Pemerintah dan negara konsisten gagal mengatasi penyebab utama perubahan iklim, yaitu eksploitasi bumi secara berlebihan. Iklim sudah memperlihatkan perilaku yang mengejutkan dan tidak terduga.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
LONDON, RABU — Negara dinilai secara berulang menunjukkan kegagalan dalam mengatasi akar masalah utama perubahan iklim, yaitu eksploitasi bumi secara berlebihan. Lonjakan bencana alam mahadahsyat yang belum pernah terjadi sebelumnya, mulai dari banjir di Amerika Selatan dan Asia Tenggara, gelombang panas dan kebakaran hutan yang masif di Australia dan Amerika Serikat, hingga angin topan yang menghancurkan di Afrika dan Asia Selatan, menurut para ilmuwan menjadi bukti bahwa titik kritis iklim sudah semakin dekat.
Dari 31 tanda vital yang digunakan untuk mengukur kunci kesehatan planet, seperti emisi gas rumah kaca, ketebalan gletser, luasan es laut, dan penggundulan hutan, para ilmuwan menemukan 18 indikator telah mencapai rekor tertinggi atau terendah. Meski ada penurunan polusi terkait menurunnya mobilitas warga selama pandemi, misalnya, tingkat CO2 (karbon dioksida) dan metana di atmosfer tidak mengalami penurunan dan bahkan mencapai titik tertinggi sepanjang masa pada tahun 2021.
Tanda lain adalah peningkatan suhu laut dan permukaan laut global telah mencapai rekor baru sejak tahun 2019. Berkurangnya luasan hutan Amazon di Brasil setiap tahun telah mencapai rekor tertinggi selama 12 tahun terakhir pada 2020. Hutan Amazon kini telah beralih fungsi sebagai sumber karbon daripada menyerap gas dari atmosfer karena terus berkurangnya luasan hutan.
Peringatan dikeluarkan oleh para peneliti, bagian dari 14.000 lebih ilmuwan yang menandatangani inisiatif yang menyatakan bumi dalam kondisi darurat iklim.
Tim Lenton, Direktur Institut Sistem Global pada Universitas Exeter, Inggris, dan salah seorang anggota tim peneliti, Selasa (27/7/2021), mengatakan, gelombang panas di AS dan Kanada yang menewaskan ratusan orang baru-baru ini memberikan petunjuk kepada semua pihak bahwa iklim sudah memperlihatkan perilaku yang mengejutkan dan tidak terduga.
”Kita perlu merespons bukti-bukti itu dan mengakui bahwa titik kritis iklim telah ada di depan mata, dengan tindakan yang sangat mendesak untuk menghilangkan karbon dari ekonomi global dan memulai upaya pemulihan alih-alih semakin merusak bumi dan alam,” kata Lenton.
Para peneliti menyatakan, sejumlah bukti sudah ada di depan mata bahwa dunia sedang mendekati atau bahkan telah melewati sejumlah titik kritis iklim. Ini termasuk mencairnya lapisan es di Greenland dan Antartika barat. Mereka mengatakan, peningkatan deoksigenasi laut dan memanasnya suhu permukaan laut telah mengancam habitat terumbu karang dan hewan-hewan di lautan yang menjadi sumber makanan bagi setengah miliar penduduk bumi. Great Barrier Reef atau Karang Penghalang Besar di Australia adalah salah satu lokasi yang bisa menjadi bukti kerusakan habitat terumbu karang akibat pemanasan global.
Tindakan segera
Para peneliti yang menyusun rekomendasi dalam studi tersebut menyatakan, perkembangan kondisi alam dan iklim global yang semakin mengkhawatirkan membutuhkan pembaruan yang singkat, cepat, terukur, dan mudah diakses untuk menahan laju kerusakan. Mereka mendesakkan perubahan pada enam bidang untuk menahan laju kerusakan bumi, yaitu menghentikan penggunaan bahan bakar fosil (bahan bakar berbasis minyak bumi), memangkas polutan, memulihkan ekosistem, beralih ke pola makan nabati, menjauh dari model pertumbuhan tak terbatas, dan menstabilkan populasi manusia.
Mereka juga menyerukan pendidikan perubahan iklim untuk dimasukkan dalam kurikulum inti sekolah secara global untuk meningkatkan kesadaran.
Dalam waktu dekat, para ilmuwan akan mengusulkan tiga kebijakan tanggap darurat darurat iklim, yaitu harga karbon yang signifikan, penghapusan dan larangan global atas bahan bakar fosil, dan pengembangan cadangan iklim strategis. seperti memulihkan serta memelihara penyerap karbon dan melestarikan keanekaragaman hayati.
”Kita perlu berhenti memperlakukan darurat iklim sebagai masalah yang berdiri sendiri. Pemanasan global bukanlah satu-satunya gejala dari sistem bumi kita yang tertekan. Kebijakan untuk memerangi krisis iklim atau gejala lain harus mengatasi akar penyebabnya: eksploitasi berlebihan manusia terhadap planet ini,” kata William Ripple, profesor ekologi terkemuka di Sekolah Tinggi Kehutanan Oregon State University.
Sekretaris Eksekutif Badan Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Perubahan Iklim Patricia Espinosa mengatakan, indikator-indikator yang ada memperlihatkan bahwa dunia internasional tidak berada di jalur yang tepat untuk mencapai tujuan Perjanjian Paris, khususnya untuk membatasi kenaikan suhu bumi sebesar 1,5 derajat pada akhir abad ini. Kecenderungan yang ada, katanya, dunia akan menghangat lebih dari dua kali lipat.
Konferensi iklim di Glasgow, Skotlandia, pada November mendatang dinilai banyak pihak akan menjadi sangat penting bagi titik balik pandangan negara dan pemerintah soal bencana iklim ini. (AFP)