Setelah Deklarasi Bogor dan Taliban Berkuasa
Indonesia pernah membantu upaya perdamaian di Afghanistan. Terakhir, proses itu sampai pada Deklarasi Bogor yang ditandatangani oleh ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia di Bogor pada 2018. Kini, masih relevankah?
Mayor Jenderal Chris Donahue, Komandan Divisi Udara Ke-82 Angkatan Darat Amerika Serikat, Korps Penerbangan XVIII, menjadi anggota militer AS terakhir yang masuk pesawat kargo C-17 dan terbang meninggalkan Bandar Udara Internasional Hamid Karzai di Kabul, Afghanistan, Senin (30/8/2021) tengah malam. Beberapa menit kemudian, tembakan salvo dari anggota Taliban terdengar di sejumlah lokasi di kota Kabul.
Salah satu juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid, mengatakan, Afghanistan telah bebas sepenuhnya dari bangsa asing. ”Kami telah membuat sejarah di Afghanistan,” ungkapnya bangga.
Namun, sejak menduduki Kabul pada Minggu (15/8/2021), banyak pertanyaan belum terjawab tentang model pemerintahan Taliban. Salah satunya adalah tentang bagaimana mewujudkan Emirat Islam Afghanistan, nama baru Afghanistan versi Taliban?
Harapannya, tentu, tak hanya harus mewujudkan pemerintahan yang kuat, adil, dan menyejahterakan, tetapi juga menjunjung tinggi hak asasi manusia dan merealisasikan kembali keindahan Islam di Afghanistan yang lama meredup pasca perang saudara 42 tahun lamanya.
Dari pihak Taliban, sejauh ini, baru janji-janji yang dilontarkan. Itu pun masih kabur, terutama hal-hal yang berkaitan dengan nilai-nilai universal. Oleh karena itu, banyak negara yang belum bersikap, mendukung atau tidak mendukung rezim Taliban itu. Mereka masih menanti kejelasan dan kepastian di Afghanistan.
Pemerintah Indonesia, misalnya, yang pernah ikut menjajaki proses perdamaian di Afghanistan, tiga tahun lalu, juga belum mengambil sikap. Meskipun pada Kamis (26/8/2021) Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi telah bertemu dengan perwakilan Taliban di kantor Biro Politik Taliban di ibu kota Doha, Qatar, Indonesia belum mau mengakui pemerintahan yang dipimpin Taliban.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Teuku Faizasyah, saat dihubungi Kompas, Selasa (31/8/2021) menyatakan, untuk menentukan sikap, Pemerintah Indonesia masih akan mengikuti perkembangan dan menunggu kepastian proses internal di Afghanistan. ”Kami masih wait and see,” ungkap Faizasyah.
Pertemuan dengan perwakilan Taliban, tambah Faizasyah, bukan bagian dari pengakuan terhadap pemerintahan itu. Menurut dia, pertemuan itu merupakan upaya membangun komunikasi agar dapat mengetahui lebih jauh rencana ke depan Taliban. Indonesia telah menyampaikan pandangannya yang diharapkan bisa diperhatikan dan diterapkan oleh Taliban di masa datang.
Usai pertemuan, Retno melalui akun Twitternya mengungkapkan bahwa Indonesia menyampaikan tiga harapan kepada perwakilan Taliban, yang tak disebutkan namanya. Selain mewujudkan pemerintahan inklusif, penghormatan pada hak-hak perempuan, Retno juga menyampaikan agar Afghanistan tak menjadi sarang teroris.
Harapan Retno beralasan. Bagi Indonesia, Afghanistan bukanlah negara yang ”asing dan jauh”. Afghanistan adalah negeri yang tergolong dekat relasinya dengan Indonesia sejak dulu. Presiden RI Soekarno pada Mei 1961 berkunjung beberapa hari ke negara itu. Rakyat Afghanistan mengelu-elukan Soekarno. Sementara pemimpin negara tersebut menyambut presiden pertama Indonesia itu dengan antusias. Perwakilan Pemerintah Afghanistan saat itu tercatat menghadiri Konferensi Tingkat Tinggi Non-Blok di Bandung pada 1955.
