Pemadaman Listrik di China, Pasokan Barang Global Bisa Terganggu
Sedikitnya 11 provinsi di China melakukan pemadaman listrik sejak beberapa hari terakhir. Akibatnya, produksi sejumlah perusahaan eksportir barang terganggu sehingga bisa menganggu pasokan global.
BEIJING, SELASA - Pemadaman listrik terjadi di sejumlah provinsi di China. Akibatnya, berbagai pabrik yang memasok aneka produk jadi dan setengah jadi ke pasar global terpaksa menunda atau sama sekali menghentikan operasi.
Hingga Selasa (28/9/2021), setidaknya 11 provinsi melaporkan pemadaman listrik massal sejak beberapa hari terakhir. Laporan datang dari Jiangsu, Liaoning, Henan, Sichuan, Zhejiang, Yunnan, Heilongjiang, Ningxia, Mongolia Dalam, Heilongjiang, dan Jilin.
Setidaknya 11 provinsi melaporkan pemadaman listrik massal sejak beberapa hari terakhir.
Pemadaman misalnya telah membuat operasi berbagai pabrik hingga pusat perbelanjaan terganggu. Eson Precision Engineering Co. Ltd, perusahaan yang memasok komponen baru Apple Inc, mengumumkan penghentian operasi mulai Minggu (26/9/2021). Menurut manajemen Eson, langkah itu untuk mematuhi perintah pembatasan konsumsi listrik yang dikeluarkan Otoritas Shanghai.
Penghentian operasi juga terjadi di CWTC dan ASE Kushan yang berada di Jiangsu. CWTC memasok semikonduktor untuk dua pemegang merek semikonduktor Uni Eropa, NXP dan Infineon. Sementara ASE memasok semikonduktor untuk berbagai pihak lainnya.
Penghentian operasi CWTC, ASE, dan ESON akan memperburuk gangguan pasokan semikonduktor yang sudah terjadi beberapa waktu terakhir. Pada Agustus 2021, pemesan harus menunggu 2,5 bulan untuk menerima pesanan semikonduktor. Kini, waktu tunggu kiriman akan semakin bertambah.
Tidak hanya ke pabrik semikonduktor, pemerintah provinsi Jiangsu juga menghentikan pasokan listrik ke pabrik kain. Salah satu pabrik kain tidak mendapat pasokan listrik sejak 15 September 2021 dan akan berlangsung hingga pekan depan. Dampaknya, pabrik terpaksa membatalkan atau setidaknya menunda pemenuhan pesanan dari dalam dan luar negeri.
Baca juga : Cip Semikonduktor Langka, Raksasa Otomotif Hentikan Produksi
Gangguan produksi tersebut akan menimbulkan risiko gangguan rantai pasok global. Pada 2020, untuk mengendalikan laju infeksi Covid-19, Beijing memerintahkan pembatasan gerak dan isolasi nasional. Akibatnya, banyak pabrik berhenti. Padahal, pabrik-pabrik itu menjadi pemasok global untuk aneka produk jadi, setengah jadi, hingga komponen.
Selain gangguan rantai pasok global, pemadaman listrik massal juga menyebabkan sejumlah gangguan di dalam negeri. Warga berbagai kota dan kabupaten di Provinsi Liaoning misalnya, mereka mengeluhkan nihilnya sinyal telepon seluler akibat banyak pemancar sinyal tidak beroperasi.
Lampu pengatur lalu lintas juga padam sehingga terjadi kekacauan di berbagai jalan. Operasional banyak kota juga terpaksa menjadi terbatas karena tidak ada penerangan lampu sehingga hanya bisa mengandalkan lilin. Para pengelola pusat perbelanjaan di Heilongjian juga mengumumkan penghentian operasi. Sementara di banyak tempat Guandong, mesin penyejuk udara dilarang beroperasi.Dampak pemadaman massal juga dirasakan para pemilik kendaraan listrik. Banyak tempat pengisian daya umum di berbagai provinsi terpaksa berhenti beroperasi. Akibatnya, banyak mobil listrik kehabisan daya dan warga kembali menggunakan mobil bahan bakar minyak.
Baca juga Membenci Sumber Energi Andalan
Hingga Juni 2021, ada 6 juta mobil listrik di China dengan konsumsi hingga 3 persen dari total konsumsi listrik China. Di seluruh China, terdapat 1,95 juta tempat pengisian ulang daya di tempat umum. Hampir 70 persen berada di Beijing, Shanghai, Guangzhou, dan beberapa provinsi paling maju di China. “Pemadaman bisa membuat orang berpikir ulang membeli mobil listrik,” kata pedagang mobil di Jilin, Zhang Fan, kepada Global Times.
