Merambah Irak
Arus dan gelora perubahan mulai mengarah ke Baghdad. Irak perlahan mengikuti jejak Aljazair dan Sudan, sebagai bagian dari rangkaian negara Arab yang dilanda gelombang Musim Semi Arab babak kedua pada 2019 ini.
Publik dan Pemerintah Irak, serta publik Arab, kini tiba-tiba dikejutkan dengan gelombang aksi unjuk rasa di Irak yang dimulai sejak Selasa (1/10/2019) di ibu kota Baghdad, yang dengan cepat merambah ke 10 provinsi di Irak selatan dan barat daya yang dikenal berpenduduk mayoritas Syiah. Hingga Sabtu (5/10), setidaknya jatuh korban tewas sebanyak 93 orang dan 4.000 lainnya mengalami luka-luka.
Munculnya nama gelombang Musim Semi Arab babak kedua itu merujuk pada gelombang Musim Semi Arab tahun 2011—kemudian disebut Musim Semi Arab babak pertama—yang melanda beberapa negara Arab saat itu dan berhasil menumbangkan rezim diktator di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman, serta meletupkan perang saudara di Suriah.
Gelombang Musim Semi Arab babak kedua kali ini juga telah berhasil menumbangkan rezim Presiden Abdelaziz Bouteflika di Aljazair pada 2 April 2019 dan rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir di Sudan pada 11 April 2019.
Gelombang aksi unjuk rasa di Irak saat ini tentu menjadi tantangan berat terhadap sistem politik negara itu yang lahir dari puing-puing ambruknya rezim Saddam Hussein pada 2003, yakni sistem politik yang bersandar pada model pembagian kekuasaan menurut mazhab agama (Syiah dan Sunni) dan etnis (Arab dan Kurdi).
Baca juga: Irak Hadapi Krisis Paling Serius Pasca-NIIS
Pucuk kekuasaan di Irak terbagi antara presiden, perdana menteri (PM), dan ketua parlemen. Syiah biasanya menduduki kursi PM, Kurdi mengampu jabatan presiden, dan Sunni menjabat ketua parlemen.
Sistem parlementer yang diterapkan di Irak pasca-era Saddam Hussein menempatkan kaum Syiah yang mendapat jabatan PM menjadi pemegang kekuasaan terbesar di Irak. Presiden hanya jabatan simbolis belaka.
Hal itu merujuk pada komposisi penduduk Irak, dengan Syiah sebagai mayoritas, yakni sekitar 16 juta dari 37 juta penduduk Irak, disusul Sunni 10 juta, dan Kurdi 5 juta. Sisanya etnis lain, seperti Turkmen, Armenia, dan Yazidi.
Namun, sistem politik baru tersebut dianggap gagal mewujudkan keamanan dan kesejahteraan di Irak.
Sistem politik baru di Irak dianggap gagal mewujudkan keamanan dan kesejahteraan di negara tersebut.
Kaum Sunni melalui Tanzim al-Qaeda dan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) melancarkan perlawanan terhadap pemerintah pusat di Baghdad. Sementara itu, kaum Syiah sering berunjuk rasa, memprotes gagalnya Baghdad mewujudkan kemakmuran.
Satu hal yang mengejutkan dan untuk pertama kalinya terjadi di Irak sejak ambruknya rezim Saddam Hussein tahun 2003 adalah gelombang besar aksi unjuk rasa sejak Selasa lalu.
Baca juga: Unjuk Rasa Dipicu Masalah Ekonomi
Spontan
Aksi itu mandiri, tanpa pemimpin atau organisasi yang menggerakkan. Sebelum ini, semua aksi unjuk rasa di Irak sering disponsori kekuatan politik tertentu.
Pola gerakan aksi unjuk rasa kali ini sangat mirip dengan gelombang aksi unjuk rasa di sejumlah negara Arab pada 2011, yaitu meletup secara spontan tanpa pemimpin dan organisasi. Misi gerakannya juga sama, yaitu mengangkat isu sosial dan ekonomi, lalu berujung menuntut jatuhnya rezim.
Isu sosial dan ekonomi yang digemakan para pengunjuk rasa antara lain memburuknya kondisi ekonomi, meningkatnya jumlah pengangguran, dan korupsi yang makin merajalela di semua lini pemerintahan.