Hubungan diplomasi RI dan Afghanistan kemudian semakin harmonis saat Afghanistan mulai dipimpin Presiden Hamid Karzai pada 2004. Dia hadir dan bertemu dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono saat Bali Democracy Forum pada 2012.
Relasinya dengan RI semakin kuat tatkala Pemerintah Indonesia membangun Masjid As-salam yang berarti perdamaian di kompleks Indonesian Islamic Center (ICC) di kawasan Ahmad Shah Baba Mina, pinggiran kota Kabul. Ada pula pembangunan klinik di kompleks ICC yang peletakan batu pertamanya dilakukan Wakil Presiden ke-10 dan ke-12 RI Jusuf Kalla saat berkunjung pada akhir Februari 2018.
Sebelumnya, Presiden Ashraf Ghani, yang menggantikan Hamid Karzai, juga melakukan kunjungan kenegaraan di Jakarta pada April 2017. Dalam pembicaraan empat mata, Presiden Ashraf Ghani dan Presiden Joko Widodo bertekad meningkatkan kerja sama dua negara seraya membuka pintu untuk bantuan proses perdamaian di Afghanistan.
Pada akhir Januari 2018, Presiden Jokowi melakukan kunjungan balasan meski hanya enam jam di Kabul. Kunjungan berjalan lancar meski terjadi ledakan bom di pagi hari sebelum kedatangan Presiden Jokowi.
Atas penugasan Presiden Jokowi, Kalla datang ke Kabul. Sebagai sosok yang memiliki pengalaman menyelesaikan konflik di Ambon, Poso, dan perundingan damai dengan Gerakan Aceh Merdeka, Kalla ditugaskan untuk menjajaki proses perdamaian di Afghanistan. ”Yang penting dicoba dulu. Tak berhasil tidak apa-apa. Namanya juga usaha,” kata Kalla kepada Kompas sebelum beragkat ke Kabul, Februari tiga tahun silam.
Selama tiga hari di Afghanistan, Kalla menghadiri antara lain pertemuan Proses Kabul ke-2, yang dihadiri para pemimpin perwakilan wilayah di Afghanistan dan perwakilan PBB. Pertemuan Proses Kabul yang dibentuk Presiden Ashraf Ghani merupakan forum pembuka jalan perdamaian di Afghanistan. Forum itu sudah dimulai sejak 2017.
Setelah bertemu Presiden Ashraf Ghani, Ketua Dewan Tinggi Perdamaian (High Peace Council/HPC) Afghanistan Kharim Kalili dan Chief Exeutive Officer (CEO) Afghanistan Abdullah Abdullah, yang kini menjadi Ketua Rekonsiliasi Afghanistan dan berunding dengan kelompok Taliban, Kalla juga bertemu dengan mantan Perdana Menteri dan Pemimpin Mujahiddin Gulbuddin Hekmatyar serta sejumlah petinggi Taliban di Afghanistan. Pertemuan dengan perwakilan dirahasiakan meski jurnalis yang menyertai Kalla diperbolehkan meliput.
Kalla kemudian juga menerima delegasi pimpinan Kantor Politik Taliban di ibu kota Doha, Qatar, Mullah Abdul Gani Baradar, dan politikus Taliban, Sher Muhammad Abbas Stanikzai, di kediaman dinasnya di Jalan Diponegoro, Jakarta Pusat. Lewat Kemenlu, atas permintaan Kalla, status teroris sejumlah pemimpin Taliban di daftar PBB sebelumnya dihapus agar bisa bertemu di rumah dinasnya di Jakarta. Meskipun sudah mengakhiri jabatannya sebagai wakil presiden, Kalla masih bertemu Baradar di Doha, Januari 2021.