Sementara Eric Han, manajer pada salah satu lembaga konsultan bisnis di Shanghai, menyebut pemadaman listrik menunjukkan sisi ironis isu energi dalam perubahan iklim. ”Mobil listrik menjadi lambang perlindungan lingkungan lewat transportasi yang bersih. Pemadaman membuat mobil listrik menjadi korban pertama kebijakan pemangkasan emisi karbon yang bertujuan melindungi lingkungan,” ujarnya.
Ia setuju bahwa pemadaman listrik akan berdampak terhadap minat warga untuk membeli kendaraan listrik. Penambahan kendaraan listrik berarti peningkatan konsumsi listrik. Di sisi lain, China didesak memangkas produksi listrik berbahan bakar fosil yang memasok lebih dari 80 persen kebutuhan listrik negara itu. Hingga 70 persen listrik China dipasok dari PLTU batubara.
BP Energy Review, salah satu acuan utama data produksi dan konsumsi energi global, mencatat China mengonsumsi energi batubara sebesar 82,27 eksajoule, Jepang 4,47 eksajoule, dan Korea Selatan 3,03 eksajoule pada 2020. Sementara Indonesia mengonsumsi 3,26 eksajoule energi dari batubara. Setiap eksajoul setara dengan 34,1 juta ton batubara.
Baca juga Ekonomi Hijau Jadi Arus Utama, Australia Lanjutkan Produksi dan Ekspor Batubara
Badan Energi Internasional (IEA) menyebut, batubara akan tetap menjadi sumber energi penting di banyak negara sampai 2050. IEA juga menyebut, China akan mengonsumsi hingga separuh batubara global. Sampai beberapa tahun ke depan, Beijing akan membangun sejumlah PLTU batubara berdaya total lebih dari 150 megawatt.
Di sisi lain, Beijing juga berjanji menghentikan pendanaan pembangunan PLTU batubara baru di luar China. Bahkan, Beijing sudah menunjukkan tanda akan mengurangi pendanaan proyek batu bara baru. Sepanjang semester pertama 2021, Beijing tidak mengucurkan dana untuk proyek PLTU batu bara baru. Fenomena itu belum pernah terjadi di tahun-tahun sebelumnya.
Pemadaman massal terjadi selepas Presiden China Xi Jinping berjanji meningkatkan pemangkasan emisi karbon dari negaranya. Sejak beberapa waktu lalu, Beijing meminta pemerintah daerah menetapkan batas atas pemakaian listrik yang menjadi salah satu sumber emisi gas rumah kaca. Sebab, Beijing mengandalkan PLTU batubara untuk menghasilkan listrik.
Gubernur Jilin, Han Jun, mendesak pemerintah pusat dan perusahaan energi segera menambah impor batubara dari Rusia, Indonesia, dan Mongolia untuk mengatasi masalah itu. Pasokan harus dijamin agar pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batubara bisa beroperasi.
Baca juga China Bunyikan Alarm Ekonomi Batubara Indonesia
Sejumlah pejabat terkait energi di China menyangkal pemangkasan impor batubara dari Australia menjadi penyebabnya. Sebab, Canberra hanya memasok 3 persen dari keseluruhan batubara China. Sisanya dipasok dari dalam negeri, Mongolia, Rusia, Indonesia, hingga Afrika Selatan dan Amerika Serikat.
Pakar kebijakan iklim pada Greenpeace Beijing, Li Shuo, menyebut, pemerintah sejumlah provinsi memakai sebagian besar kuota di semester I-2021 guna memacu ekonomi sebagai kompensasi perlambatan ekonomi pada 2020. Dampaknya, kuota di semester kedua hanya tersisa sedikit.
Direktur Cutting-Edge Technology Research Institute, Zhang Xiaorong, berpendapat ada masalah kenaikan harga bahan bakar. Dari 80 dollar AS per metrik ton pada Januari 2021, harga batubara menyentuh 211 dollar AS per metrik ton pada 27 September 2021.
Harga gas alam dan minyak bumi juga dilaporkan melonjak. Kenaikan harga terjadi menjelang musim dingin, periode penggunaan energi membengkak di sisi utara Bumi yang merupakan konsumen utama energi global.
“Harga batubara naik, tarif listrik tidak naik. Jadi, perusahaan listrik tidak mau memproduksi lebih banyak energi karena semakin meningkatkan kerugian,” ujar Zhang kepada Global Times, media yang dekat dengan pemerintah China.
Baca juga Derita Uighur di Balik Percepatan Energi Bersih AS
Periset kebijakan energi China pada Lantau Group, David Fishman, menyebut bahwa mekanisme tarif listrik China menjadi penyebab utama. Dalam struktur tarif, ada komponen harga bahan bakar.
Kala harga bahan bakar melonjak seperti sekarang, perusahaan listrik kesulitan menentukan tarif yang bisa diterima konsumen. Di sisi lain, perusahaan listrik tetap harus menjadi kas. Akibatnya, mereka memutuskan berhenti beroperasi dan terjadi pemadaman massal. (AFP/REUTERS/RAZ)