ASEAN Pertimbangkan Kucilkan Junta Militer Myanmar
Negara-negara ASEAN bersiap mengucilkan Myanmar setelah junta militer tidak kunjung merespons lima poin konsensus yang disepakati April lalu. Malaysia bahkan siap berbicara dengan Pemerintah Persatuan Nasional.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
BANDAR SERI BEGAWAN, RABU — ASEAN tengah mempertimbangkan tidak mengundang pemimpin junta militer, Jenderal Senior Ming Aung Hlaing, dalam Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN pada 26-28 Oktober 2021. Ini didasarkan pada sikap junta militer Myanmar yang tidak kunjung merealisasikan lima poin konsensus ASEAN sebagaimana telah disepakati pada pertemuan di Jakarta, April.
Situasi di lapangan, bahkan, menunjukkan kemunduran. Perang saudara, misalnya, semakin berkecamuk dan memakan korban. Padahal semangat lima konsensus itu adalah mencapai perdamaian bagi rakyat Myanmar.
”Hingga hari ini, belum ada kemajuan pelaksanaan lima poin hasil musyawarah mufakat. Hal ini menimbulkan kekhawatiran,” kata Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, Erywan Yusof, Rabu (6/10/2021).
Pertimbangan untuk tidak mengundang pimpinan junta militer Myanmar tersebut datang dari Malaysia dan beberapa negara anggota ASEAN lainnya pada pertemuan persiapan KTT, 4 Oktober. Pertemuan virtual itu dihadiri oleh 10 menteri luar negeri ASEAN.
Malaysia dikabarkan menjadi negara anggota yang paling vokal menyuarakan ketidakpatuhan junta militer Myanmar terhadap lima poin konsensus ASEAN. Lima poin itu mencakup penghentian segera kekerasan di Myanmar, perlunya dialog konstruktif menuju solusi damai, penunjukan utusan khusus sebagai mediator dialog, bantuan kemanusiaan, dan kunjungan utusan khusus dan delegasi ASEAN ke Myanmar.
Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah, melalui akun Twitternya, menyuarakan kemungkinan tidak diundangnya Jenderal Hlaing pada KTT ASEAN nanti. ”Tanpa kemajuan, akan sulit untuk Ketua SAC hadir di KTT ASEAN,” cuitnya.
Saifuddin mengulangi pernyataannya itu di hadapan parlemen, Rabu (6/10/2021). Dia juga mengatakan, Utusan Khusus ASEAN akan melakukan apa pun yang mungkin secara manusiawi untuk membuat kemajuan pada peta jalan penyelesaian konflik di Myanmar.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi juga mengakui bahwa sampai sekarang tidak ada kemajuan yang signifikan. Junta militer tidak memberikan respons positif terhadap lima poin konsensus dan upaya yang telah dijalani oleh Erywan.
”Sebagian besar anggota menyatakan kecewa. Beberapa negara menyatakan bahwa ASEAN tidak dapat bertindak biasa-biasa saja melihat perkembangan ini,” katanya.
ASEAN menerima kritik dari rakyat Myanmar dan kolega-kolega internasionalnya atas kelambanan merespons krisis Myanmar. Para pemimpin ASEAN baru berkumpul dan mengambil sikap pada April atau selang tiga bulan setelah kudeta militer menggulingkan pemerintahan sipil, 1 Februari.
Penerimaan ASEAN pada Jenderal Hlaing di Sekretariat ASEAN di Jakarta juga menuai kritik banyak pihak. Sebab, hal itu menjadi legitimasi terhadap junta militer Myanmar.
Saifuddin, dikutip dari kantor berita Bernama, juga menyatakan, Pemerintah Malaysia siap mengadakan pembicaraan dengan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) bentukan Aung San Suu Kyi bila junta tidak merespons ASEAN.
Juru Bicara junta, Zaw Min Tun, pekan lalu, menyatakan, Myanmar mau bekerja sama dengan ASEAN tanpa mengorbankan kedaulatan negara. Dia juga mengatakan, akan sangat sulit bagi utusan khusus ASEAN untuk melakukan pembicaraan dengan orang-orang yang tengah diadili oleh rezim.
Ini merujuk pada Aung San Suu Kyi, pejabat pemerintah yang digulingkan militer, dan para petinggi Liga Nasional Demokrasi yang oleh junta dicap sebagai organisasi teroris. Junta, menurut dia, terbuka untuk pertemuan dengan ”organisasi resmi”, bukan sebaliknya.
Tidak mengikutsertakan Myanmar dalam KTT ASEAN akan menjadi sebuah keputusan besar bagi ASEAN. Selama ini, ASEAN dinilai terjerat prinsip tidak mencampuri urusan dalam negeri anggotanya sehingga terbatas dalam membantu mengatasi krisis di Myanmar. Hambatan lainnya adalah prinsip pengambilan keputusan dalam bentuk konsensus, yakni memilih keterlibatan daripada konfrontasi dengan negara anggota.
Erywan mengatakan, junta tidak secara langsung menanggapi permintaannya untuk bertemu Suu Kyi. Junta juga tidak memberi tanggapan usulan programmya untuk mengunjungi Myanmar.
Juru Bicara Pemerintahan Persatuan Nasional, Dr Sasa, dikutip dari laman The Irrawady, mengatakan, delapan bulan setelah kudeta terjadi, mereka masih terus mendesak dunia internasional melakukan tindakan tegas terhadap junta. Ia juga berharap dunia internasional mengakui Pemerintahan Persatuan Nasional sebagai Pemerintah Myanmar yang sah.
Dia mengatakan, kepemimpinan Pemerintahan Persatuan Nasional didasarkan pada hasil pemilu November 2020 yang dimenangi LND. Sasa juga mengklaim bahwa Majelis Umum PBB telah mengakui Pemerintahan Persatuan Nasional sebagai pemerintahan Myanmar yang sah.
”Pemerintahan Persatuan Nasional perlu diakui secara internasional sesegera mungkin. Hanya dengan mengenali, mengakui kami, kebutuhan dasar masyarakat dapat terpenuhi,” katanya.
Pemerintah Persatuan Nasional dan rakyat Myanmar yang mendukung koalisi itu, menurut Sasa, masih terus mengupayakan delegitimasi junta dengan beberapa strategi. Di antaranya dengan memotong aliran keuangan ke kantong junta dan para pemimpinnya.
Cara lainnya dengan menghentikan pasokan bahan bakar dan persenjataan. Ada pula upaya untuk menghentikan upaya diplomatik yang dilakukan ASEAN dan junta serta mendelegitimasi junta militer.
Dr Sasa, yang juga merupakan Menteri Kerja Sama Internasional Pemerintah Persatuan Nasional, mengatakan, dalam pemahaman para pendukung koalisi saat ini, jika gerakan demokrasi atau yang mereka sebut sebagai Revolusi Musim Semi ini tidak berhasil, tidak ada masa depan bagi rakyat Myanmar dan juga kelompok etnis di negara itu yang telah teraniaya oleh militer selama lebih dari separuh abad.
”Semua kelompok etnis juga memahami itu. Kami punya pilihan. Kami akan mengakhiri kekuasaan militer. Kemudian, kami akan membangun demokrasi federal,” katanya. (AFP/REUTERS)