Sejalan dengan proses damai, Indonesia juga melakukan bina damai (peace building) dengan bekerja sama dan memberikan bantuan pembangunan kapasitas sumber daya manusia di Afghanistan. Sejumlah pemuda dan remaja Afghanistan pun dikirim untuk belajar di sejumlah pondok pesantren di Indonesia selama dua minggu untuk belajar Islam moderat dan penuh damai.
Beberapa warga Afghanistan terpilih juga juga diajak jalan-jalan ke beberapa mal di Jakarta. Para insinyur muda Afghanistan dibawa ke Blok Cepu dan Pertamina untuk belajar eksplorasi minyak dan tambang. Jelang Pemilu 2019, penyelenggara pemilu Afghanistan juga diundang untuk melihat praktik pemilu yang demokratis, jujur, dan adil di Indonesia.
”Mereka harus tahu bagaimana rasanya jika negeri mereka aman dan damai. Mereka bisa jalan-jalan, makan, dan belajar mempersiapkan diri jika mereka nanti harus eksplorasi dan eksploitasi sendiri sumber daya alamnya,” ujar Kalla.
Pembukaan UUD 1945 menjadi dasar peran Pemerintah Indonesia menjaga perdamaian dunia. Di sejumlah kawasan konflik dunia, Indonesia mengirim pasukan perdamaian. Di Kabul, Indonesia menjajaki proses perdamaian dengan coba menjadi penengah antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban. Selain Kalla, Pemerintah RI juga mengirim Menlu Retno beserta Direktur Jenderal Asia, Pasifik, dan Afrika Kemenlu Desra Percaya.
Kalla mengaku konflik di Afghanistan sangat rumit. Namun, ia berharap hal itu bisa dicarikan solusinya. Apalagi jika ada dukungan kuat internasional dan negara-negara tetangga, seperti Pakistan. Pintu masuknya adalah melalui peran ulama di Afghanistan dan ulama Pakistan. Perbatasan Pakistan dan Afghanistan menjadi penting karena basis Taliban antara lain berada di kawasan tersebut.
”Untuk mengajak mereka (Taliban), kita libatkan kaum ulama di Afghanistan dan juga di Pakistan untuk bersama-sama bertemu dalam forum tripartit di Jakarta antara ulama Indonesia, Pakistan, dan Afghanistan,” kata Kalla usai bertemu Presiden Ashraf Ghani. Melalui para ulama, Pemerintah Afghanistan dan kelompok Taliban diharapkan dapat duduk bersama dalam perundingan.
Peran dan keterlibatan Indonesia akhirnya berujung pada Deklarasi Bogor yang ditandatangani oleh ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia usai pertemuan trilateral yang difasilitasi di Istana Bogor, 12 Mei 2018. Upaya penjajakan proses damai di Afghanistan terhenti setelah berakhirnya tugas Wapres Kalla pada Oktober 2019. Menurut Kalla, semangat ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah diharapkan juga menjadi pendorong dan perekat antarumat Islam di Afghanistan lewat para ulamanya.
”Deklarasi Bogor yang menjadi kesepakatan para ulama Afghanistan, Pakistan, dan Indonesia, dengan semangat ukhuwuah Islamiyah, dapat dijadikan rujukan bagi para ulama untuk mewujudkan perdamaian di Afghanistan,” ujarnya.
Saat berbicara dengan Kompas, di ruang kerjanya di Kemenlu, Menlu Retno mengatakan, forum ulama diharapkan menghasilkan sebuah pernyataan damai yang akan menjadi payung dalam proses bina damai dan proses damai. ”Entah fatwa atau apa yang dihasilkan dari forum ulama tersebut, kita lihat. Namun, saya bayangkan hasilnya adalah sebuah call for peace dari ulama itu sendiri,” ujarnya saat itu.
