Jonas Gahr Store, Puncak Karier Anak Konglomerat di Partai Buruh
Jonas Gahr Store memimpin Partai Buruh yang kerap diasosiasikan sebagai alat politik kelas pekerja. Sementara sejak lahir sampai sekarang, ia tumbuh di keluarga konglomerat.
Pemilu Norwegia pada 13 September 2021 menambah paradoks di kerajaan dekat kutub utara itu. Salah satu politisi terkaya Norwegia, Jonas Gahr Store, berpeluang besar menjadi perdana menteri di salah satu negara termakmur itu. Ia seorang kapitalis yang menang pemilu lewat partai kelas pekerja.
”Norwegia menyampaikan pesan jelas, pemilu menunjukkan warga Norwegia ingin masyarakat yang lebih adil,” kata Store yang memimpin Partai Buruh sejak 2014. Hal itu ia katakan setelah Perdana Menteri Norwegia periode 2013-2021 Erna Solberg mengakui kemenangan koalisi pengusung Store pada pemilu yang berlangsung Senin (13/9/2021).
Ia menyebut kemenangan koalisinya sebagai kesempatan untuk orang biasa. Sebagai pemimpin Partai Buruh, ia memang memakai narasi kaya dan miskin dalam kampanyenya. Narasi itu tetap dipakai meski ia menjadi salah satu orang terkaya dan lahir dari keluarga konglomerat Norwegia.
Kekayaan keluarganya memungkinkan Store kuliah di Science Po, salah satu perguruan tinggi di Perancis dan termasuk yang paling elite di Eropa. Selama kuliah di sana, ia semakin dekat dengan gagasan sosial demokrat, salah satu cabang moderat dari aliran politik kiri.
Baca juga : Indonesia Akhiri Kerja Sama Program Penurunan Emisi dengan Norwegia
Di Perancis, kegelisahannya pada ketimpangan mulai tumbuh. ”Saya belajar tentang masyarakat seperti apa yang ingin saya jadikan tempat hidup. Di Perancis, perbedaan amat besar, jauh daripada Norwegia. Di antara miskin dan kaya, di antara yang berpendidikan dan tidak, di antara kota dan desa,” tulisnya dalam artikel yang terbit pada 2017.
Perancis semakin menjadi rujukannya atas dampak ketimpangan setelah meletus unjuk rasa Rompi Kuning. Protes yang melumpuhkan sebagian Perancis selama berbulan-bulan itu menggambarkan ketimpangan serius di negara tersebut.
Sepanjang pemilu 2021, ketimpangan menjadi isu kampanye yang diusung Store. Padahal, bukan hanya tertinggi, distribusi pendapatan di Norwegia termasuk paling merata di dunia. Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) mencatat, Norwegia salah satu negara dengan indeks gini paling rendah di Eropa, yakni 0,26. Semakin dekat indeks gini ke nol, semakin rendah ketimpangan suatu daerah atau negara.
Dengan pendapatan per kapita mencapai 75.000 dollar AS pada 2019, Norwegia menjadi salah satu negara paling makmur. Salah satu kunci kesejahteraan Norwegia adalah pertambangan minyak bumi. Kini, pertambangan minyak dan industri terkait menyumbang hingga 17 persen pada produk domestik bruto (PDB) Norwegia. Hingga 160.000 dari 5,3 juta warga Norwegia bekerja di industri minyak dan membuat negara itu jadi produsen utama minyak di Eropa.
Pada 2020, Oslo memompa rata-rata 2 juta barel minyak bumi per hari. Sebagai pembanding, Inggris dengan penduduk hampir 68 juta jiwa hanya memompa 1 juta barel dan Indonesia dengan 270 juta jiwa hanya memompa tidak sampai 800.000 barel per hari. Pada 2020, sebanyak 49 persen ekspor Norwegia berupa minyak mentah. Pada 2018, malah porsinya mencapai 62 persen dari keseluruhan ekspor Norwegia.
Baca juga : Perempuan asal Surabaya Hidup Nomaden di Kapal, Bersihkan Pantai Norwegia
Meski demikian, Store dan koalisinya mendorong industri minyak bumi perlahan ditinggalkan Norwegia. Koalisi Store juga mengajak Norwegia lebih perhatian pada perubahan iklim. Isu kampanye yang lagi-lagi menunjukkan paradoks karena Norwegia menjadi salah satu negara penghasil emisi karbon per kapita tertinggi di dunia.
BP Energy Review, salah satu rujukan utama konsumsi energi global, mencatat, Norwegia menghasilkan 6,07 juta ton emisi karbon per kapita pada 2019. Sementara itu, tiga negara dengan PDB terbesar di Eropa barat dan utara, yakni Jerman, Perancis, dan Inggris, berturut-turut menghasilkan 7 juta ton, 4,7 juta ton, dan 3,7 juta ton emisi karbon per kapita pada 2019. Pada periode yang sama, emisi karbon per kapita Indonesia tercatat 2 juta ton.
