Meski Tuai Kritik, Pileg Pertama di Qatar Tebar Optimisme
Qatar menggelar pemilu untuk memilih anggota legislatif. Tak satu pun kandidat perempuan terpilih. Meskipun dikritik karena sifatnya yang eksklusif, pemilu itu dilihat sebagai awal yang baik bagi demokratisasi Qatar.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
DOHA, MINGGU — Qatar menggelar pemilihan umum legislatif atau pileg pertama dalam sejarah negeri itu pada hari Sabtu (2/10/2021). Tidak seorang pun dari 26 perempuan kandidat terpilih dan pileg itu juga didera kritik terkait inklusivitasnya. Akan tetapi, di saat yang sama semua pihak mengakui ini adalah babak baru Qatar dan tetap optimistis keadaan akan semakin membaik seiring berjalannya waktu.
Pemilu ini untuk memilih 30 dari anggota Dewan Syura. Adapun 15 anggota sisanya ditunjuk langsung oleh Emir Qatar Tamim bin Hamad Al-Thani. Dewan Syura merupakan badan legislatif negara kaya minyak di Timur Tengah itu. Mereka memiliki kewenangan mengesahkan kebijakan dan anggaran pemerintah secara umum. Akan tetapi, Dewan Syura tidak berhak ikut campur dalam pengambilan kebijakan ekonomi, investasi, pertahanan, dan keamanan.
Dari 233 caleg, 26 di antaranya adalah perempuan. Ini juga yang pertama kali dalam sejarah Qatar. Perempuan di negara ini relatif independen seperti sudah mengenyam pendidikan tinggi, bisa bekerja dan berkarier, serta bisa menyetir kendaraan sendiri.
Di saat yang sama, perempuan masih terkungkung di bawah aturan perwalian. Perempuan masih harus meminta izin laki-laki yang menjadi walinya untuk menikah, bepergian ke luar negeri, dan mengakses layanan kesehatan reproduksi seperti menemui dokter kandungan ataupun mengikuti program keluarga berencana.
Mayoritas perempuan caleg mengangkat isu perwalian itu ke dalam kampanye mereka. ”Kemerdekaan atas layanan kesehatan itu sama pentingnya dengan akses pendidikan. Meskipun saya tidak terpilih, saya tidak akan menyerah mengadvokasikan soal ini,” kata Aisha Hamam Al-Jasim (59), seorang pengelola fasilitas kesehatan yang menjadi caleg dari Distrik Makhiya.
Optimisme serupa juga dikemukakan oleh Almaha al-Majid (34). Ia juga perempuan caleg yang tidak terpilih. Isu yang diperjuangkan oleh Almaha adalah akses bagi perempuan Qatar untuk tetap memiliki kewarganegaraan Qatar apabila menikah dengan laki-laki asing. Akses ini juga mencakup anak-anak yang lahir dari pernikahan campur itu tetap bisa menerima hak subsidi dari Pemerintah Qatar.
”Ini permulaan dari perjuangan. Perempuan bisa mengikuti pemilu akan membuka pintu di sektor-sektor lain,” kata Al-Majid.
Qatar baru memiliki satu perempuan yang menjabat di pemerintah, yaitu Menteri Kesehatan Masyarakat Hanan Mohamed Al-Kuwari. Jabatan itu diberikan kepadanya oleh Emir. Pencalonan 26 perempuan di pileg itu bukan tanpa rintangan. Mayoritas laki-laki mengatakan sah-sah saja perempuan ikut dalam kancah politik, tetapi tugas utama mereka tetap kepada keluarga. Bagi para perempuan caleg, ini dianggap sebagai kesempatan untuk melakukan pendidikan pengarusutamaan jender.
Belum inklusif
Selain masih menjadi tantangan, bagi perempuan, pileg Qatar juga belum inklusif untuk semua anggota masyarakat. Qatar memiliki penduduk 2,1 juta jiwa. Akan tetapi, warga negara asli Qatar hanya 313.000 jiwa, sisanya adalah ekspatriat maupun tenaga kerja asing.
Dari 313.000 jiwa itu, yang bisa memilih dan dipilih dalam pileg hanya keturunan dari suku-suku yang terdaftar dalam pakta pendirian Qatar di tahun 1934. Qatar sebelumnya merupakan wilayah kekuasaan Inggris dan terdiri dari berbagai suku. Pemimpin secara de facto ialah Abdullah al-Thani yang menjadi emir pertama di tahun 1934 setelah Inggris mengakui Qatar sebagai negara merdeka.
Suku Al-Murrah, misalnya, adalah suku asli Qatar. Akan tetapi, mereka tidak berhak mencalonkan diri ataupun memilih di dalam pemilu karena nenek moyang mereka tidak mendukung pakta tahun 1934 itu. Suku ini tidak terdaftar di dalam pakta walaupun kenyataannya mereka diakui sebagai warga negara Qatar. Oleh sebab itu, banyak pihak mengkritik pemilu ini hanya pencitraan untuk menunjukkan seolah Qatar percaya dan menerapkan demokrasi. Tujuan utamanya, diduga, agar Qatar bisa menjadi Tuan Rumah Piala Dunia 2022.
Pengamat politik Timur Tengah dari King’s College, Inggris, Andreas Krieg menilai ini wajar bagi negara yang baru memasuki sistem demokrasi. ”Praktik primordialisme masih sangat terasa karena kandidat yang mengetahui akan kalah segera mengumumkan dukungan kepada kandidat yang kuat dan mengajak pendukung mereka juga berbuat demikian,” ujarnya. (AFP/REUTERS)