Pertarungan Warga Vs Tatmadaw Terjadi Sampai ke Pelosok
Perlawanan warga sipil dan aktivis terhadap junta tidak hanya terjadi di perkotaan, tapi juga telah sampai di desa-desa. Namun, perlawanan mereka kalah dalam hal persenjataan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
NAYPYIDAW, SABTU — Perlawanan yang dihadapi junta militer tidak hanya terjadi di kota-kota besar, tetapi juga menjalar ke kampung-kampung. Para aktivis dan warga sipil penggerak Gerakan Pembangkangan Sipil atau CDM yang mendapat pelatihan militer dari sejumlah milisi sipil terus memberikan perlawanan terhadap Tatmadaw, militer Myanmar. Di kota-kota besar, pemogokan menyebabkan kelumpuhan. Sementara di perbatasan, junta berhadapan dengan sayap militer kelompok etnis yang terus mengobarkan perlawanan. Pada Sabtu (5/6/2021), bentrokan menyebar ke wilayah Ayeyarwady, sebuah kawasan pertanian padi di Myanmar yang dihuni dua kelompok etnis, yaitu etnis mayoritas Bamar dan etnis minoritas Karen.
Sedikitnya 20 warga desa tewas dalam pertarungan melawan Tatmadaw.
Pertarungan tidak seimbang itu mempertemukan warga desa yang bersenjatakan katapel dan panah melawan militer bersenjata lengkap. Pertempuran terjadi ketika Tatmadaw menggelar operasi untuk mencari senjata.
”Masyarakat di desa hanya memiliki panah dan banyak korban di pihak masyarakat,” kata warga yang meminta tidak disebutkan namanya. Keterangan lain terkait dengan peristiwa itu diperoleh dari sejumlah warga dan media-media lokal, seperti Khit Thit Media dan Delta News Agency.
Bentrokan pecah sebelum fajar di Desa Hlayswe, Kyonpyaw, yang berada 150 kilometer di barat laut kota Yangon. Bentrokan terjadi saat tentara datang untuk menangkap seorang laki-laki yang dicurigai menyimpan senjata. Penangkapan itu dihadang oleh ledakan bom dan memicu kontak senjata.
Di Shwegu utara, Pasukan Pertahanan Rakyat Shwegu menyerang sebuah kantor polisi pada Jumat (4/6). Serangan dilakukan bersama dengan Tentara Kemerdekaan Kachin (KIA), salah satu dari sekitar dua lusin sayap militer yang dimiliki kelompok etnis di Myanmar. Di wilayah lain, Pasukan Pertahanan Rakyat Mobye (MBPDF) juga bentrok dengan Tatmadaw. Mereka mengklaim menewaskan empat anggota Tatmadaw.
Dikutip dari situs Myanmar-Now, sebuah media independen, puluhan ribu warga yang tinggal di kawasan wilayah Magwe’s Yaw mengungsi. Mereka terpaksa meninggalkan tempat tinggal karena Tatmadaw menguasai sekitar selusin desa di sepanjang Sungai Myittha sejak akhir Mei.
”Orang-orang dari banyak desa harus mengungsi dan tidak ada banyak bantuan,” kata seorang warga Desa Hnnkhar berusia 55 tahun. Dia mengaku telah mengungsi lima kali sejak konflik dimulai.
Penduduk mengatakan, tentara menyiksa dan membunuh siapa pun yang mereka temui di desa-desa yang mereka curigai menyembunyikan pasukan antirezim, termasuk orang sakit dan lanjut usia. ”Mereka menembak semua orang, bahkan kakek tua yang tidak bisa melakukan apa pun untuk menjaga dirinya sendiri,” kata seorang warga setempat.
Senjata rakitan
Dalam berbagai pertempuran, kelompok perlawanan mengandalkan senjata rakitan untuk melawan Tatmadaw. Kualitas senjata itu disebutkan buruk karena sering tidak berfungsi optimal.
Beberapa komunitas di Myanmar—terutama di kota-kota atau wilayah yang jumlah warganya cukup banyak—telah membentuk pasukan pertahanan lokal. Mereka juga membuat bengkel persenjataan sendiri.
Mereka terpaksa merakit senjata karena tidak mendapatkan dukungan penuh dari sayap militer kelompok etnis ketika berhadapan dengan Tatmadaw. Apalagi mereka harus berhadapan dengan aparat junta yang bersenjata lengkap dan didukung artileri berat.
”Ketika kami memutuskan untuk menembak mereka, senjata kami tidak menembak seperti yang diharapkan karena itu buatan sendiri,” kata Ko John, seorang anggota pasukan pertahanan. Dari delapan peluru yang ditembakkan dari senjata rakitan, hanya enam peluru yang berhasil ditembakkan dengan benar.
Selain kemunculan pasukan pertahanan lokal, para analis percaya ratusan pengunjuk rasa antikudeta di kota-kota besar dan kota kecil di Myanmar telah berpindah ke wilayah-wilayah yang dikuasai pemberontak. Mereka bergabung untuk menerima pelatihan militer dari pemberontak. Ko John menggambarkan bahwa mereka kewalahan melakukan perlawanan karena ketidakberimbangan dalam hal persenjataan.
Dewan Penasihat Khusus untuk Myanmar, sekelompok pakar internasional independen, mengatakan, sangat penting utusan ASEAN bertemu dengan para pemimpin pengunjuk rasa, anggota pemerintah oposisi paralel, anggota parlemen terpilih, dan partai yang dipimpin Aung San Suu Kyi.
”Kegagalan untuk bertemu dengan semua pihak terkait berisiko memberikan legitimasi kepada junta dan merusak upaya dan pengorbanan besar yang dilakukan oleh rakyat Myanmar untuk melawan kekerasan,” kata Dewan itu. (Reuters)