Anak konglomerat
Bukan hanya janji kampanyenya, kehidupan Store juga menunjukkan paradoks. Ia memimpin Partai Buruh yang kerap diasosiasikan sebagai alat politik kelas pekerja. Sementara sejak lahir sampai sekarang, ia tumbuh di keluarga konglomerat.
Sebagai anak konglomerat dan kini memimpin salah satu perusahaan investasi Norwegia, Femsto, ia pernah bergabung dengan Partai Konservatif. Seperti di negara lain, Partai Konservatif Norwegia juga cenderung jadi alat politik kelompok kaya.
Store mengubah pilihan politik pada 1995 dengan bergabung ke Partai Buruh. Perubahan terjadi setelah ia menjadi staf khusus PM Norwergia Gro Harlem Brundtland. Store baru berusia 29 tahun kala menduduki jabatan di kantor PM. Saat Brundtland menjadi Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 1998-2003, Store diajak bergabung dan menjadi Direktur Eksekutif WHO sampai 2000.
Dari WHO, ia kembali ke kantor PM dan kali ini menjadi kepala staf di bawah kepemimpinan Jens Stoltenberg. Kala Stoltenberg kembali menjadi PM pada 2005, ia naik jabatan menjadi menteri luar negeri sampai 2012. Sebagai menlu, ia antara lain menuntaskan perjanjian perbatasan Norwegia-Rusia. Perjanjian itu mempertegas wilayah sekaligus cadangan kekayaan Norwegia. Sebagian cadangan minyak Norwegia ada di Laut Barent.
Baca juga : Longsor di Norwegia, Tujuh Tewas dan Tiga Hilang
Kekalahan dalam pemilu 2013 membuat Stoltenberg mundur sebagai pemimpin Partai Buruh pada 2014 dan Store menjadi penggantinya. Ia memimpin Partai Buruh sebagai oposisi di Norwegia, sementara Stoltenberg ke Brussels untuk menjadi Sekretaris Jenderal NATO.
Di luar kesibukan sebagai pemimpin oposisi, Store juga mengelola perusahaan investasi. Berkali-kali perusahaan itu memicu sorotan pada Store. Modal utama pendirian Femsto adalah warisan yang diterima dari ayah dan kakeknya. Ayah Store, Ulf Jonas Store, kaya dari berbisnis kapal. Ulf bekerja di bidang yang berbeda dari sektor yang membuat keluarganya kaya, pertanian. Ayah Ulf, Jonas Henry, lahir dari salah satu keluarga petani terkaya di Norwegia.
Adapun kakek Store dari sisi ibu, Johannes Gahr, menjadi salah satu pemilik saham di Jotul yang memproduksi tungku dan aneka produk pemanas ruangan. Bagi negara-negara di dekat kutub, seperti Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Denmark, tungku dan aneka alat pemanas ruangan amat penting.
Baca juga : Norwegia Larang Kapal Pesiar Berpenumpang di Atas 100 Orang
Kala Store berusia 17 tahun, keluarganya menjual sebagian besar saham di Jotul. Saat itu, Store hampir lulus dari salah satu sekolah elite di Oslo, yakni SMA Berg. Sekolah itu salah satu SMA di Norwegia yang menawarkan pendidikan berbasis kurikulum internasional.
Lulus dari Berg, ia masuk Akademi Angkatan Laut Norwegia. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan ke dua perguruan tinggi yang termasuk paling elite di Eropa, yakni Science Po di Perancis dan London School of Economics di Inggris. Lulusan Science Po, antara lain, menjadi Presiden Perancis, Direktur Pelaksana IMF, Direktur Jenderal WTO, dan Sekretaris Jenderal PBB.
Sementara itu, London School of Economics meluluskan 18 penerima Nobel hingga presiden dan PM di sejumlah negara. Presiden Komisi Eropa kini, Ursula von der Leyen, adalah salah satu lulusan London School of Economics. Demikian pula mendiang PM Singapura Lee Kuan Yew.
Ia kuliah di Perancis pada 1981-1985. Lulus dari sana, ia menjadi peneliti di Norwegian School of Management sebelum bergabung dengan kantor PM. Di sela-sela menjadi PNS lalu politisi, ia kuliah di London School of Economics.
Store punya tiga anak dan semuanya sekolah di Oslo Wardof School, juga salah satu sekolah elite di Norwegia. Anak-anaknya didaftarkan sebagai pemilik saham Femsto. Hal itu membuat ia dan anak-anaknya akan menjadi salah satu sasaran janji kampanye Store, yakni kenaikan pajak bagi orang kaya. (AFP/REUTERS)
Jonas Gahr Store
Lahir: Oslo, 25 Agustus 1960
Istri: Marit Slagsvold
Pendidikan:
- AAL Norwegia
- Science Po Perancis
- London School of Economics, Inggris
Pekerjaan
- 1986-1989: Peneliti pada Norwegian School of Management
- 1989-1998: Staf Khusus PM Norwegia
- 1998-2000: Direktur Eksekutif WHO
- 2000-2001: Kepala Staf PM Norwegia
- 2005-2012: Menteri Luar Negeri Norwegia
- 2012-2013: Menteri Kesehatan Norwegia