Taliban Sikat Unjuk Rasa dan Berangus Hak Perempuan
Belum genap sebulan menguasai Afghanistan, Taliban telah menerapkan sejumlah larangan yang mengisyaratkan kembalinya negeri itu ke masa represi. Hak mengekspresikan diri dan hak perempuan termasuk yang diberangus.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
KABUL, KAMIS — Keraguan dunia bahwa Taliban akan membentuk pemerintahan yang inklusif semakin menguat. Kelompok bersenjata yang menjadi pemerintahan de facto Afghanistan itu baru saja mengeluarkan peraturan bahwa segala jenis perbedaan pendapat dan unjuk rasa tidak dibolehkan tanpa izin resmi dari mereka.
”Setiap pelanggar aturan ini akan dikenai sanksi yang tegas dan berat,” kata Menteri Dalam Negeri Taliban Sirajuddin Haqqani seperti dilansir oleh harian The Guardian, Kamis (9/9/2021).
Aturan ini keluar setelah muncul protes-protes anti-Taliban di kota-kota besar Afghanistan, seperti Kabul, Heart, dan Kandahar. Pada 19 Agustus, misalnya, ratusan orang memprotes Taliban di Kota Asadabad. Mereka membawa bendera Afghanistan dan menolak menerima Taliban sebagai lembaga pemerintahan.
Para milisi Taliban kemudian melepaskan tembakan yang membuat massa kocar-kacir. Dilaporkan ada dua korban jiwa dalam peristiwa itu. Namun belum ada penjelasan penyebab tewas, akibat tembakan Taliban atau karena terimpit massa.
Pada Selasa dan Rabu, ratusan perempuan turun ke jalan-jalan berunjuk rasa memprotes Taliban setelah kelompok itu mengumumkan kabinet pemerintahan. Tidak lama berselang, kaum laki-laki juga bergabung dan meneriakkan seruan antara lain ”merdeka” dan ”kebebasan”. Di kota Herat, dua pengunjuk rasa dikabarkan ditembak milisi Taliban.
”Pemerintahan macam apa yang di dalamnya tidak ada perempuan dan kelompok minoritas seperti Hazara?” kata Rahela Talash, salah seorang perempuan yang berunjuk rasa ketika berbicara kepada harian LA Times. Seluruh kabinet Taliban adalah laki-laki dari kelompok etnis Pashtun.
Afghanistan selepas kekuasaan Taliban periode 1996-2001 secara perlahan mengalami perubahan yang lebih baik, terutama dalam hal pemenuhan hak-hak perempuan. Sekalipun masih banyak tantangan, terutama di wilayah-wilayah perdesaan dan pelosok, perempuan di masa itu bisa bersekolah, bekerja, berkarier, dan memiliki usaha sendiri.
Berdasarkan data yang dihimpun oleh Kongres Amerika Serikat melalui Inspektorat Jenderal Khusus Rekonstruksi Afghanistan, 25 persen anggota parlemen Afghanistan adalah perempuan. Sebanyak 25 persen dari pejabat pemerintahan di provinsi, kota, dan distrik, juga perempuan. Di kalangan aparatur sipil negara, 28 persen adalah perempuan.
Ketika mengumumkan kabinet, Taliban menghapus Kementerian Pemberdayaan Perempuan. Keluar pula aturan bahwa semua jenjang sekolah dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi akan dipisah berdasar jenis kelamin. Di beberapa universitas, mahasiswa laki-laki dan perempuan berada dalam satu ruangan tetapi disekat dengan tirai.
Selain itu, semua jenis kegiatan olahraga dilarang bagi perempuan. Otomatis, semua tim olahraga putri dari tingkat daerah hingga nasional dibubarkan, termasuk tim nasional kriket yang kerap menuai prestasi.
”Olahraga bukan hal yang penting bagi perempuan, terutama olahraga yang bersifat publik seperti untuk pertandingan. Di era media seperti ini perempuan tidak bisa tampil dengan wajah terbuka karena tidak sesuai dengan hukum Islam berdasarkan Emirat Islam Afghanistan,” kata Wakil Ketua Komisi Budaya Taliban Ahmadullah Wasiq ketika berbicara kepada media Australia, SBS News.
Kritik segera dilontarkan kepada Taliban. Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken dan Menteri Luar Negeri Jerman Heiko Maas dari pangkalan udara Ramstein di Jerman bersama-sama mengeluarkan pernyataan bahwa Taliban ingkar janji mengenai pemerintahan yang inklusif dan segala perkataan bahwa perempuan adalah masa depan Afghanistan.
”Taliban harus tahu bahwa reputasi dan rasa hormat itu diperoleh dari kerja keras dan komitmen, tidak hanya kepada dunia internasional, tetapi kepada rakyat Afghanistan itu sendiri,” tutur Blinken. (AFP/DNE)