Belum genap sebulan berkuasa kembali, Taliban sudah mulai membatasi kebebasan berekspresi rakyat Afghanistan. Kali ini mural yang dihapus. Entah apa lagi besok.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Mural hasil karya aktivis dan seniman Omaid Sharifi (34) selama tujuh tahun di dinding-dinding Kota Kabul, satu per satu menghilang. Anggota-anggota Taliban menghapusnya dengan menimpakan cat putih.
Mural-mural Sharifi yang sarat pesan dan kritik terhadap pemerintah serta menyuarakan isu sosial dan politik itu diganti dengan slogan-slogan propaganda kelompok Taliban yang menjemukan. "Taliban seperti memasang kain kafan di seluruh kota," kata Sharifi yang kini tinggal di pemukiman sementara pengungsi Afghanistan di Uni Emirat Arab, Senin (6/9/2021).
Selama ini, Sharifi tidak bergerak sendirian. Ia memulai gerakan akar rumput ArtLords bersama seniman dan relawan yang sama-sama ingin membuat perubahan sosial dan perilaku melalui kekuatan seni dan budaya sejak 2014. Sekitar 2.200 mural ArtLords sudah menghiasi Kabul dan kota-kota lain di Afghanistan.
Kini, karya seni sekaligus bentuk ekspresi itu hilang. "Kami tidak akan diam. Suara kami akan didengar di seluruh dunia. Kami akan mempermalukan Taliban setiap hari," ujarnya.
ArtLords kerap melukis mural yang mempermalukan penguasa Afghanistan, termasuk panglima perang dan pejabat pemerintah yang diduga korup. Banyak juga mural ArtLords yang mengajak masyarakat untuk menghormati para pahlawan Afghanistan, mendorong upaya dialog sekaligus menolak cara-cara kekerasan, serta menuntut kesetaraan hak-hak perempuan.
Akibat karya yang sarat kritik itu, anggota ArtLords kerap dicap kaum murtad dan bahkan diancam dibunuh oleh kelompok ekstremis. Namun itu semua tak membuat ArtLords mundur.
Ketika Taliban pertama kalinya berkuasa di 1996, Sharifi sudah berusia 10 tahun. Dengan demikian, ia mengalami rezim Taliban yang represif sampai kemudian datanglah pasukan Amerika Serikat (AS) dan sekutu yang memukul mundur Taliban di 2001. Sharifi yakin kekuasaan Taliban tidak akan berubah meski mereka berjanji akan berubah.
Sharifi tak mau kembali hidup bagaikan katak dalam tempurung yang penuh larangan seperti tak boleh menonton televisi dan mendengarkan musik. Hukuman bagi pelanggar hukum pun tak tanggung-tanggung, eksekusi di hadapan publik.
"Dulu setiap kali saya ke pasar naik sepeda, saya selalu melihat banyak televisi rusak, perekam suara dan kaset yang semua rusak. Ingatan itu tidak bisa hilang. Tidak mudah meninggalkan Afghanistan tetapi ini terpaksa karena kami tidak akan punya kebebasan berekspresi lagi," kata Sharifi yang berhasil membantu 54 seniman dan keluarganya keluar dari Afghanistan itu.
Saat ini masih terdapat sekitar 100 seniman yang bersembunyi di Afghanistan. Mereka sedang mencari cara keluar dari negeri itu.
Rasa khawatir seni akan dibunuh juga dialami Negin Khpalwak (24) yang pernah menjadi konduktor orkestra khusus perempuan Afghanistan. Begitu mendengar kabar Taliban masuk Kabul, ia panik dan buru-buru memakai baju dengan lengan panjang.
Ia juga segera menutupi satu set drum di rumah dengan kain. Semua foto dan kliping dari media massa yang memberitakan pertunjukan musik orkestranya pun ia kumpulkan lalu bakar. Ia khawatir Taliban akan sama seperti dulu, melarang musik dan melarang perempuan bekerja. "Rasanya semua hidup saya hilang," kata Khpalwak yang kini mengungsi ke AS.
Orkestra Zohra yang beranggotakan perempuan berusia 13 hingga 20 tahun serta mayoritas berasal dari panti asuhan itu dibentuk pada 2014. Kelompok orkestra itu menjadi simbol kebebasan bagi rakyat Afghanistan pasca rezim Taliban.
Mereka pernah konser memainkan musik campuran tradisional Afghanistan dan musik klasik Barat dengan alat musik gesek rabab di Sydney Opera House hingga di pertemuan Forum Ekonomi Dunia di Davos. Masa depan orkestra pun kini hilang setelah Taliban menutup Institut Nasional Musik Afghanistan (ANIM). Bahkan banyak stasiun radio pun sudah dilarang untuk menyiarkan musik atau lagu.
"Kami tidak pernah menyangka Afghanistan akan kembali ke zaman batu. Orkestra Zohra ini merepresentasikan kebebasan dan pemberdayaan perempuan di Afghanistan. Banyak anggota Zohra yang takut dan kini bersembunyi," kata pendiri ANIM, Ahmad Sarmast.
Nazira Wali (21), mantan pemain celo di Zohra, khawatir hidup di bawah kekuasaan Taliban akan lebih parah. Banyak anggota Zohra yang terpaksa merusak alat musiknya dan menghapus akun media sosialnya supaya Taliban tidak mengetahui kegiatan mereka di Zohra.
"Jika situasinya begini terus, musik akan selamanya hilang di Afghanistan. Padahal musik membuat hidup menjadi berwarna," ujarnya.
Afghanistan kini memasuki era baru. Perubahan kepemimpinan yang dijanjikan Taliban sejauh ini lebih banyak membawa kekhawatiran ketimbang harapan. (REUTERS/AFP/LUK)