Janji Merawat Bumi Tak Sekadar Bla-bla-bla
Aktivis muda mengkritik para pemimpin dunia yang hanya melontarkan janji-janji kosong soal penanganan bencana iklim. Jika kondisi ini terus berlanjut tanpa aksi nyata, konferensi iklim tidak diperlukan lagi.
Vanessa Nakate (24) tak bisa menahan kesedihannya seusai berbicara di atas podium Youth4Climate yang berlangsung di Milan, Italia, Selasa (28/9/2021). Dia sedih saat mengingat apa disaksikannya di Kampala, ibu kota Uganda, tempat dia lahir dan dibesarkan: seorang petugas kepolisian berusaha mengambil jenazah korban di antara sisa-sisa tumpukan lumpur dan sampah, sementara petugas lain dibantu warga mencari korban lainnya.
Ibunda Nakate, saat dia kembali ke rumah, juga menceritakan apa yang dilihatnya, yaitu seorang laki-laki tetap berusaha melindungi barang dagangannya meski terseret air.
Greta Thunberg, aktivis iklim asal Swedia, yang duduk tak jauh dari Nakate, berusaha menenangkannya.
Di atas podium, Nakate menggarisbawahi bagaimana perubahan iklim, efek gas rumah kaca, memengaruhi Afrika. Gas rumah kaca memperparah kondisi cuaca dan iklim di Afrika yang sudah panas. Ironisnya, Afrika adalah penghasil emisi karbon dioksida terendah dibandingkan benua mana pun, kecuali Antartika.
Baca juga: Bumi Kian Tak Ramah
Nakate menagih janji dana bantuan 100 miliar euro per tahun untuk membantu negara-negara yang sangat rentan terkena dampak perubahan iklim. Hal itu belum terealisasi sampai saat ini. ”Kami masih menunggu dana yang dijanjikan tahun 2020. Tidak ada lagi konferensi dengan janji-janji kosong. Saatnya memperlihatkan uang itu kepada kami. Sudah waktunya,” kata Nakate.
Thunberg memperkuat pernyataan. ”Para pemimpin suka berkata ’Kita bisa melakukannya’. Mereka jelas tidak bersungguh-sungguh. Tapi kami sebaliknya,” katanya.
Thunberg, yang menggaungkan gerakan protes global ”Fridays for Future”, mengatakan belum terlambat membalikkan tren iklim yang terus memburuk. Para pemimpin telah berbicara banyak sejak 30 tahun lalu. Nyatanya, setengah dari emisi karbon telah berlangsung sejak era 1990-an, sepertiga di antaranya sejak 2005.
”Hanya ini yang kami dengar dari mereka yang disebut pemimpin: kata-kata. Kata-kata yang terdengar hebat tetapi sejauh ini tidak menghasilkan tindakan. Harapan dan impian kami tenggelam dalam kata-kata dan janji kosong mereka. Tentu saja kita membutuhkan dialog yang konstruktif. Tapi, mereka, sejak 30 tahun hanya bisa mengucapkan bla-bla-bla. Ke mana hal ini akan membawa kita?” katanya.
Rekomendasi
Sekitar 400 aktivis iklim dari 180 negara diundang ke Milan untuk pertemuan Youth4Climate. Dalam pertemuan tiga hari, yang menjadi rangkaian besar pertemuan puncak iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa di Glasgow, Skotlandia, para aktivis muda diharapkan bisa menghasilkan rekomendasi kebijakan dan tindakan yang harus dilakukan para pemimpin dunia untuk membalikkan situasi ”bahaya” yang dihadapi penduduk Bumi.
Seusai Youth4Climate Summit, kegiatan lanjutan jelang KTT Iklim adalah pertemuan pra-COP (konferensi para pihak). Pertemuan ini bertujuan mencari titik temu di antara negara-negara, dari negara penghasil karbon besar dunia hingga negara berkembang yang tertinggal secara ekonomi ataupun teknologi.
Akan tetapi, para aktivis muda justru mengkritik penyelenggaraan konferensi itu. ”Mereka mengundang anak-anak muda untuk berpura-pura mendengarkan kita. Tapi, sejatinya tidak. Mereka jelas tidak mendengarkan kita. Lihat saja angka-angkanya. Emisi masih meningkat. Sains tidak berbohong,” kata Thunberg.
