Myanmar Tidak Berpidato di Sidang Majelis Umum PBB
Di tengah situasi yang terus memburuk, rakyat Myanmar tidak memiliki wakil yang berbicara di depan Sidang MU PBB, Senin pekan depan. Dubes Myanmar untuk PBB Kyaw Moe Tun memilih tidak tampil seusai ancaman pembunuhan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·5 menit baca
NEW YORK, SABTU — Keinginan junta militer Myanmar untuk berbicara di depan Sidang Ke-76 Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Senin (27/9/2021), tidak akan terealisasi. Begitu juga dengan Kyaw Moe Tun, Duta Besar Myanmar yang saat ini diakui untuk PBB.
”Pada titik ini, Myanmar tidak akan berbicara,” kata Juru Bicara PBB Stephane Dujarric, Jumat (24/9/2021) waktu setempat atau Sabtu WIB.
Sama seperti Kelompok Taliban yang kini berkuasa di Afghanistan, junta militer Myanmar berkirim surat kepada PBB agar bisa mengutus wakilnya berbicara di depan para pemimpin dunia. Wunna Maung Lwin, yang ditunjuk oleh junta sebagai menlu, berkirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres dan menyatakan bahwa Jenderal Senior Ming Aung Hlaing menunjuk Aung Thurein sebagai utusan untuk PBB.
Penunjukan Aung Thurein, mantan petinggi militer Myanmar, sebagai utusan untuk PBB, berarti mengakhiri tugas Dubes Tun di lembaga multilateral itu. Bahkan, dalam surat yang sama, Maung Lwin menyatakan, Dubes Tun telah dibebastugaskan dari jabatannya sebagai Dubes Myanmar untuk PBB sejak 27 Februari 2021, enam hari setelah kudeta militer terjadi di negara itu. Pemberhentian Dubes Tun, kata Maung Lwin, karena dia dinilai menyalahgunakan tugas dan mandatnya.
Dalam pidato dramatisnya pada Sidang Majelis Umum PBB akhir Februari lalu, Tun menyerukan tindakan sekeras mungkin dari dunia internasional untuk memulihkan demokrasi di negara asalnya. Dia juga mendesak semua negara anggota PBB mengecam keras kudeta militer, menolak mengakui rezim junta, dan meminta para pemimpin militer untuk menghormati pemilihan November 2020 yang dimenangi Partai Liga Nasional untuk Demokrasi pimpinan Aung San Suu Kyi.
Tun menyatakan dirinya mewakili pemerintahan sipil Myanmar yang dipilih pada pemilu November 2020. Pada akhir pidatonya, dia memberikan salam dan mengacungkan tiga jari—telunjuk, jari tengah, dan jari manis—simbol perlawanan warga Myanmar terhadap junta.
”Kami akan terus berjuang untuk pemerintahan yang berasal dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat,” kata Tun dalam pidato yang mendapat tepuk tangan meriah dari para diplomat di majelis yang menyebutnya kuat dan berani.
Majelis Umum yang beranggotakan 193 orang bertanggung jawab atas akreditasi diplomat yang ditugaskan di PBB. Permintaan akreditasi itu harus terlebih dulu disampaikan kepada komite kredensial yang terdiri dari sembilan negara, yaitu AS, Rusia, China, Bahama, Bhutan, Chile, Namibia, Sierra Leone, dan Swedia.
Juru Bicara Majelis Umum PBB Monica Grayley, Jumat malam, mengatakan, tidak ada kabar bahwa komite kredensial melakukan pertemuan untuk membahas permintaan junta militer Myanmar. Komite kredensial biasanya melakukan pertemuan pada Oktober atau November setiap tahun membahas berbagai usulan, terutama soal mandat dari setiap negara. Sangat tidak mungkin komite akan bertemu selama akhir pekan dan membuat keputusan tentang perwakilan Myanmar.
Itu berarti Tun, duta besar yang diakui PBB saat ini tetap menjadi perwakilan Myanmar di PBB dan harus berbicara.
Kondisi tersebut memungkinan Tun berbicara kembali di hadapan para pemimpin dunia sebagai utusan pemerintahan sipil Myanmar. Namun, pada awal September, secara pribadi dia menyatakan tidak berencana untuk menonjolkan diri selama Sidang Majelis Umum PBB.
Tidak ada penjelasan lebih lanjut dari Tun mengenai sikapnya untuk tidak berpidato di Sidang Majelis Umum PBB. Namun, banyak pihak menduga hal itu terkait dengan rencana pembunuhan terhadap dirinya pada Agustus lalu, oleh dua warga negara Myanmar.
Berdasarkan dokumen pengadilan di Pengadilan Federal White Plains, seorang pedagang senjata Thailand yang menjual senjata kepada militer Myanmar menyewa pasangan itu untuk melukai Duta Besar Myanmar untuk mencoba memaksa dia mundur. Jika itu tidak berhasil, duta besar itu akan dibunuh, kata pihak berwenang.
Perang saudara
Situasi di Myanmar semakin tidak menentu setelah pihak yang bertikai memilih perjuangan bersenjata. Komisioner Tinggi Dewan Hak Asasi Manusia PBB Michelle Bachelet menyatakan, waktu hampir habis bagi dunia internasional untuk meningkatkan upaya pemulihan demokrasi dan mencegah konflik yang lebih luas.
”Konflik, kemiskinan, dan dampak pandemi meningkat tajam, dan negara menghadapi pusaran penindasan, kekerasan, dan keruntuhan ekonomi,” katanya, Kamis (23/9/2021). Dia menambahkan, perlawanan bersenjata menjadi pilihan karena junta militer melakukan penindasan yang luar biasa terhadap hak-hak dasar warga.
Bachelet mendesak negara-negara untuk mendukung proses politik yang inklusif, melibatkan semua pihak. Dia juga mendorong ASEAN dan negara-negara yang memiliki pengaruh pada para pihak bertikai menggunakan insentif dan disinsentif untuk membalikkan situasi ini.
”Stabilitas Myanmar dan jalan menuju demokrasi, kemakmuran, telah dikorbankan selama beberapa bulan terakhir ini untuk memajukan ambisi elite militer yang memiliki hak istimewa dan mengakar,” katanya.
Bachelet mengingatkan tentang konsekuensi nasional dan regional perang saudara di Myanmar. ”Komunitas internasional harus melipatgandakan upayanya untuk memulihkan demokrasi dan mencegah konflik yang lebih luas sebelum terlambat,” ujarnya.
Bachelet mengatakan, lebih dari 1.100 orang kini dilaporkan tewas di tangan pasukan keamanan sejak kudeta, sementara lebih dari 8.000 orang lainnya, termasuk anak-anak, telah ditangkap. Lebih dari 4.700 orang masih ditahan.
Mantan Presiden Chile itu mendesak semua pihak, khususnya militer, untuk mengizinkan akses tak terbatas atas bantuan kemanusiaan, dan menyerukan pembebasan segera semua tahanan politik. Dia menyerukan semua angkatan bersenjata untuk melindungi warga sipil. Penggunaan serangan udara dan artileri di daerah permukiman pun harus segera dihentikan.
Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi, di sela-sela kegiatannya di New York, mengatakan, situasi di Myanmar belum menunjukkan kemajuan yang signifikan. Dia menjelaskan, utusan ASEAN hingga saat ini belum bisa menjalankan tugasnya karena dia memerlukan akses untuk bertemu semua pihak. (AP/AFP)