Kabinet transisi Afghanistan dinilai konservatif dan tidak inklusif. Waktu yang akan menunjukkan apakah pemerintahan definitif Afghanistan kelak akan dapat menjawab janji perubahan Taliban.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kabinet pemerintahan Afghanistan yang diumumkan kelompok Taliban di Kabul, Rabu (8/9/2021), dinilai konservatif dan tidak inklusif. Pilihan yang jatuh atas sosok-sosok lama itu menunjukkan kelompok itu relatif tidak berubah dari yang telah dikenal selama ini, termasuk saat berkuasa di Afghanistan sebelumnya pada tahun 1996-2001.
”Kabinet itu tidak inklusif atau tidak sesuai dengan yang telah dijanjikan. Misalnya soal perempuan dan penghormatan kepada kelompok lain di Afghanistan semuanya masih sebatas wacana,” kata pengamat Timur Tengah, Hasibullah Satrawi, saat dihubungi di Jakarta.
Hasibullah memberikan catatan, kabinet konservatif dan tidak inklusif Taliban itu tidak serta-merta dikaitkan dengan terorisme. Waktu yang akan menunjukkan apakah pemerintahan definitif Afghanistan kelak akan dapat menjawab janji perubahan Taliban.
Kelompok Taliban memilih Mullah Hasan Akhund menjadi perdana menteri interim. Akhund merupakan orang dekat pendiri sekaligus kepala negara Afghanistan di bawah Taliban (1996-2001) Mullah Omar. Mullah Abdul Ghani Baradar, kepala kantor politik Taliban di Doha, Qatar, yang menjadi representasi Taliban di dunia internasional, ditunjuk sebagai wakil Akhund. Kabinet Akhund berisi 25 menteri dan dewan penasihat atau syura yang terdiri atas 12 cendekiawan Muslim. Tidak ada tokoh perempuan dalam jajaran kursi menteri dan dewan penasihat itu.
Akhund, menurut Hasibullah, adalah tokoh konservatif Taliban. Akhund selama ini menjabat Ketua Dewan Syura, Rehbari Shura, sebuah badan pembuat keputusan akhir Taliban. Pada pemerintahan pertama Taliban, Akhund duduk di pos menteri dalam negeri dan terakhir sebagai wakil perdana menteri. Seperti banyak anggota kabinet baru Taliban saat ini, Akhun masuk daftar hitam sanksi PBB.
Pada pemerintahan pertama Taliban, Akhund duduk di pos menteri dalam negeri dan terakhir sebagai wakil perdana menteri. Seperti banyak anggota kabinet baru Taliban saat ini, Akhun masuk daftar hitam sanksi PBB.
Adapun Baradar adalah komandan senior Taliban dalam pemberontakan melawan pasukan Amerika Serikat (AS). Dia ditangkap dan dipenjarakan di Pakistan pada 2010. Setelah dibebaskan pada 2018, dia menjadi kepala kantor politik Taliban di Doha dan terlibat dalam negosiasi alot dengan Washington yang berujung penarikan penuh pasukan AS dari Afghanistan. Baradar biasa disapa dengan sebutan ”saudara” oleh Mullah Omar.
Tokoh yang paling dicari dan dicap teroris oleh AS, yakni Sirajuddin Haqqani, diangkat menjadi menteri dalam negeri. Dia adalah putra pendiri jaringan Haqqani, yang diklasifikasikan sebagai kelompok teroris oleh Washington. Haqqani adalah salah satu orang yang paling dicari Biro Investigasi Federal AS (FBI) karena keterlibatannya dalam serangan bunuh diri dan hubungannya dengan Al Qaeda.
Tidak cepat
”Kalau sudah soal tata negara, tidak ada proses yang cepat, akan gradual dan terukur. Kompromi dibuat dan argumen diciptakan,” kata Hasibullah soal perlunya semua pihak, termasuk komunitas internasional untuk menunggu langkah-langkah Taliban di Afghanistan berikutnya.
Terkait nama-nama yang dimunculkan dalam kabinet, misalnya, patut dilihat respons kelompok-kelompok masyarakat Afghanistan sendiri. Harapannya masyarakat Afghanistan menjadi masyarakat yang terbuka dan tidak melindungi atau menjadi basis kelompok-kelompok teror, baik di Afghanistan maupun di luar Afghanistan.
Tak lama setelah pengumuman kabinet baru itu, pemimpin tertinggi Taliban, Haibatullah Akhundzada, yang tidak pernah terlibat di depan publik, membuat pernyataan pertamanya sejak Taliban menggulingkan pemerintahan Afganistan, 15 Agustus lalu. Dia mengatakan, Taliban berkomitmen pada semua hukum internasional, perjanjian, dan komitmen yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
”Di masa depan, semua urusan pemerintahan dan kehidupan di Afghanistan akan diatur oleh hukum suci Syariah,” katanya dalam sebuah pernyataan. Pemerintah baru Taliban akan ”bekerja keras untuk menegakkan aturan Islam dan hukum syariah”. Dia juga mengucapkan selamat kepada warga Afghanistan atas apa yang disebutnya pembebasan negara itu dari kekuasaan asing.
Kepala UN Women Pramila Patten mengatakan, ketidakhadiran perempuan dalam pemerintahan sementara Afghanistan menimbulkan pertanyaan atas komitmen (Taliban) untuk melindungi dan menghormati hak-hak perempuan dan anak perempuan Afghanistan. UN Women adalah sebuah kelompok yang mempromosikan kesetaraan gender.
”Dengan mengecualikan perempuan, kepemimpinan Taliban telah mengirimkan sinyal yang salah tentang tujuan yang mereka nyatakan untuk membangun masyarakat yang inklusif, kuat, dan sejahtera,” kata Patten.
Departemen Luar Negeri AS mengatakan tengah menilai pemerintahan baru Afghanistan yang diumumkan Taliban itu. "Kami mencatat daftar nama yang diumumkan secara eksklusif terdiri dari individu yang menjadi anggota Taliban atau rekan dekat mereka dan tidak ada perempuan,” kata pernyataan Departemen Luar Negeri. ”Kami juga prihatin dengan afiliasi dan rekam jejak beberapa individu.”
Deplu AS mengaku paham bahwa kabinet Taliban itu adalah kabinet sementara. ”Kami akan menilai Taliban dengan tindakannya, bukan kata-katanya. Kami telah memperjelas harapan kami bahwa rakyat Afghanistan layak mendapatkan pemerintahan yang inklusif,” demikian dikatakan Deplu AS.
Qatar menyatakan, kabinet Taliban menunjukkan pragmatisme. Kinerja mereka seharusnya dilihat atas dasar tindakannya. Doha menjadi fasilitator sentral antara Taliban dan komunitas internasional.
China menyatakan siap menjalin komunikasi dengan para pemimpin pemerintahan baru di Afghanistan. Juru bicara Kemlu China, Wang Wenbin, mengatakan, China menghormati kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas teritorial Afghanistan.
Adapun Uni Eropa menyebut pemerintahan baru bentukan Taliban gagal memenuhi janji untuk membangun pemerintahan inklusif. (AP/REUTERS)