Baca juga: Dunia Gagal Atasi Akar Masalah Perubahan Iklim
Saoi O’Connor, aktivis Irlandia, mengatakan, pertemuan itu diatur oleh pemerintah. Pemerintah memilih pesertanya. Dokumen rekomendasi yang dihasilkan pun nantinya akan diedit para delegasi. Dokumen penutup dan rekomendasi sejatinya tidak akan mewakili apa yang diinginkan dan dituntut anak-anak muda selama ini.
”Mereka memiliki orang-orang di ruangan yang mengawasi apa yang kami katakan. Topik-topik yang selama ini berbeda dalam pandangan kami dan mereka (pemerintah atau pengambil kebijakan) pun sebenarnya sudah diputuskan,” katanya.
Harapan vs realita
Harapan suksesnya KTT Iklim di Glasgow didorong pengumuman dua raksasa ekonomi sekaligus penyumbang emisi karbon terbesar dunia, yakni Amerika Serikat dan China. Presiden China Xi Jinping mengatakan, negaranya tidak akan lagi mendanai pembangkit listrik tenaga batubara di luar negeri, sementara Presiden AS Joe Biden mengumumkan rencana untuk menggandakan bantuan keuangan bagi pembangunan hijau ke negara-negara miskin.
Turki juga mengumumkan akan mematuhi protokol Paris, sementara Afrika Selatan mengumumkan target emisi yang lebih ambisius.
Roberto Cingolani, Menteri Transisi Teknologi Italia, menilai janji itu sebagai langkah yang baik. ”Mereka bergerak ke arah yang benar. Saya tidak pernah mengharapkan lompatan kuantum dalam sebuah kerja sama level internasional. Tapi, saat ini, indikatornya memperlihatkan hal baik,” katanya.
Baca juga: Mengatasi Perubahan Iklim dari Meja Makan
Pada saat yang sama, dia sepakat dengan kritik bahwa banyak janji penanganan perubahan iklim telah dilanggar, termasuk janji pembiayaan adaptasi perubahan iklim. ”Memang benar. Kita harus bekerja lebih keras,” ujarnya.
Dunia semakin panas. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa terbaru yang meninjau komitmen negara-negara penanda tangan kesepakatan iklim Paris menemukan bahwa komitmen itu sama sekali tidak membantu dunia menjadi lebih baik. Bahkan, komitmen tersebut akan meningkatkan emisi hampir 16 persen pada tahun 2030 dibandingkan dengan tingkat emisi pada 2010 (Kompas.id, 19 September 2021).
Konferensi Iklim di Glasgow, kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres, menjadi sangat penting karena dunia berjalan ke arah yang salah dalam penanganan perubahan ikim. Pascapenandatanganan perjanjian iklim Paris tahun 2015, negara-negara masih belum sepakat bagaimana hal itu dipraktikkan, termasuk penghitungan pengurangan karbon setiap negara dan pembiayaan perang terhadap perubahan iklim.
Presiden COP26 Alok Sharma mengatakan kepada para delegasi, Selasa, bahwa KTT itu adalah kesempatan bagi ”negara-negara maju untuk memenuhi janji uang mereka guna mendukung negara-negara berkembang yang menghadapi dampak peningkatan perubahan iklim”.
Baca juga: PBB: Komitmen Pengurangan Emisi Karbon Tidak Nyata
Beberapa aktivis muda yang berkumpul di Milan berusaha realistis, apalagi ketika berhadapan dengan janji-janji kosong para pemimpin dunia. ”Belajar dari sejarah, kita telah melihat para menteri dari negara-negara COP26 tidak menepati janji mereka,” kata Zainab Waheed (16), aktivis muda asal Pakistan. Dia lebih memilih membangun kesadaran dari bawah dengan berkampanye untuk memasukkan perubahan iklim ke dalam kurikulum pendidikan di negaranya.
Rose Kobusinge (27), mahasiswa Uganda di pascasarjana manajemen lingkungan Universitas Oxford, mengatakan, pertemuan Glasgow perlu menghasilkan tindakan nyata apabila memerangi perubahan iklim adalah untuk mempertahankan kredibilitas. Dia juga berpendapat bahwa delegasi pemuda harus diundang sebagai peserta, bukan hanya untuk mengirim pesan.
”Jangan sampai berhenti pada negosiasi di Glasgow. Jika berhenti, saya kira COP tidak diperlukan lagi karena apa itu? Hanya datang dan berdiskusi dan kembali ke negara Anda?” katanya. (AP/AFP)