Hamid Awaluddin, mantan Duta Besar RI untuk Federasi Rusia serta mantan Menteri Hukum dan HAM, yang ditugaskan Kalla menjadi anggota tim perunding Afghanistan, dalam artikelnya di Kompas menulis, pemerintah Afghanistan selalu mempersepsikan Taliban sebagai kelompok yang tak bisa ditolerir karena cara-cara kekerasan yang digunakannya. Sebaliknya, Taliban menilai Pemerintah Afghanistan sekarang adalah pemerintahan boneka Amerika Serikat.
”Indonesia adalah pilihan yang tepat untuk jadi jembatan. Indonesia adalah negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia dan sama sekali tidak memiliki kepentingan ekonomi, politik, dan sosial dalam pertikaian di Afghanistan. Indonesia dipersepsikan dan diyakini sangat netral dan independen. Sebuah persyaratan mutlak untuk menjadi penengah dari sebuah silang sengketa,” tulis Hamid (Kompas, 12 Mei 2018).
Meskipun banyak konferensi bertaraf internasional tentang perdamaian Afghanistan, semuanya seolah tanpa jejak dan nihil hasil. Masalahnya, pertemuan-pertemuan tersebut bukan mencari jalan menuju damai, melainkan justru memperparah konflik. Menurut Hamid, mereka hanya mengecam keras dan menyalahkan kelompok Taliban. Sebuah sikap yang kian menjauhkan antara niat mendamaikan dan realitas.
”Konferensi ulama di Bogor sama sekali tidak mengumbar api kemarahan dan pemojokan yang dialamatkan atau bisa ditafsirkan tertuju kepada kelompok tertentu. Tidak ada yang dilukai. Pesan Damai Bogor hanya berbicara holistik bahwa kekerasan lantaran paham ekstremisme dan tindakan terorisme itu tidak boleh diasosiasikan dengan agama, bangsa, kelompok etnis, dan peradaban tertentu,” kata Hamid.
Profesor Sejarah UIN Syarif Hidayatullah dan anggota Komisi Kebudayaan Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia, Azyumardi Azra, menyayangkan jika Pemerintah Indonesia menghentikan proses damai yang telah dijajakinya. Di tengah upaya Taliban membentuk pemerintahan baru, Pemerintah Indonesia sebaiknya segera masuk dengan membawa Deklarasi Bogor yang difasilitasinya.
Dengan adanya dokumen Deklarasi Bogor, menurut Azyumardi, seharusnya bisa digunakan oleh Pemerintah Indonesia untuk mengingatkan ulama Afghanistan dan kelompok Taliban saat ini untuk mewujudkan perdamaian.
”Setelah mengambil sikap, Pemerintah Indonesia bisa menindaklanjuti dokumen Deklarasi Bogor yang pernah difasilitasinya untuk dasar perdamaian dan mencegah perang saudara dan konflik berkelanjutan pasca-Taliban mengendalikan Afghanistan. Masalahnya mau atau tidak kita?” ujarnya.
Menurut Azyumardi, jika Pemerintah Indonesia tidak menindaklanjuti, Kalla diharapkan bisa mengambil inisiatif bersama dengan organisasi massa NU dan Muhammadiyah untuk menindaklanjuti proses perdamaian Afghanistan yang terhenti. ”Saya kira kalau Pemerintah Indonesia dan Pak JK mau mengambil inisiatif itu, tentu banyak sekali negara dan pihak-pihak yang akan mendukung proses perdamaian di Afghanistan. Kebetulan Pak JK kan sudah dikenal oleh beberapa pemimpin Taliban,” ujar Azyumardi.
Penjajakan proses damai di Afghanistan hingga terwujudnya Deklarasi Bogor merupakan modal dasar. Apakah Pemerintah Indonesia mau melanjutkan proses yang pernah dilakukan tiga tahun lalu sebagaimana amanat UUD 1945 dan ukhuwah Islamiyah, ukhuwah wathaniyah?