Sekjen PBB Isyaratkan ASEAN Lamban Atasi Isu Myanmar, Dunia Perlu Bertindak
Sekjen PBB Antonio Guterres mengisyaratkan, ASEAN bergerak sangat lambat dalam menangani krisis Myannmar. Dia merasa sudah waktunya masyarakat internasional mengambil tindakan lebih tegas dan terkoordinasi pada Myanmar.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
NEW YORK, KAMIS —Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres memperingatkan, krisis Myanmar berpotensi menjadi konflik skala besar dan malapetaka multidimensi di jantung Asia Tenggara dan sekitarnya. Dia menyerukan kepada negara-negara ASEAN dan global untuk melakukan tindakan terkoordinasi guna mencegah potensi efek domino dari krisis di negara yang dikuasai junta militer itu.
Guterres memperingatkan hal tersebut dalam laporannya kepada Majelis Umum PBB di New York, Rabu (29/9/2021) waktu setempat atau Kamis (30/9/2021) pagi WIB. Upaya junta militer untuk terus memperkuat kekuasaannya di Myanmar, kata dia, harus dicegah. Negara-negara Asia Tenggara dan internasional harus berupaya membantu mengembalikan Myanmar ke jalan menuju reformasi demokrasi.
Guterres menyambut baik penunjukan Menteri Luar Negeri Kedua Brunei Darussalam Erywan Yusof sebagai Utusan Khusus ASEAN untuk Myanmar, awal Agustus lalu. PBB telah mendukung penuh konsensus lima poin yang diadopsi 10 negara anggota ASEAN, termasuk Myanmar, yang menyerukan, antara lain, penghentian kekerasan, dialog konstruktif, dan bantuan kemanusiaan ke Myamar.
Dalam seruannya, Guterres meminta ASEAN melakukan ”implementasi tepat waktu dan komprehensif atas konsensus lima poin untuk memfasilitasi solusi damai” di Myanmar. Dia mendorong ASEAN bekerja dengan Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener.
Seruan Guterres itu kuat mengisyaratkan bahwa ASEAN sebenarnya telah bergerak sangat lambat dalam menangani krisis Myanmar. Itu sebabnya dia merasa sudah waktunya mengambil tindakan internasional yang lebih luas. ”Penting untuk mendukung aspirasi demokrasi rakyat Myanmar,” kata Guterres.
”Risiko konflik bersenjata skala besar membutuhkan pendekatan kolektif untuk mencegah terjadinya bencana multidimensi di jantung Asia Tenggara dan sekitarnya,” kata Sekjen PBB itu.
”Implikasi (tindakan) kemanusiaan yang serius, termasuk ketahanan pangan yang telah memburuk dengan cepat, peningkatan perpindahan warga secara massal, dan lemahnya sistem kesehatan masyarakat yang diperparah oleh penularan baru Covid-19, itu semua memerlukan pendekatan terkoordinasi yang saling melengkapi dengan aktor regional,” ujarnya.
Seruan bagi Asia Tenggara
Menurut Guterres, sangat penting untuk memulihkan tatanan konstitusional Myanmar dan menegakkan kembali hasil pemilu November 2020. Dia menyarankan negara-negara tetangga di Asia Tenggara dapat memanfaatkan pengaruhnya atas junta untuk ”menghormati kehendak rakyat dan bertindak demi kepentingan perdamaian dan stabilitas yang lebih besar di negara itu dan kawasan”.
Upaya internasional dan regional itu harus disertai dengan pembebasan segera pemimpin sipil Aung San Suu Kyi, Presiden Win Myint, dan pejabat pemerintah lainnya. Selain itu, juga pemulihan akses dan bantuan kemanusiaan segera, terutama kepada komunitas yang rentan, termasuk 600.000 Muslim Rohingya di Rakhine utara dan lebih dari 700.000 warga Rohingya yang melarikan diri dari tekanan kekerasan militer ke Bangladesh tahun 2017.
Junta militer Myanmar pada 1 Februari 2021 mengudeta pemerintahan sipil Aung San Suu Kyi yang terpilih secara demokratis. Pemimpin de facto Myanmar itu bersama Presiden Win Mint kemudian dikenai tahanan rumah. Junta mendakwa Suu Kyi telah melakukan sejumlah tindak pidana, termasuk pelanggaran protokol Covid-19 dan kepemilikan 6 peralatan walkie talkie secara ilegal.
Alasan utama junta militer menggulingkan Suu Kyi adalah tuduhan adanya kecurangan pemilu yang membuat partai Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD) memenangi pemilu, November 2020. Kudeta militer memicu gelombang protes yang luas yang direspons dengan kekerasan senjata oleh pasukan keamanan junta.
Komisioner Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Michelle Bachelet dan kelompok prodemokrasi menyebutkan, kekerasan senjata junta menewaskan lebih dari 1.100 orang.
Menurut laporan Guterres, sejak perampasan kekuasaan sipil oleh junta, pasukan keamanan telah terlibat dalam ”penindasan brutal” secara luas, terutama terhadap mereka yang memprotes penggulingan Suu Kyi, memicu krisis politik dengan implikasi luas bagi kawasan, dan melakukan pelanggaran HAM berat.
”Mereka yang menyatakan penentangan terhadap junta dan bergabung dengan gerakan demokrasi, serta kerabat dan rekan mereka, telah menjadi sasaran pembunuhan dan penahanan sewenang-wenang, penghilangan, penggerebekan malam, intimidasi dan penyiksaan,” kata Guterres.
”Ada banyak laporan tentang kekerasan seksual dan berbasis jender oleh pasukan keamanan,” katanya lagi.
Guterres mengatakan, antara 1 Februari dan akhir Juli, setidaknya ada 150 peristiwa di mana pasukan keamanan dilaporkan menggunakan kekuatan mematikan terhadap pengunjuk rasa yang tidak bersenjata.
Pelajar dan guru juga telah menjadi sasaran utama penindasan. Laporan oleh Federasi Guru Myanmar menyebutkan bahwa setidaknya 70 siswa dan lima guru telah dibunuh oleh junta.
Selain itu, 775 siswa dan 76 guru telah ditahan. Lebih dari 125.000 guru dan 13.000 staf administrasi di lembaga pendidikan tinggi telah diskors atau diberhentikan.
Sekjen PBB mengatakan, ada juga banyak laporan tentang kekerasan yang menargetkan pasukan keamanan serta pembunuhan orang-orang yang dicurigai bekerja sama dengan militer.
Dokumen laporan Guterres itu tertanggal 31 Agustus 2021. Namun, tidak ada penjelasan yang diberikan PBB atas penundaan yang begitu lama untuk memublikasikannya. Laporan itu disetujui oleh 119 negara, dengan 36 negara—termasuk China—abstain. Sebagian negara lainnya, termasuk Belarus, memberikan suara menentang. (AP/AFP/REUTERS)