Sebagai hub untuk Timur Tengah, Afrika, dan Asia, Uni Emirat Arab merupakan pasar potensial bagi produk-produk Indonesia. Peluang itu menjadi tantangan bagi produsen Indonesia.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
Indonesia harus meningkatkan daya saing di pasar Uni Emirat Arab dalam upaya meningkatkan neraca perdagangan kedua negara. UEA adalah negara yang sangat terbuka terhadap produk dari mana pun, termasuk Indonesia, karena UEA merupakan negara hub yang mengekspor kembali produk yang diimpor dari mancanegara.
Neraca perdagangan Indonesia-UEA tahun 2020 tercatat 2,92 miliar dollar AS, menurun dibandingkan pada 2019 yang mencapai 3,65 miliar dollar AS.
”Dubai adalah hub untuk Asia, Timur Tengah, dan Afrika. Namun, margin kecil di Dubai karena persaingan tinggi. Apa saja bisa dijual di Dubai, asalkan harga dan kualitas bersaing. Maka, perlu ada pembinaan terhadap pengusaha dan produk Indonesia, khususnya UMKM, agar bisa bersaing di Dubai,” ujar Dubes RI untuk UEA Husin Bagis dalam wawancara secara daring dengan Kompas pada Kamis (23/9/2021).
Menurut Husin, ada beberapa langkah kebijakan dalam upaya meningkatkan neraca perdagangan Indonesia-UEA ke depan. Pertama, melalui jalur Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-UEA (Indonesia-United Arab Emirates Comprehensive Economic Partnership Agreement/IUAE-CEPA) yang sekarang dalam proses perundingan. Ditargetkan, pada November 2022, CEPA itu rampung dan ditandatangani.
Jika CEPA telah disepakati, diharapkan ada peningkatan perdagangan Indonesia-UEA dua hingga tiga kali lipat dari neraca perdagangan sekarang. Manfaat dari CEPA, di antaranya tarif pajak bisa lebih rendah dan bisa berandil meningkatkan daya saing produk Indonesia.
Potensi lain adalah keikutsertaan dalam Dubai Expo yang digelar mulai 1 Oktober 2021 hingga 31 Maret 2022. Dubai Expo menargetkan kunjungan 25 juta orang selama 6 bulan. Keikutsertaan itu menargetkan menjaring 2,5 juta orang yang berkunjung ke paviliun Indonesia.
Selain neraca perdagangan Indonesia-UEA yang masih perlu ditingkatkan, investasi UEA di Indonesia relatif masih kecil, yakni sekitar 250 juta dollar AS.
Terkait hal itu, Husin mengatakan, UEA telah meminta Indonesia membentuk otoritas investasi Indonesia agar lebih banyak investasi masuk ke Indonesia, seperti Abu Dhabi memiliki Otoritas Investasi Abu Dhabi (ADIA). Permintaan itu ditanggapi dengan pembentukan Indonesia Investment Authority (INA).
”Dengan terbentuknya INA, Indonesia lebih dipercaya dunia. INA pun akan bekerja sama dengan ADIA. Dana investasi 10 miliar dollar AS dari Abu Dhabi nanti akan dikelola oleh INA,” ujar Dubes Husin Bagis.
Kedekatan
Husin optimistis hubungan Indonesia-UEA ke depan bisa berkembang pesat. Apalagi saat ini terjalin hubungan dekat antara Presiden RI Joko Widodo dan Putra Mahkota Abu Dhabi Mohammed bin Zayed (MBZ).
MBZ pernah berkunjung ke Bogor pada Juli 2019. Lalu, pada Januari 2020 Jokowi mengunjungi Abu Dhabi. Kedekatan itu mengerucut pada komitmen MBZ untuk mengucurkan investasi hingga 10 miliar dollar AS di Indonesia. Tak hanya itu, MBZ juga memberi tanah seluas 6.000 meter persegi di area kedutaan di Abu Dhabi untuk membangun kantor Kedubes RI yang direncanakan selesai pada Agustus 2022.
Di Solo, MBZ membangun masjid dengan nama Masjid Raya Sheikh Zayed dengan daya tampung sekitar 10.000 anggota jemaah. Ditargetkan pembangunan masjid itu selesai pada Agustus 2022. MBZ juga memberi nama sebuah jalan di Abu Dhabi dengan nama Joko Widodo.
Dekat jalan itu ada masjid kecil yang juga diberi nama Masjid Joko Widodo dengan daya tampung 3.000 anggota jemaah. Sebaliknya, Presiden Jokowi juga memberi nama sebuah jalan layang di Jakarta dengan nama MBZ.
Selain ekonomi, Husin juga mengemukakan, Indonesia-UEA juga menjalin kerja sama terkait imam masjid. ”Sekarang sudah ada 10 imam masjid dari Indonesia di UEA. Kita tahun ini merencanakan bisa mengirim 100 imam masjid ke UEA dengan gaji sekitar Rp 20 juta per bulan dan tahun depan akan mengirim 100 imam masjid lagi melalui kerja sama dengan Kemenag RI,” kata Husin.