Unjuk rasa di Irak kali ini sangat mirip dengan gelombang aksi unjuk rasa di sejumlah negara Arab pada 2011, yaitu meletup secara spontan tanpa pemimpin dan organisasi, mengangkat isu sosial dan ekonomi, lalu berujung menuntut jatuhnya rezim.
Para pengunjuk rasa sebagian besar berusia 17 tahun hingga 29 tahun. Mereka adalah generasi milenial yang masih belia ketika rezim Saddam Hussein jatuh pada 2003. Mereka, saat ini, melihat kehidupan sangat sulit.
Apa yang mereka lakukan saat ini adalah pemberontakan generasi baru Irak terhadap proses politik di negeri itu, yang selama 16 tahun terakhir dinilai hanya membawa kesengsaraan terhadap mereka.
Baca juga: Belajar dari Kegagalan Musim Semi Arab 2011
Media sosial di Irak menyebut aksi unjuk rasa kali ini adalah pertarungan antara rakyat tertindas dan kaukus partai- partai politik yang hanya menciptakan sistem oligarki dan eksklusif.
Menurut lembaga transparansi internasional, sejak ambruknya rezim Saddam Hussein pada 2003, telah lenyap dana sebanyak 450 miliar dollar AS dari kas negara Irak.
Panik
Pemerintah Irak tampak cukup panik menghadapi aksi unjuk rasa tanpa pemimpin itu. Hanya 48 jam dari meletusnya aksi unjuk rasa, PM Irak Adil Abdul Mahdi, Kamis, terpaksa menerapkan larangan keluar rumah di kota Baghdad mulai pukul 05.00 waktu setempat sampai waktu tidak ditentukan guna meredam aksi unjuk rasa.
Aparat keamanan selain menggunakan gas air mata, juga melepaskan tembakan ke udara untuk membendung gerak para pengunjuk rasa. Aparat keamanan menutup semua akses menuju pusat kota di Baghdad.
PM Abdul Mahdi menawarkan dialog dengan para pengunjuk rasa untuk membahas tuntutan mereka.
Pemimpin tertinggi Syiah di Irak, Ayatollah Ali Sistani, pun ikut turun tangan dengan menyerukan dilakukan reformasi hakiki di Irak. Ali Sistani meminta Pemerintah Irak segera memperbaiki kualitas pelayanan umum, menciptakan lapangan kerja, dan menghindari praktik nepotisme.
Jalan keluar
Bagaimana solusi Irak ke depan? Pada hari Rabu lalu digelar dialog terbatas di Chatham House—London tentang masa depan Irak yang melibatkan tiga elite Irak, yaitu Diya al-Asadi yang merupakan penasihat politik tokoh muda Irak, Moqtada Al-Sadr, dan Laith Kubba yang merupakan penasihat politik PM Adil Abdul Mahdi, serta Karim Sinjari yang menjabat penasihat politik Presiden Wilayah Kurdistan Irak.
Al-Asadi mengakui, korupsi dengan masif menyebar di tubuh birokrasi pemerintahan di Irak. Situasi itu memicu rakyat Irak bangkit melawan budaya korupsi tersebut.
Ia juga mengakui, kelemahan Irak saat ini yaitu terlalu banyak negara yang ”leluasa” mengintervensi urusan dalam negeri Irak sehingga negara itu menjadi ajang pertarungan kekuatan regional dan internasional, seperti Amerika Serikat, Iran, dan negara Arab Teluk.
Adapun menurut Laith Kubba, pemerintah pusat Irak di Baghdad sangat lemah sehingga muncul kekuatan-kekuatan milisi di sejumlah wilayah di Irak. Ia menegaskan, tantangan terberat Irak ke depan adalah membangun pemerintah pusat yang kuat, yang legitimasinya diakui di seluruh wilayah Irak.
Karim Sinjari berpendapat, masa depan Irak masih sangat sulit. Menjawab hal itu, menurut dia, rakyat Irak dari berbagai latar belakang etnis, mazhab agama, dan ideologi harus melakukan rekonsiliasi sehingga mereka lebih merasa sebagai bangsa Irak daripada sebagai warga dengan identitas etnis atau mazhab agama.