Kekerasan yang dilakukan junta militer, dan belum diimplementasikannya konsensus ASEAN oleh penguasa Myanmar saat ini, terus mendapatkan perhatian. Komunitas internasional terus mendesak junta militer bersikap positif.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
NEW YORK, MINGGU — Komunitas internasional berupaya menyelesaikan krisis di Myanmar dengan berbagai cara. Proses dialog sudah dimulai negara-negara anggota ASEAN. Beragam sanksi pun telah diberikan sejumlah negara maju. Namun, sampai sekarang tak kunjung ada hasil. Kini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa akan mempertimbangkan rancangan resolusi tidak mengikat, di antaranya seruan untuk segera menangguhkan transfer senjata kepada junta militer Myanmar.
Berbeda dengan resolusi Dewan Keamanan PBB, resolusi Majelis Umum PBB tidak mengikat tetapi signifikan secara politik. Jika tidak tercapai kesepakatan dengan konsensus, Majelis Umum PBB, yang beranggotakan 193 negara, akan melakukan voting pada isu itu. Usulan Liechtenstein yang mendapatkan dukungan dari Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat itu akan dibicarakan dalam pertemuan pada Selasa mendatang.
Rancangan resolusi Majelis Umum PBB itu mendorong penangguhan segera atas pasokan, penjualan atau transfer langsung dan tidak langsung semua persenjataan dan peralatan terkait militer lainnya ke Myanmar. Rancangan resolusi ini sudah dirundingkan selama beberapa pekan dan didukung 48 negara, salah satunya Korea Selatan.
Resolusi itu juga meminta militer mengakhiri status darurat, segera menghentikan semua kekerasan terhadap pengunjuk rasa, dan membebaskan Presiden Myanmar Win Myint, Penasihat Negara Aung San Suu Kyi, dan semua orang yang ditahan dan didakwa sewenang-wenang sejak kudeta, 1 Februari lalu. Selain itu, resolusi itu juga meminta agar hasil konsensus KTT ASEAN, 24 April lalu, segera dilaksanakan. Utusan khusus PBB juga diharapkan segera diizinkan masuk Myanmar. Begitu pula dengan akses bantuan kemanusiaan.
Rancangan resolusi ini sejalan dengan desakan sejumlah organisasi non pemerintah untuk embargo persenjataan ke Myanmar. Sejak 1 Februari lalu, DK PBB sudah mengeluarkan empat pernyataan terkait Myanmar. Namun, pernyataannya tak berujung sikap yang tegas karena selalu ditentang oleh China.
Penyiksaan
Kekerasan terhadap warga sipil tetap terjadi. Bahkan pertikaian antara militer dan kelompok gerilyawan Pasukan Pertahanan Chinland juga kian panas. Enam anggota kelompok gerilyawan dilaporkan tewas di kota Mindat, Negara Bagian Chin. Banyak warga Mindat yang takut dan bersembunyi di hutan. Warga yang masih tinggal di kota juga tidak berani keluar rumah.
Kedutaan Besar Amerika Serikat dan Inggris di Myanmar meminta militer menghentikan kekerasan terhadap warga sipil, termasuk di Mindat, karena melanggar hukum dan tidak dapat dibenarkan. ”Bukti-bukti kekerasan harus dikirimkan kepada PBB agar para pelaku bisa dihukum,” tulis Kedubes Inggris untuk Myanmar melalui Twitter.
Sedikitnya 796 orang tewas dan sedikitnya 4.000 orang ditahan sejak kudeta. Banyak warga Myanmar yang pernah ditahan yang mulai berani menceritakan pengalamannya saat ditahan. Salah satunya Ma Chaw (17). Chaw menceritakan pengalamannya melihat perempuan dewasa dan remaja dipukuli, ditendang di bagian pangkal paha, dan diancam dengan kekerasan seksual saat ditahan aparat junta militer. Chaw dan ibunya ditahan di Yangon, 14 April lalu, ketika keduanya hendak ke rumah teman. Mereka kemudian dicegat dua truk militer.
Mereka ditahan selama enam hari bersama dengan sejumlah perempuan yang diduga disiksa polisi karena banyak luka lebam di wajah dan badan mereka. Chaw mengaku juga pernah dilecehkan polisi saat tengah diinterogasi. Chaw lalu dibebaskan pada 20 April tetapi ibunya dipindahkan ke penjara Insein. Untuk membebaskan ibunya, Chaw harus menandatangani dokumen yang menyebutkan ia tidak disiksa selama berada di balik jeruji.
”Ada polisi yang menyentuh saya dan mengancam akan bisa membunuh saya. Saya dorong dia. Ibu saya ditampar dua kali,” kata Chaw.
Salah satu korban yang disiksa bahkan tidak mampu bicara atau makan karena luka lebam yang parah setelah dipukuli. ”Kami menyuapinya dengan nasi dan telur goreng. Ia sampai tidak bisa buang air kecil karena alat vitalnya ditendang saat interogasi,” kata Chaw.
Pengalaman serupa diceritakan Ngwe Thanzin yang ditahan saat tengah berunjuk rasa di Okkalapa Selatan, Yangon. ”Saya ditendang di bagian wajah. Polisi mengancam membunuh kami dan bisa membuat kami hilang tanpa ada yang tahu. Mereka tidak menyiksa di depan banyak orang tetapi selalu saat interogasi. Semua yang menginterogasi kami polisi laki-laki. Semua hak kami dilanggar,” ujarnya.
Menteri Kesejahteraan Sosial Myanmar yang ditunjuk junta militer dan memimpin Komite Nasional Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Konflik, Thet Thet Khine, tidak dapat dihubungi untuk diminta komentarnya mengenai hal ini. (REUTERS/AFP)